Skip to main content

KH. Abdul Haris Jember | Kajian I'robul Quran 14 | Surat Al Baqoroh: 6



Ini merupakan catatan yang kami ambil langsund dari broadcast video kajian Metode Al Bidayah, I'robul Quran ke 14. Catatan ini sebagai catatan pribadi, usaha untuk meringkas dan memetakan apa saja yang telah beliau sampaikan. Sekaligus catatan ini sebagai jalan untuk kami, mengulang-ulang materi yang beliau sampaikan, agar lebih menancap di ingatan kami.



إن الذين كفروا سواء عليهم أأنذرتهم أم لم تنذرهم لا يؤمنون

innalladzina ( sesungguhnya orang2 banyak)
kafaruu ( yang kafir, siapa? alladzina)
adalah sawa-un (sama) -adalah kode KHOBAR
alaihim (atas mereka, siapa? alladzina kafaru) -siapa? kode Fa'il
A Andzarta (adakah BERMULA memberi peringatan) 
-bermula kode MUBTADA
(siapa? kamu) -siapa? kode Fa'il
 
hum (akan mereka) -akan kode Maf'ulun Bihi
am ( atau) 
lam tundzir ( tidak memberi peringatan, siapa? kamu ) 
hum ( akan mereka) -akan kode Maf'ulun Bihi 
adalah Laa yukminuna ( tidak beriman, siapa? mereka )


Seperti yang saya katakan, bahwa, kalau seandainya kita sedang menganalisis teks arab. Apapun yang sedang kita analisis,
  • apakah itu al quran, 
  • apakah itu al hadits, 
  • apakah itu teks2 kitab2 
  • dan seterusnya 

Pertama yang harus kita lakukan adalah melakukan identifikasi (pembagian kata).  
  • Ini isim 
  • fiil 
  • atau huruf, 
terus…. Seperti itu, begitu terus, tidak bisa tidak. 



إن الذين كفروا

Kita bertemu dengan inna, dan itu harus kita cari Statusnya. Apakah inna ini termasuk isim fiil atau huruf? Ini huruf. 

Ketika kita pastikan inna adalah huruf, pertanyaan selanjutnya adalah apakah huruf inna ini termasuk dalam kategori 

  • yang memiliki pengaruh (muatstsir) yang mempengaruhi kalimat, yang mempengaruhi analisis selanjutnya. 
  • Atau (ghoiru muatstsir) tidak mempengaruhi analisis selanjutnya. 

Ketika inna kita pastikan sebagai muatstsir pertanyaan selanjutnya apakah muatstsirnya berfungsi 
  • sebagai 'amil, Apakah berpengaruhnya juga berpengaruh pada perubahan harokat yang terakhir pada ma’mulnya (yang dipengaruhinya)
  • ataukah ghoiru 'amil, tidak berfungsi sebagai 'amil. 


Amil - berpengaruh pada i’rob 
Ghoiru - tidak berpengaruh pada i’rob 



Contoh: Ghoiru 'Amil 

 لوكان الشافعي حيا لافتى ذالك 

Lau = adat syarat namanya. Lau ini jelas berpengaruh pada analisis lanjutan, karena kalau kita sudah ketemu dengan adat syarat, kita harus mencari kelengkapan, berupa Fi’lus Syarti dan juga Jawab Syarat.

Tidak bisa kalau kita sudah menentukan adat syarat, kita tidak menuntukan mana fi’lus syarti, mana jawab syarat. Jadi masih ada analisis lanjutanya. Itu yang dimaksud dengan Muatstsir. Tapi lau disini tidak sama sekali berpengaruh kepada i’rob (ghoiru amil). 



Inna ini termasuk dalam kategori huruf yang muatstsir yang berfungsi sebagai 'amil, karena inna ini dalam tataran selanjutnya, dia berpengamalan tansibul isma wa tarfa’ul khobar 

Kalau kita ketemu lafadz hamzah nun, 

  • memungkinkan dibaca anna 
  • memungkinkan dibaca inna, 
  • memungkinkan dibaca in, 
  • memungkinkan dibaca an. 

Kapan dibaca inna dan anna? kalau yang sudah jatuh setelahnya adalah isim. 
Kapan dibaca an atau in? Kaau yang jatuh sesudahnya dalah fi’il 


Alladzina adalah isim, karena demikian bacaanya adalah inna atau anna.  
Inna = ada dua fungsi fungsi nashob, dan fungsi taukid 
Anna = ada tiga fungsi, fungsi nashob, fungsi taukid, fungsi mashdariyah.

Realitasnya hamzah nun ini jatuh di awal kalimat, karena demikian kita tidak perlu mentakwil ini sebagai mashdar. Isim inna nya adalah alladzina, berhukum nashob. 

Cuma kebetulan yang jadi isim inna adalah alladzina. Kalau seandainya kita bertemu kalimat isim apakah itu termasuk mabni atau yang mu’rob, yang jelas yang namanya isim tidak mungkin tidak, harus memiliki hukum i’rob. 

Isim Maushul
.
Alladzina termsuk isim yang mabni, meskipun isimnya adalah mabni, tetep harus ditanyakan kira2 rofa nashob atau jer. Isim tidak mungkin tidak berhukum i’rob, isim itu pasti berhukum i’rob. Alladzina sebagaimana kita kemarin yang kita ngaji alfiyyah, ini termasuk dalam kategori isim yang mabni, kenapa? Alladzina kok disebut dalam isim yang mabni? Karena memiliki keserupaan dengan huruf, syibihnya adalah iftiqori

Yang namanya alladzina tidak memungkinkan untuk ditulis sendirian, Alladzina butuh kelengkapan, yang kita sebut sebagai sillatul maushul, dimana kelengkapannya itu sifatnya adalah ushilla, sifatnya adalah lazim (tidak bisa tidak ) wa kaftiqorin ushshila. 


Shilatul Maushul
.
Shillatul maushul harus berbentuk jumlah. Jumlah inilah yang jatuh setelahnya kemudian ditentukan sebagai shillatul maushul. Inna 
  • butuh isim 
  • dan butuh khobar. 

Ketika inna khobarnya adalah isim maushul, jangan tergesa2 menentukan khobarnya inna dulu. Lengkapi dulu isim maushul yang jadi isimnya ini, dengan mencari shilatul maushulnya. Wawu yang terdapat dalam fiil itu namanya dhomir, dhomir itu seperti kemarin ketika kita ngaji alfiyyah, sifatnya mabni. Kenapa? Ada keserupaan, dari sisi kejadian huruf (penciptaan huruf). 


Huruf itu biasanya hanya terdiri dari satu atau dua huruf, nah ketika ada isim, kok kemudian terdiri dari satu atau dua huruf, itu kemudian menyerupai huruf dari sisi al wad’i. Wawu itu adalah isim dhomir, isim dhomir ini kemudian kembali kepada alladzina, inilah yang kemudian kita kenal sebagai ‘aid. Alif yang ada disini disebut alif fariqoh. Kalau seaindanya kita sedang mengi’rob al quran, tidak bisa tidak, kita harus kemudian, melihat penjelasan2 dari ahli tafsir tentang masalah ini. 

Tidak bisa lepas kita, karena keilmuan ahli tafsir yang sudah tinggi Ada yang mengatakan sawa-un ‘alaihim a andzartahum am lam tundzirhum itu adalah jumlatun mu’taridhotun. Jumlah Mu’taridhoh adalah Jumlah yang terletak diantara dua pembicaraan tanpa ada keterkaitan makna diantara keduanya.

Sawa-un termasuk kategori lafadz yang tidak di tatsniyahkan (duakan) dan tidak di jama’kan. Sawa-un selalu dalam kondisi sawa-un meskipun mubtada nya berupa isim mufrod, mapun tatsniah atau jama’. Atau termasuk dalam isim mashdar. Pada umunya kata sawa-un dipersiapkan menjadi khobar. 



Maushul Al Harfi
Kalian juga harus kenal istilah2 yang muncul di dalam ilmu tafsir. Meskipun kita melakukan penyederhanaan2, dalam konteks kalian membaca kitab2 besar. Pada akhirnya kita kenal dengan istilah2 yang itu tidak bisa kita definisikan sendiri. Kita menggunakan definisi yang digunakan oleh ulama2. 

Salah satunya apa ustadz? 
Ketika bahas andzartahum itu muncul istilah shilatul maushul al harfi. Jadi maushul itu ada dua, 
  • Ada yang berupa isim, 
  • ada yang berupa huruf. 

Yang berupa huruf itu, yang biasa kita kenal, sebagai huruf mashdariyah. 

Sesuatu yaitu huruf yang dengan jumlah berikutnya itu memungkinkan posisinya ditempati oleh mashdar shorih (mashdar muawwal). 

Andzartahum dianggap sebagai silatul maushul dari maushul harfi, yang berupa hamzah taswiyah. Jadi ada istilah maushul harfi, dalam kajian konteks ilmu nahwu ketika menganalisis ini. Maksud saya adalah ketika mendengar istilah itu, panjenengan janga, lho kok ono maushul harfi. Kok ada maushul harfi? Maushul itu isim? Ada maushul al ismi. Yang biasa kita dengar, tapi ternya ada, al maushul al harfi itu ada ternyata. 

Yang kita kenal sebagai huruf mashdariyah itu. Sesuatu yang ditambah dengan jumlah berikutnya, itu memungkinkan untuk ditempati mashdar shorih itu namanya maushul harfi, dan itu berarti namanya mashdar muawwal Kita ngomong huruf mashdariyah. Ada istilah maushul harfi, ketika kita membca teks2 ilmu tafsir. Muncul pada saat itu, dan ketika mendengar kata2 itu ya kita gak usah bingung, karena memang isim maushul itu ada dua, ada yang sifatnya maushul ismi, ada yang sifatya maushul harfi 

ATHOF 
Pengathofan itu juga harus menyesuaikan disamping status kata, isim diathofkan kepada isim, Fiil diathofkan kepada fiil . Disamping itu fiil apa? Diathofkan dengan fiil mana? Itu dari aspek sighot (jenis kata) itu juga harus diperhatikan. Dari sisi lafadz andzaro itu fiil madhi, dan tundziru itu fiil mudhore ( seakan2 tidak cocok ) Kok bisa diathofkan? Ya bisa diathofkan, karena lebih disebabkan karena disini ada lam. Lam memiliki tiga status huruf: Huruf Jazm, nafi (artinya tidak), huruf qolb (mampu mengubah zaman yang dimiliki fiil mudhore’) .Lam tundzir meskipun dari sisi sighot dia ada fiil mudhore’ akan tetapi karena ada lam, yang merupakan huruf qolb (huruf yang mampu mengubah zaman yang dimiliki oleh fiil mudhore’ - hal dan istiqbal) menjadi zaman madhi, Dari sisi lafadz memang tidak cocok, tapi dari sisi makna memungkinkan lam tundzir yang merupakan ma’thuf alaih dari ma’thuf andzaro isim madhi kenapa? Karena dari zaman itu sama. Pengathofan itu disamping dari sisi kata juga harus sama, dari sisi shighot juga harus sama. 


LAA NAHIYAH DAN LAA NAFIYAH 
Laa yang masuk kepada fiil mudhore’ memungkinkan dianggap kepada laa annahiyah (artinya jangan, jazim), memungkinkan dianggap laa an nafiyah ( artinya tidak, ghoiru jazim). Kalau disebut laa an nafiyah kita harus konsisten bahwa artinya adalah tidak, kalau laa an nahiyah kita harus konsisten bahwa artinya adalah jangan. Konsekuensi nahiyah adalah menjazmkan, sedangkan nafiyah adalah ghoiru jazim Tsubutun nun, fiil mudhore’ disini kondisinya adalah rofa’ ( tajarrud anin nawaashibi wal jawaazim) terbebas dari amil yang menashobkan dan yang menjazmkan. Buktinya, nun nya ada disini, inilah alasan kenapa kemudian secara terjemahan adalah tidak beriman siapa? Mereka Dari Aspek Wacana, 

ISTILAH ‘AAM DAN KHOSS 

Ada sesuatu yang penting untuk kemudian kita fikirkan, yang ditawarkan oleh imam ar rozi di dalam tafsirnya mafatihul ghoib, tentang masalah ini. Apa itu? Kalau sudah innalladzina kafaru (Sesungguhnya orang2 kafir), itu seharusnya sifatnya umum itu sifatnya umum, itu sighotnya ‘aam (umum). (Sesungguhnya Orang2 kafir itu tidak mungkin beriman). Karena disini dianggap umum, maka seharusnya sapu habis ( istighro’) semua orang kafir tidak mungkin beriman. Realitas dalam sejarah tidak menunjukkan itu. Yang masuk islam masuk islam, banyak orang kafir juga. Orang yang awalnya kafir, ternyata ada juga yang masuk islam, padahal disini menggunakan sighot ‘aam (innaladzina kafaru). Orang2 kafir itu diklaim oleh al quran, itu tidak akan beriman. Padahal realitasnya, yang masuk islam itu banyak dari orang kafir juga. 

 Karena demikian, imam Ar rozi dalam kitab mafatihul ghoib itu mengingatkan, Ada realitas, di dalam teks2 keagamaan, yang disebut sebagai ‘aam yang makhsus, atau al ‘aam urida bihi al khosh. Ada lafadz umum, tapi dimaksudkan adalah khusus, Kalau seandainya innaladzina kafaru …… laa yukminun, itu kemudian diberlakukan sebagaimana keumuman ayat, itu akan berlawanan dengan realitas, yang mana sebagian dari orang2 kafir itu juga ada yang beriman. Ada konsep di dalam ushul fiqih al ‘Aam (shigotnya umum) urida bihil khos, tapi dimaksudkan disitu adalah khusus. Ada fenomena itu dalam teks2 keagamaan. Sesuatu yang menurut sighotnya adalah umum, tapi dimaksudkan disitu adalah khusus. Kalau seandainya innaladzina kafaru ….. diberlakukan sesuai keumuman ayat, maka tidak akan ada kemungkinan orang kafir itu akan beriman. Realitas dalam sejarah, tidak mencerminkan itu, (realitasnya) dari mereka yang kafir, ada yang beriman. Oleh karena demikian ada istilah Al ‘Aam urida bihil khushus. Ada Shighot ‘Aam tapi yang dimaksudkan disitu adalah khusus. 

Fenomena itu di dalam teks keagamaan, muncul. Saya contohkan yang lain ya..agar kita tidak fanatik dalam rangka mengaplikasikan

 أما السفينة فكانت لمساكين يعملون في البحر فأردت أن أعيبها وكان وراءهم ملك يأخذ كل سفينة غصبا 
Contoh pada surat Al Kahfi ayat: 79 

Adapun Perahu itu punya orang2 miskin yang bekerja di laut. Maka kemudian saya menghendaki untuk merusaknya (menjadikannya cacat, tidak baru) kenapa? karena di hadapan mereka ada seorang raja yang mengambil setiap perahu dalam keadaan paksa Kalau seandainya semua perahu itu kok diambil, maka Nabi Khidr kok merusak itu, tidak ada manfaatnya, toh pada akhirnya akan dirampas juga. Yang dipakai disini adalah setiap perahu, itu akan diambil. Pertanyaanya adalah, apa manfaatnya kok nabi khidir mencederai/merusak perahu itu, kan pada akhirnya dirampas juga. Yang dilakukan nabi khidr itu kan, berarti perahu itu supaya tidak diambil. 

Lafadz yang dipakai kulla safinatin ( setiap perahu) , ini berarti sama dengan yang tadi, lafadznya umum, tapi yang dikehendaki adalah khusus. Yang dimaksudkan adalah perahu yang masih kondisinya baik, ketika sudah ada cacat, maka tidak dirampas. Artinya ada fenomena al amm urida bihil khoss.. Apa yang dilakukan oleh Nabi Khidr itu tidak ada samasekali manfaatnya, toh pada akhirnya akan dirampas juga. Shighot yang dipakai disini adalah kulla, kulla termasuk lafadz yang ‘aam (yang berarti setiap) Ada fenomena di dalam ushul fiqh, lafadznya itu ‘aam urida bihil khos, ada fenomena itu. Innalladzina kafaruu…. Laa yukminun, kalau seandainya ayat itu diberlakukan di dalam keumuman ayat, menurut Imam Ar Rozi, harnya gak ada yang masuk islam, tapi kenyataanya sebagian besar mereka justru masuk islam. Ini kita diingatkan bahwa ada fenomena, ada realitas dimana lafadznya ‘aam tapi yang dimaksud disitu khosh. Itu sama kalau seandainya kita tarik dengan, Surat Al Kahfi ayat 79. Ada kata2 kulla safinatin, kalau diterjemahkan itu setiap, setiap itu adalha seluruh (semuanya) apakah yang baik maupun yang sudah rusak. 

Tapi kok kenapa Nabi Khidr itu kemudian merusak perahu, mencederai perahu, tidak baik kondisinya misalnya. Itu berarti terjemahanya adalah yang dirampas itu adalah yang sebagian, yang baik2 saja. Karena demikian tidak bisa kita salahkan misalnya, Para ‘ulama kita, yang menerjemahkan kullu bid’atin dholalah, dengan tidak semuanya (tidak setiap). Bahkan Imam ‘Izzuddin bin ‘abdissalam, itu menerjemahkan yang namanya bid’ah itu menjadi 5 (bahkan) ada bid’ah wajibah, faktanya begitu. Jadi ada istilah al ‘aam urida bihil khosh, ketika menerjemahkan kullu bid’athin, para ulama kita diantaranya menganggap bahwa kullun disitu adalah urida bihil khosh, dimaksudkan disitu adalah sebagianya. Ini contohnya, dari innaladzina kafaru… laa yukminun, yang kalau seandainya diterapkan sebagai dzohir ayat, itu bertentangan dengan realitas,yang mana pada saat itu, orang2 kafir quraish ada yang banyak masuk islam. 

Berarti yang dimaksud adalah sebagian. Apa ada fenomena semacam itu? Ada..yang paling ekstrim bahkan kata2 kulla (setiap) misalnya. Jadi untuk membaca al quran itu, ilmu itu penting. Kata2 waro’a misalnya, artinya (di belakang). Kalau di belakang, ya tinggal lari saja.. Kan dibelakang, gak perlu dirusak. Oleh sebab itu, tafsir2 waro a ini adalah amama hum ( di depan mereka). Tafsir2 mengatakan justru amama hum ( di depan meraka). 

Waroa yang (dibelakang) diterjemahkan amama (di depan), dan masuk akal. Loh kalau di belakang mereka, langsung melarikan diri saja, tapi karena amamahum (di depan mereka) yang harus dilewati, maka perlu bagaimana strategi agar tidak dirampas, yaitu apa? Dirusak terlebih dahulu. Waroa bi makna amama, di belakang diartikan di depan, berat.. Kalau tidak membaca tafsir berat. Semoga bermanfaat.

Comments