Skip to main content

Kh. Abdul Haris Jember | Catatan Kajian I'robil Quran 60 | Surat Al Baqoroh 51


Ini merupakan catatan yang kami ambil langsung dari broadcast video kajian Metode Al Bidayah, I'robul Quran ke 60. Catatan ini sebagai catatan pribadi, usaha untuk meringkas dan memetakan apa saja yang telah beliau sampaikan. Sekaligus catatan ini sebagai jalan untuk kami, mengulang-ulang materi yang beliau sampaikan, agar lebih menancap di ingatan kami. Semoga bisa sekaligus bermanfaat untuk kalian semua.



وإذ وعدنا موسى أربعين ليلة ثم اتخذتم العجل من بعده وأنتم ظالمون


Terjemahan 
catatan: 
Bermula/Mubtada'
Adalah/Khobar
Akan/Maf'ul bih
Siapa?(apa?)/Fa'il - naibul fa'il
apanya? tamyiz
hale / rupane - hal

Penting bagi kalian untuk tahu terjemahanya, apalagi yang sudah diterjemahkan oleh pak Kyai, karena di dalam terjemahan beliau ada tanda2 yg merupakan posisi kata dalam ayat tersebut. Posisinya sebagai apakah kata itu dalam sebuah kalimat? apa mubtada' atau khobar atau maf'ul bihi dll. Dengan meniru cara beliau menerjemahkan, kita bisa sedikit demi sedikit memahami pola sebuah kalimat, dan sekaligus cara membacanya. 

wa idz wa'adnaa (dan ingatlah akan ketika berjanji, siapa? Kami)
Musaaa (akan musa)
arba'iina - maf'ul bih kedua dari wa'adnaa (akan empat puluh)
lailatan - tamyiz dari arba'iina (apanya? malamnya)

Tsumma (kemudian)
ittakhodtum (menjadikan, siapa? kamu semuanya)
al ijla (akan anak lembu)

min ba'dihi (setelah kepergian musa)
wa antum ( dan bermula kamu semuanya)
dzolimuuna ( orang2 yang dzolim)



Idz dalam Bahasa Arab

وإذ وعدنا

Idz dalam bahasa arab itu varianya banyak. 

  • idz dzorfiyah
  • idz fujaiyah
  • idz ta'liliyah
Ini harus kita masukkan ke otak, sebagai konsep analisis kita, karena... kita tidak mungkin misalnya kita menentukan bahwa idz ini ta'liliyah, fujaiyah atau dzorfiyah, kalau secara konsep kita tidak kenal bahwa idz ini varianya banyak. Jadi harus ngerti dulu, seseorang tidak mungkin berfikir dan beranalisis, kalau seandainya tidak ngerti konsepnya. Dalam konteks inilah, teori sangat penting, kalau kita gak ngerti teori bagaimana kita bisa menganalisis?

Pokoknya kalau kita ketemu kata idz, itu diasumsikan menjadi maf'ulun bihi dari udzkur yang dibuang. 

واذكر إذ وعدنا

wadzkur (dan ingatlah, siapa? kamu)
idz wa'adna (akan ketika berjanji siapa? kamu)



maf'ul bihi muqoddam

واعدنا موسى 

Bisa dibaca wa'adanaa Musaaa atau wa'adnaa Musaa
Ini mau dibaca wa'adana musaa bisa, secara lafadz, mau dibaca wa'adnaa musa bisa.
Sama sekali tidak ada perubahan penulisan, karena musa disini diakhiri oleh alif lazimah. Disebut isim maqshur, dimana waktu rofa', pada waktu nashob, pada waktu jernya, sama sekali secara penulisan tidak ada perbedaan. Karena tanda harokat itu tidak mungkin disematkan pada alif lazimah. Tidak mungkin didhommah, tidak mungkin difathah, tidak mungkin dikasroh. 

Sehingga kata2 diatas memungkinkan dibaca wa'adana musa dengan mengasumsikan musa itu menjadi fail dari wa'ada. Naanya dianggap sebagai maf'ul bihi muqoddam. 
  • وَاعَدَنَا موسى 

  • وَاعَدْنَا موسى 


وَاعَدَنا موسى 
Susunan normal dalam jumlah fi'liyah adalah fiil + fail + maf'ul bihi
ketika kemudian maf'ul bihinya disebutkan terlebih dahulu, failnya disebutkan belakangan, itu disebut sebagai maf'ul bihi muqoddam, fail yang muakhkhor. 
kalau misalkan susuanya fiil + maf'ul bihi + fail,  maka jika maf'ul bihi disebut terlebih dahulu, failnya disebutkan selanjutnya, maka itu disebut sebagai maf'ul bihi muqoddam (obyek yang didahulukan). dan fail muakhor. 



وَاعَدْنا موسى 
Naa disini kita anggap sebagai fail, dhomir ini kita anggap sebagai berkedudukan rofa' (dhomir rofa' mutaharrik), ketika dia punya dampak pada fiil yang dimasukinya. Dhomir rofa' mutaharrik (dhomir yang berkedudukan rofa' dan berharokat) itu berdampak pada fiil yang dimasukinya, apakah fiilnya itu fiil madhi, apakah itu fiil mudhore', apakah itu fiil amr, mensukun fiil yang dimasukinya (memabnikan 'alas sukun)


Contoh: 

نَصَرْنا - fiil madhi
يَنْصُرْنا - fiil mudhore
انْصُرْنا - fiil amr
Ketika dhomir rofa' mutaharrik ini masuk pada fiil apapun, maka akan mensukun fiil tersebut / berkonsekuensi mabniyyun 'alas sukun


وإذ وَاعَدْنا موسى 
karena demikian, karena posisinya disitu huruf dal disukun, maka naa disini adalah dhomir rofa' mutaharrik. 
bacanya: dan ingatlah akan ketika berjanji, siapa? kami akan musa (yang berjanji kami)


sedangkan, 

 وإذ وَاعَدَنا موسى 
Jika huruf dal posisinya tidak disukun, maka posisinya adalah maf'ul bihi muqoddam. 
bacaanya: dan ingatlah akan ketika berjanji akan kami, siapa? musa.. (yang berjanji musa)


Maka kalau secara konseptual, anak didik kita tidak paham itu, maka juga akan bermasalah (dalam menentukan murrod kalimat). Ngaji itu begitu, ketemu teks apa? diulangi lagi. 



Bermakna Musyarokah / Saling

وَاعَدَ - mengikuti wazan faa'ala 
kalau seandainya kita melihat fiil diikutkan kepada wazan faa'ala ( فاعل ). Konsep dasarnya adalah bahwa ini lil musyarokah ( untuk menyatakan saling). Saling itu apa? maf'ul bihi adalah fail, fail adalah maf'ul bihi.






ًضارب محمدٌ امر
Meskipun secara lafadz, fail nya adalah muhammad, dan maf'ul bih nya adalah amran, tapi kalau berarti saling memukul, Muhammad saling memukul dengan amr, berarti Muhammad disamping memukul, juga kena pukul. Amr disamping kena pukul, juga memukul (Itu berarti SALING). 

Dengan kata lain, fa'il itu adalah maf'ul bihi, maf'ul bihi itu adalah fail, itu namanya lil musyarokah (saling). 


Fawaid umum, itu harus kita kenal (secara umum). Ketika mengikuti wazan faa'ala itu lil musyarokah (berarti saling). Apakah musyarokah itu maksudnya? menjadikan fail menjadi maf'ul dan maf'ul menjadi fail. 
Contoh: Muhammad dan Ali saling menolong, itu berarti tidak hanya ali yang menolong, atau tidak ada muhammad yang menolong. Keduanya menolong dan ditolong. 


ناصر محمدٌ عليًا
Secara lafadz Muhammad adalah fail, dan ali adalah maf'ul bihi. Tapi maknanya, muhammad menolong dan ditolong, ali ditolong dan menolong, itu baru diterjemahkan saling. Kalau seandainya yang menolong itu dimonopoli satu (orang) dan yang ditolong itu dimonopoli (satu orang) maka tidak akan ada terjemahan saling disitu. 

Pertanyaanya mendasarnya adalah, apa wa'ada disini secara konsisten harus kita terjemakan (dengan) saling? 

 وإذ وَاعَدْنا موسى 

Menolong itu monopoli Alloh, karena Naa disitu kembali kepada Alloh. 


Akurasi Shorof

Karena demikian, tingkat akurasi dari shorof itu tidak 100%Untuk fawaidul ma'na, itu konsistensinya tidak 100%. 

Ini kita harus berani, seorang ilmuwan itu harus berani menyimpulkan. Memang, faa'ala itu lil musyarokah. fail menjadi maf'ul bihi, maf'ul bihi menjadi fail, itu berarti saling. 

Kita harus kontekstual, bagaimana bisa? Alloh menolong musa, musa menolong Alloh? Itu bagaimana caranya? Menolong itu hak monopoli Gusti Alloh, ditolong itu ya atas nama manusia yang lemah. 

karena demikian di dalam tafsir2 dikatakan, laisa huwa min baabil mufaa'alah, allati taqtadhi al musyarokah. Ada penegasan itu ditafsir2. 

ليس هو من باب المشاركة  التى تقتضر المشاركة
bukan termasuk bab mufaa'alah, faa'ala yu faa'ilu mufaa'alatan 
allati (yang )
taqtadhi. (menuntuk, apa? allati)
al musyarokata (akan arti musyarokah/ bersekutu, saling)
misal:

نحو قولك : عافه الله


Kontekstual
Kita harus kontekstual, harus melihat konteksnya, kira2 kalau seandainya diterjemahkan saling itu pantas apa tidak? 

contoh lagi:

عاقبت اللصى

saya hanya ingin menegaskan bahwa, tingkat konsistensi dari kaidah shorof itu tidak 100% .  Kalau nahwu bisa dikatakan 100%, tapi kalau shorof tidak. 


لكل قاعدة مستثنيات
Untuk setiap kaidah itu ada pengecualian. Kalau pengecualianya banyak itu yang bermasalah. 



Gapapa sampeyan, sampeyan kemudian berkesempatan untuk kemudian berpandangan itu, berkesempatan. Sampeyan tidak hanya santri, tapi akademisi juga. Sampeyan kuliah rata2. Nilai plus dari temen2 yang kuliah itu adalah dia diberi kesempatan untuk berfikir kritis, berfikir apapun boleh, dan tidak harus berdasarkan literatur yang ada. Inilah kemudian, apa yang disebut dengan pendekatan deduktif, dan pendekatan induktif, itu muncul di kampus. 

Sampeyan kalau misalnya di dalam pondok pesantren, kita kan pondok pesantren. Ketika akan berpendapat dengan teman musyaaroh yang lain, mana ta'birnya.. mana ibarotnya, di kitab apa penjelasan semacam itu. Kalau seandainya, kalau seandainya tidak mampu menyebutkan ta'birnya, kalau seandainya tidak mampu menyebutkan 'ibarotnya, Sumbernya tidak mampu disebutkan? maka ditolak. Kalau di kampus tidak, nah ini plus minus, sampeyan harus menjadikan status gandanya sampeyan, disamping sebagai santri juga akademisi, itu harus dijadikan nilai plus, caraya bagaimana? sampeyan tidak boleh hanya berpendekatan deduktif (kaidah - terus aplikasi, begitu seterusnya). Ambilah juga pendekatan induktif, dari realitas yang kita temukan itu kita ikat dalam sebuat kaidah. Kita justru yang mebuat kaidah. Pendekatan Induktif, kita yang membuat kaidah. Itu namanya pendekatan induktif, kita membuat kaidah sendiri, itu namanya pendekatan induktif. 



Konsep Anwa'ul I'rob

وإذ وعدنا موسى

Dan ingatlah akan ketika berjanji, siapa? kami akan musa.
Dari lafadz musaa kita bisa mengambil pelajaran bahwa, tidak semua yang namanya i'rob itu harus dibuktikan dengan tanda i'rob. Rofa' tidak harus selalu dibuktikan dengan dhommah, Nashob tidak harus selalu dibuktikan dengan Fathah, Jar tidak harus selalu dibuktikan dengan Kasroh, dan Jazm tidak harus selalu dibuktikan dengan sukun. Perubahan i'rob tidak harus selalu dibuktikan dengan tanda i'rob, itu pentingnya konsep tentang anwa'ul i'rob. 

أنواع الإعراب


Perubahan i'rob itu kadang2 ada tanda i'robnya, kadang2 tidak ada tanda i'robnya. Yang ada tanda i'robnya kemudian kadang2 ada yang memungkinkan untuk kemudian dimunculkan, dan yang tidak ada tanda i'robnya kadang2 terpaksa untuk kemudian tidak dimunculkan. 

  • Lafdzy (memungkinkan dimunculkan)
  • Taqdiri (tidak memungkinkan dimunculkan)
  • Mahali (memang tidak ada tanda i'rob)


karena realitasnya yang kita i'rob adalah musa, musa diakhiri dengan alif lazimah. Alif lazimah itu apa? alif yang tetap, pada waktu rofa'nya, nashobnya, jarnya dia tetap, tidak berubah, itu namanya alif lazimah. 



Maf'ul bihi yang kedua
وإذ وعدنا موسى أربعين ليلة

wa'ada itu ditetapkan oleh ulama muta'addi kepada dua maf'ul, sehingga hanya diberi satu maf'ul berupa musa itu tidak cukup. Harus ada tambahan maf'ul bihi yang kedua. Kenapa ustadz? arbai'ina kok dianggap sebagai maf'ul bihi. 


وإذ وعدنا موسى أربعين ليلة

Kalau misalnya ini diartikan sebagai dzorof, maka secara arti itu fasid. Kalau ini dianggap sebagai keterangan waktu berjanjinya selama 40 hari. Berjanji itu sebentar, saya berjanji itu sebentar. 

Ketika diberi pertanyaan pasif, itu jawabanya adalah maf'ul bihi. 


Contoh lain.

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ 
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ

ada yang melafadzkan pakai niat yang warna hitam, ada yang pakai warna merah.

Untuk yang warna merah, ketika romadhon dimudhofkan kepada hadzihi, agar hadzihi tidak dijadikan dzorof.  Kalau seandainya hadzihi dijadikan sebagai dzorof, itu dari sisi arti fasid (kacau)

Sampeyan tidak mungkin menyebutkan nawaitu, itu waktu penyebutanya selama satu tahun. Paham maksudnya? 

Contoh:

ذهبت الى المدرسة صباحا
kalau shobahan ini dijadikan sebagai dzorof, itu keterangan waktu dari dzahab, begitu juga contoh nawaitu di atas, kalau hadzihis sanah itu dijadikan dzorof akan jadi keterangan waktu dari nawaitu. 

Kalau kita lihat di kitab2 itu mesti ada penjelasan, bi idhofati romadhon ila hadzihi. Karena demikian dibaca jar. Meskipun isim ghoiru munshorif, kalau dia dimudhofkan maka dia gugur ke ghoiru munshorifanya. 

hadzihis sanati disitu akhirnya tertepis dijadikan dzorof. Karena tidak mungkin niat itu dilakukan selama satu tahun. 

Ketika dzorof itu berarti keterangan waktu melakukan. Ketika dzorof itu keterangan tempat melakukan. Dalam kitab bajuri itu ditegaskan, kalau seandainya tidak dimudhofkan kata2 hadzihis sanah itu sangat memungkinkan untuk menjadi dzorof maka secara arti itu fasid, karena niat itu dilakukan sesaat bukan setahun. 


وإذ وعدنا موسى أربعين ليلة
Arba'ina itu tidak memungkinkan dianggap sebagai dzorof, karena apakah itu dzorof zaman, atau dzorof makan itu sedang menjelaskan (itu adalah keterangan) dari fiil. 

Contoh:
Saya pulang dari sekolah pada waktu siang
pada waktu siang itu adalah keterangan dari roja'a. 

سبحان الذي أسرى بعبده ليلا
Lailan ini adalah keterangan waktu dari asroo


وإذ وعدنا موسى أربعين ليلة
dan ingatlah akan ketika berjanji siapa? kami
musa : maf'ul bihi pertama dari wa'adnaa adalah musaa (akan musa)
arbai'ina : akan empat puluh
lailatan (apanya? malamnya ) - lailatan sebagai tamyiz

Ketika disebutkan kata2 dari tamyiz, janganlah kita. yang selalu tertuju, atau terlintas dalam fikiran kita, itu pasti sesuatu itu dibaca nashob. 

Pada tataran selanjutnya, tamyiz itu 
  • malfudz  (disimpulkan dari kata)
  • malhudz (disimpulkan dari teks) - nah ini wajib dibaca nashob. 
Setiap adat itu butuh tamyiz, karena tidak mungkin tidak ditamyiz. Itu gambaran ekstrim itu, adat itu disebutkan (tamyiznya). Tapi jangan difahami bahwa tamyiz dari adat itu mesti nashob. Karena ada juga adat yang dimudhofkan kepada tamyiznya. 

Janganlah ketika kita kita mendengar kata2 tamyiz yang terlintas di benak kita, itu mesti harus dibaca nashob. Dalam tataran selanjutnya, tamyiz itu dibagi dua ada yang sifatnya malfudz (dilafadzkan) ada yang sifatnya. Yang malfudz itu tidak mesti dibaca nashob, tergantung peraturanya. Biasanya yang malfudz itu pada sisi adat (hitungan/angka). Nah kalau yang Malhudz itu dibaca nashob (mesti), itu disimpulkan dari keseluruhan jumlahnya (dari konteks). Bukan dari kata, tapi dari konteks. 

contoh malfudz
ٍرأيت ثلاث تلمذاة
Secara substansi, dia itu merupakan penjelasan dari benda yang tidak jelas. 

contoh malhudz
حسن الطالب الكلامًا

Ketidakjelasan benda itu adalah kesimpulan dari jumlah. Bukan dari mufrod (kata2 per satunya). 
Kalau adatnya itu adat mudhof, maka dibaca nashob, itu tamyiznya pasti dibaca jar. 



Sisipan pesan pak kyai.
Profesionalisme itu dibuktikan dengan SOP. Jadi kita itu tidak naik tingkat, kalau standar kerja kita itu tidak ada SOP nya. Jadi kalau gak ada SOP itu mesti serabutan. Bagaimana spidolnya,siap apa tidak, setelah dibuat nulis (ternyata gak siap) kenapa? karena tidak dicoba terlebih dahulu. Micnya bagaimana, ternyata setelah live habis batrainya. Nah itu tidak SOP namanya. Dimana2 itu begitu di lembaga2 misalnya itu pasti ada SOP nya. Misalnya skripsi, pertama diujikan kesini kesini kesini, itu namanya SOP. 



ثم اتخذتم العجل من بعده وأنتم ظالمون

Apakah kemudian ittakhodztum itu kemudian diterjemahkan dengan 
  • جعل - kamu membuat, kamu menciptakan, kamu menjadikan
  • عبد - beribadah 
Kalau diterjemahkan dengan ja'ala maka disini akan ada maf'ul bihi yang terbuang, 
ثم اتخذتم العجل
mengira ngira kan maf'ul bihi kedua, itu adalah ilaahan 
ثم اتخذتم العجل الها

Karena demikian, kita tidak bisa meninggalkan mufrodat. Satu tulisan memungkinkan bacaanya sama persis, tapi dimensi mufrodatnya bisa jadi berbeda. Itu sudah kita buktikan berkali kali. 

Kalau misal ittakhodztum diartikan dengan 'abada maka cuma perlu satu maf'ul bihi. Jadi 'abada itu termasuk dalam kategori fiil yang muta'addinya kepada satu maf'ul 
 
 من بعده
 من بعد الطلاقه

Saya selalu katakan, dalam realitas bahasa arab, pembuangan mudhof itu ada. Kalau seandainya disini dianggap tidak membuang mudhof, maka artinya akan bermasalah. Ini kalau seandainya dianggap tidak membuang mudhof, langsung min ba'dihi, dari setelah musa. Penerjemahanya bisa macem2, bisa jadi setelah musa wafat, dst.... 
Ada realitas, yang pernah saya tegaskan kemarin2 itu, dalam bahasa arab itu terjadi dengan apa yang disebut sebagai pembuangan mudhof. Itu namanya dilalatul iqtidho'. 

Misalnya
laa nikaha illa bi waliyin, 
itu yang dimaksud itu apa? 
laa nikaha illa 
bi huduri waliyin
bi idzni waliyin
bi ma'rifati waliyin

Apa yang dimaksud? tidak ada pernikahan kecuali dengan wali. Maksudnya dengan wali itu apa? dengan kehadiran wali? Apa dengan sepengetahuan wali? apa dengan izin wali. Ada mudhof yang kemudian dibuang disitu. Yang kalau seandainya tidak kita munculkan, berdampak pada ketidak fahaman kita. 

Ini begitu juga, min ba'dihi, 
من بعده
dari setelah musa. Apa maksudnya dari setelah musa? ai min ba'di thilaqihi
dari setelah bepergianya musa. 

Semoga bermanfaat. 



Comments