Skip to main content

Kh. Abdul Haris Jember | Catatan Kajian I'robil Quran 61 | Surat Al Baqoroh 52-53


Ini merupakan catatan yang kami ambil langsung dari broadcast video kajian Metode Al Bidayah, I'robul Quran ke 61. Catatan ini sebagai catatan pribadi, usaha untuk meringkas dan memetakan apa saja yang telah beliau sampaikan. Sekaligus catatan ini sebagai jalan untuk kami, mengulang-ulang materi yang beliau sampaikan, agar lebih menancap di ingatan kami. Semoga bisa sekaligus bermanfaat untuk kalian semua.



ثم عفونا عنكم من بعد ذلك لعلكم تشكرون
وإذ آتينا موسى الكتاب والفرقان لعلكم تهتدون


Terjemahan  catatan: 
Bermula/Mubtada', 
Adalah/Khobar, 
Akan/Maf'ul bih, 
Siapa?(apa?)/Fa'il - naibul fa'il, 
apanya?/tamyiz
hale - hal


Penting bagi kalian untuk tahu terjemahanya, apalagi yang sudah diterjemahkan oleh pak Kyai, karena di dalam terjemahan beliau ada tanda2 yg merupakan posisi kata dalam ayat tersebut. Posisinya sebagai apakah kata itu dalam sebuah kalimat? apa mubtada' atau khobar atau maf'ul bihi dll. Dengan meniru cara beliau menerjemahkan, kita bisa sedikit demi sedikit memahami pola sebuah kalimat, dan sekaligus cara membacanya. 

tsumma 'afaunaa (kemudian memaafkan, siapa? kami)
'ankum ( dari kamus semuanya) - dari dosa2 kamu semuanya
min ba'di dzalika (dari setelah itu) - dari setelah kamu menjadikan anak lembu menjadi tuhan.
la'allakum (agar supaya kamu semuanya)
tasykuruuna (adalah bersyukur, siapa? kamu semuanya)

wa idz ( dan ingatlah, akan ketika)
aatainaa (memberikan, siapa? kami)
musa ( akan musa)
al kitaba (akan kitab)
wal furqona (dan al furqon)
la'allakum (agar suapaya kamu semuanya)
tahtaduuna (adalah mendapatkan petunjuk, siapa? kamu)




عفونا

عفا - فعل
Aslinya
عفو - فعل



Tashrif عفا - يعفو




Pokoknya logikanya kalau kita berbicara tentang i'lal adalah ketika terjadi perbedaan antara wazan dan mauzun, baik perbedaan itu dari sisi jumlah huruf maupun jenis harokatnya, maka disitu terjadilah yang namanya proses i'lal. 

عفو - wawu ini memiliki unsur, litaharrukiha dan infitaahi maa qoblaha

idza taharrokatil wawu wal ya-u  ba'da fathatin muttashilatin fi kilmataihimaa 'ubbilata alifan 

apabila ada wawu dan ya itu berharokat
dan wawu dan ya itu jatuh setelah fathah yang muttashilah
maka wawu disini berubah menjadi alif, 

asalnya apa?
عفو - jadi عفا









Tapi dalam konteks ini, setelah عفا bertemu dhomir rofa' mutaharrik 
عفونا - naa disini tidak mungkin disikapi lain, selain dhomiru rof'in mutaharrikin. Lalu saya tegaskan dhomir rofa' mutaharrik itu, memaksa fiil yang dimasukinya baik fiil madhi, mudhore, maupun amr itu dimabnikan 'ala sukun. Dhomir naa itu memasa 'afaa yang awalnya mabniyun 'alal fath-hi, fiil madhi itu ketika tidak bertemu dengan dhomir rofa' mutaharrik dan wawu jama', itu statusnya mabniyyun 'alal fath-hi. 

tapi ketika bertemu dhomir rofa' mutaharrik, wawu yang awalnya taharruk, wawu yang awalnya berharokat menjadi sukun disini, karena sukun menjadi tidak berlaku yang namanya 
idza taharrokatil wawu wal ya-u  ba'da fathatin muttashilatin fi kilmataihimaa 'ubbilata alifan 

sehingga disini ada i'adatul alif ilal wawi. Mengembalikan alif kepada bentuk asalnya, yaitu wawu. Wawu tidak berubah menjadi alif, karena disini wajib disukun wawunya. Wawu disini yang menjadi huruf akhir dari 'afawa ini dimabni kan 'alas sukun. Kenapa kok dimabnikan ala sukun? lebih disini dimasuki dhomiru rof'in mutaharrikin. Karena demikian, tidak memungkinkan naa (dhomir) ini kecuali dianggap sebagai rofa'. Kalau seandainya gak dibaca rofa' pasti bacanya,

عفانا - naa disini tidak memaksa fiil untuk kemudian disukun. 



Seperti yang pernah saya contohkan (misalnya) dalam konteks bukan mu'tal. 

  • ضربْنا
  • ضربَنا

disukun huruf akhirnya, (huruf ba) nya memungkinkan, di fath hah huruf akhirnya juga memungkinkan.  Kalau disukun ini atas namanya adalah dhomiru rof'in mutaharrikin, kalau seandainya tidak disukun maka dhomir naa disitu atas nama maf'ulun bihi. 


kalau maf'ulun bihi, bacanya (dhorobanaa)
dhoroba (memukul, siapa? dia)
naa ( akan kami)


kalau dhomiru rof'in mutaharrikin, bacanya (dhorob naa)
dhorobanaa (memukul, siapa? kami)

Kalau diulang2 akhirnya kta bisa, konsep tentang i'lal itu kita akan bisa (kalau sering diulang-ulang). 



عفا - عن 

Kalau seandainya kita melihat di kamus 'afaa... pasti setelahnya ada huruf 'an. Muata'addinya 'afaa itu pasti pakai huruf jar 'an. Penggunaan huruf jar, itu tidak boleh sembarangan, kita harus melakukan klarifikasi dengan kamus. Menggunakan huruf jar 'afaa itu kita klarifikasi dengan kamus. Oleh sebab itu sering saya katakan, ini berulang kali Mu'jamul af'al muta'addiyat bi harfin (kamus fiil2 yang muta'addinya dengan huruf jar). Kalian bisa download disini. Huruf jar yang digunakan itu apa? akan berpengaruh pada artinya. 


contoh yang ekstreem (dalam arti) misalnya
  • رغب - في   artinya mencintai
  • رغب - عن  artinya membenci

Maka kita harus jeli, huruf jar nya menggunakan huruf jar apa? 





من بعد ذلك
min ba'di ini (susunan jar majrur) sebagai mudhof
dan dzalika sebagai mudhofun ilaihi

ba'du dan qoblu adalah lafadz yang kemudian wajib dimudhofkan. Kata2 setelah, kata2 sebelum itu tidak mumungkinkan kecuali punya mudhofun ilaihi. Jadi tidak mungkin kata2 ba'du itu dibiarkan sendirian tanpa diberikan mudhofun ilaihi itu tidak mungkin. Dalam bahasa apapun, yang namanya ba'dhu dan qoblu itu tidak mungkin berdiri sendiri. Dia pasti disandarkan, pasti dimudhofkan pada isim yang lain. Min ba'di dzalika (setelah itu) kata2 setelah harus ada kelanjutan. Tidak mungkin kata2 setelah itu berhenti, tidak dilanjutkan itu tidak mungkin. Ketika ba'da itu kemudian realitasnya memungkinkan untuk tidak dimudhofkan (tidak ada mudhof ilaihi). 

Misalnya kalau yang kita sering dengar. 

اما بعد

ini lah kondisi dimana kita sebut sebagai inqitho 'anil idhofah
Kondisi dimana ba'du itu inqitho 'anil idhofah. Ketika realitasnya ba'dhu dan qoblu itu inqitho 'anil idhofah, maka dia diwajibkan dimabnikan 'alad dhommi. 

sudah bener kata2 

من بعدُ
من قبلُ

karena memang mabni ala dhommi (ketika gak ada mudhof ilaih nya)

ini adalah harokatul binaa bukan harokatul i'rob. Harokatul bina itu jangan difahami bahwa dhommah itu sedang berkedudukan rofa'. Ketika harokat itu menunjukkan harokatul bina bukan harokatul i'rob, maka dhommah yang ada disitu, maka fathah yang ada disitu, maka kasroh yang ada disitu, maka sukun yang ada disitu tidak sedang menunjukkan bahwa itu rofa' nashob atau jar / jazm untuk fiil. 

Jadi penting untuk ditegaskan ya, bahwa ba'du dan qoblu itu dia dzorof sebenarnya jadi kalau seandainya dilanjutkan bacaanya. 

اما بعدَهُ - adapun setelah itu

Kenapa? kok dibaca fathah? iya karena ini memang dia menunjukkan keterangan waktu misalnya, keterangan tempat misalnya. tapi kalau seandainya hu nya itu dibuang maka kemudian apa yang kita sebut sebagai inqitho anil idhofah
ketika inqitho anil idhofah maka dia wajib di dhommah

من بعدِهِ

Jadi mabni nya itu karena dia ketika inqitho anil idhofah. Kalau dia tidak sedang inqitho anil idhofah maka dia tidak mabni. 
memungkinkan dia untuk dikasroh, karena kemasukan huruf min. 


Memperinci Isim Isyaroh
ada yang sampai mreteli ( memperinci) dzalika itu yang menjadi isim isyaroh itu hanya huruf dzal. lam disitu menunjukkan lamul bu'di (lam yang menunjukkan makna jauh). Itu..(jauh) bukan ini(dekat). kaf nya itu lil khithob (untuk menunjukkan siapa yang diajak bicara).

Tapi secara umum, dzalika itu dianggap sebagai isim isyaroh. Karena demikian dia termasuk dalam al asma al mabniyah (isim2 yang di mabnikan). Meskipun kedudukanya dia menjadi mudhof ilaih, tapi disini tidak di kasroh. 

من بعد ذلك

Ini lagi2 dikatakan bahwa ini adalah termasukd alam harokatul bina. 




لعلكم تشكرون

la'alla ini adalah akhwatnya inna yang memiliki pengamalan tanshibul isma, wa tarfa'ul khobar. 

Isimnya? kum (ismu la'alla)
Khobarnya? tasykuruuna (khobarnya jumlah fi'liyah) 


la'allakum (agar kamu semuanya)
tasykuruuna (adalah bersyukur, siapa? kamu semuanya)


Khobarnya ini terdiri dari fiil + fail (wawu jama', kedudukanya rofa')
karena yang menjadi khobar adalah jumlah (kalimat) maka yang menjadi tanda i'rob - laisa lahu 'alamatun. 

تشكرون

Rofa'nya tasykuruuna, meskipun la'alla ini menashobkan isim, dan merofa'kan khobar. Rofa'nya tasykuruna ini lebih disebabkan karena dia itu fiil mudhore dan tajarrud 'anin nawaashibi wal jawaazim

Tasykuruuna ini adalah fiil mudhore, kebetulan fiil mudhore ini mu'rob. Rofa'nya fiil tasykurun, bukan disebabkan karena dia menjadi khobarnya la'alla. Yang menjadi khobar dari la'alla adalah mahal i'rob yang merupakan jumlah mahalnya jumlah disini (kedudukan kalimat). Jumlah tasykuruuna ini bermahal (berkedudukan) i'rob karena menjadi khobar dari la'alla, kenapa kok disini ada tsubutun nuun (sebagai tanda rofa') 

تشكرون -  rofa'
 لن تشكروا - nashob (pembuangan nun)
 لم تشكروا - jar (pembuangan nun)

Kenapa disini tasykuruuna disini kok tidak ada pembuangan nun? lebih disebabkan karena tasykuruuna disini sedang tajarrud 'anil nawashibi wal jawaazim (tidak dimasuki/sepi dari amil2 nashob, maupun amil2 jazm). 



Contoh bandingan نا sebagai fail, dan نا sebagai maf'ulun bihi


وإذ آتينا موسى الكتاب
dan ingatlah
akan ketika memberikan siapa? kami
akan musa, akan kitab

pokoknya kalau ada lafadz idz itu adalah khobar dari udzkur. 




Ada contoh bandingan di dalam Al quran, seperti

وإذ آتينا موسى - menjadikan fiil madhi mabniyun alas sukun (naa disitu adalah dhomiru rof'in mutaharrikin)


حتى آتانا اليقين - naa disini tidak memaksa alif menjadi mabniyun alas sukun. 

Tulisan disini naa disini sebagai manshub, berbeda dengan naa disini sebagai marfu'. Musa di contoh di atas adalah maf'ul bihi. Sedangkan yaqin adalah rofa'. Sama2 aataa tapi tulisanya berbeda. 


حتى آتانا اليقين
Naa yang ada di sini tidak memaksa alif, menjadi wawu. Kenapa? karena naa disini tidak menjadikan fiil madhi aataa sebagai mabniyun alas sukun. 

  آتا + نا
Secara umum begitu, tidak menjadikan aata sebagai mabniyun alas sukun. 


وإذ آتينا موسى
Sedangkan disini, menjadikan fiil madhi, menjadi mabniyun alas sukun. Karena demikian secara penulisan berubah menjadi ya. 

آتا + نا 

آتينا
Kenapa kok kemudian berubah menjadi ya, lebih disebabkan tidak memenuhi persyaratan, ya itu dirubah menjadi alif, ini awalnya itu adalah aataa - yu-ti - iitaa-an. 

Kenapa kok kemudian ya nya berubah menjadi alif, lebih disebabkan sudah memenuhi unsur dan memenuhi persyaratan. li taharruki haa maa qoblahaa, sudah masuk
idza taharrokil wawu wal ya-u ba'da fathatin muttasilatin, fi kilmataihimaa ubbilata alifan. 

وإذ آتينا موسى
sehingga dalam konteks penulisan seperti ini, tidak memungkinkan kecuali musa sebagai maf'ulun bihi. 
karena na disitu, tidak memungkinkan lain, kecuali sebagai fail yang dibaca rofa'. kenapa kok pasti fail? karena ya-disitu tertulis ya- tidak tertulis alif. Ini aatainaa, tidak tertulis ya- tertulis alif. Karena demikian bisa kita pastikan, nun yang ada disini, memaksa fiil aataa itu sebagai mabniyun alas sukun. Ketika bisa memaksa fiil madhi mabniyun alas sukun, berarti naa disitu adalah dhomiru rof'in mutaharrikin. 



Alif lazimah dan Alif Maqshuroh


وإذ آتينا موسى الكتاب
dan ingatlah
akan ketika memberikan siapa? kami
akan musa, akan kitab

موسى 
Musa itu namanya isim maqshur, isim maqshur itu adalah isim yang diakhiri oleh alif lazimah. Ada perbedaan istilah, saya sempat salah ucap juga, tapi maksud saya adalah alif lazimah. 

Alif lazimah - ada perbedaan konsep antara alif lazimah dan alif maqshuroh (meskipun sama dampak i'robnya, sama2 taqdiri)


Alif Maqshuroh
Kalau alif maqshuroh itu menjadikan isimnya itu berhukum muanats, kalau seandainya alifnya itu alif maqshuroh. kalau alif maqhuroh itu biasanya karena wazan. Oleh sebab itu memungkinkan untuk disebut......, meskipun dampaknya sama, sama2 taqdiri disitu.

Kalau musa itu, tidak memiliki bentuk mudzakkar, memang musa itu mudzakkar sudah. Jadi ada perbedaan konsep antara alif lazimah dan alif maqshuroh. Kalau alif maqshuroh itu berdampak alif yang dimasuki alim maqshuroh menjadi berhukum muannas. 



Bandingkan dengan, al husna, yang merupakan isim  tafdhil dari ahsan. 
الحسنى 
disebut sebagai alif maqshuroh, itu pada akhirnya juga taqdiri. Kalau al husna itu, yang disebut pakai alif maqshuroh itu, nanti punya bentuk mudzakkar. Dia punya bentuk mudzakkar, itu namanya, istilah yang dipakai, lebih tepat disebut sebagai alif maqshuroh. Karena ada ahsannya disini, yang merupakan bentuk mudzakarnya.

أحسن

Contoh lagi 

القيامة الكبرى - kubro disini ada kata akbar اكبر
القيامة الصغرى - sughro disini ada kata ashghor اصغر
استغثة كبرى

Nah itulah istilah yang dipakai ketika punya bentuk mudzakkar, itu istilah yang tepat yang dipakai bukan alif lazimah, tapi alif maqshuroh. 



Alif Lazimah
Tapi kalau seandainya tidak memiliki bentuk mudzakkar dia itu memang tidak memiliki bentuk yang lain, seperti lafadz musa itu tidak ada bentuk mudzakkarnya apa misalnya, maka alif yang dipakai/yang ada disitu tidak disebut alif maqshuroh, tetapi disebut sebagai alif lazimah. 

Oleh sebab itu saya mengistilahkan alif lazimah itu alif asli, bukan karena wazan. Meskipun, seperti yang saya katakan dampaknya itu sama. sama muqoddaron, taqdiri. Karena alif itu, apakah disebut sebagai alif maqshuroh, atau alif lazimah sama2 tidak bisa menerima harokat, apakah itu dhommah fathah atau kasroh. Jadi secara ekstrim harus sampeyan pahami bahwa, ada perbedaan yang cukup serius,  antara? ketika alif ini disebut sebagai
  • alif lazimah
  • alif maqshuroh
Ketika alif lazimah, itu bukan karena wazan, dia memang alif asli. Tapi kalau alif maqshuroh itu adalah karena wazan. Karena demikian, dia itu bentuk mudzakkarnya ada. 

موسى - contoh alif lazimah (tidak ada bentuk lainya)
الحسنى - Contoh alif maqshuroh (ada bentuk mudzakarnya atau bentuk lainya) yaitu الاحسن
 القيامة الكبرىContoh alif maqshuroh (ada bentuk mudzakarnya atau bentuk lainya) yaitu اكبر
القيامة الصغرىContoh alif maqshuroh (ada bentuk mudzakarnya atau bentuk lainya) yaitu اصغر


Begitu itu, kalau seandainya sampeyan tulis, itu bermanfaat. Sampeyan mempercepat peserta didik pemula kita. Itu dibuat di madding, ooo seperti ini. Itu yang saya katakan, sampeyan sudah membantu memberikan sumbangsih, kepada bangunan ilmu pengetahuan. Meskipun sederhana, kalau peserta didik kita menyimpulkan, mungkin kesimpulan itu harus ditempuh bertahun tahun, baru bisa menyadari, oo disini ya.. letak perbedaan antara alif maqshuroh dan alif lazimah. Ooo.. dampak i'robnya ternyata tidak perbedaan, semuanya masuk dalam kategori taqdiri. Karena apakah itu disebut sebagai lazimah, atau disebut sebagai maqshuroh, itu sama2 alif. Dan karakter dari alif apakah disebut alif maqshuroh atau alif lazimah, itu sama, tidak bisa menerima harokat. Tidak bisa disebut alif kalau bisa menerima harokat dhommaf fathah dan kasroh. Sehingga tidak mungkin dibunyikan. Kalau dibunyikan musaaya menjadi ya, kalau dibunyikan musayi menjadi ya, kalau dibunyikan musayu menjadi ya. Alif itu tidak bisa dibunyikan memang. 




وإذ آتينا موسى الكتاب
موسى 

Tidak bisa disikapi lain, bahwa musaa disitu adalah berhukum nashob (manshub) karena naa disitu dihukumi sebagai rofa'. Bukti bahwa disitu adalah dhomir rofa' mutaharrik, bukti dhomir itu rofa adalah ya disitu tertulis ya, bukan tertulis alif. 

Ataa yu-tii itaa-an itu adalah muta'addinya kepada dua maf'ul. Gitu itu harus diklarifikasi oleh sampeyan di sebuah kamus. Oleh sebab itu kenapa di kami, jumlah kamus di pondok kami itu hampir sebanding dengan jumlah siswa atau santri lebih disebabkan karena pendampingan kamus itu menjadi sangat penting. Jumlah kamus Munawwir - karena yang standar itu kamus munawwir, Enak.. sudah munawwir itu. Itu jumlahnya hampir sebanding dengan jumlah santri. Sehingga kecenderunganya ketika ngaji, santri itu bawa kamus satu satu. Sehingga begitu, kalau sebuah lembaga itu orientasinya ke fahmul kutub (orientasinya), kalau memungkinkan santri itu dibawai satu satu. 



Athof Tafsir


وإذ آتينا موسى الكتاب والفرقان

Athof itu yaqtadhi al mughoiyaroh - pengathofan itu menuntut antara ma'thuf dan ma'thuf alaih itu berbeda. 

الاطف يقتضى المغايرة

kalau seandainya ini diterapkan dalam konteks wa idz atainaa musal kitaba wal furqoona ini akan berdampak bahwa kitab itu bukan al furqon, al furqon itu bukan al kitab. \

Penggunaan wawu disini pada dasarnya menuntuk bahwa al kitab bukan al furqon, al furqon bukan al kitab. Kalau seandainya saya contohkan lain,

جاء محمد و احمد

Ahmad itu bukan muhammad, muhammad itu bukan ahmad. Jadi wawu itu begitu, jadi beda antara ma'thuf dan ma'thuf alaih itu beda. Secara umum wawu athof itu menunjukkan itu. 


وإذ آتينا موسى الكتاب والفرقان

Kalau misal diterapkan di ayat ini, berarti yang diberikan kepada nabi musa itu al kitab dan al furqon. Padahal yang diterima oleh nabi musa itu cuma taurot saja. Inilah yang mengantarkan bahwa yang diterima nabi musa itu cuma satu, cuma taurot saja. Itulah yang akhirnya berdampak pada bahwa wawu disini adalah wawu athfu tafsirin. 


Ketika yang jatuh sebelum wawu dan sesudah wawu itu satu, 

الاطف التفسيرى

Bukan athof bayan, kalau athof bayan tanpa huruf athof. Wawu itu konsep dasarnya dalah yaqtadhi al mughoiyaroh. Menuntuk antara yang jatuh setelah wawu sebagai huruf athof (yang kemudian kita sebut sebagai ma'thuf) dan yang jatuh sebelum wawu (ma'thuf alaih) itu beda. Kalau itu diterapkan, berarti kitab itu beda dengan al furqon. Al Furqon itu bukan kitab, kitab itu bukan al furqon. Itu misalnya kalau diterapkan konsep dasar yang umum itu, bahwa athof itu yaqtadhi al mughiyaroh. Padahal, kalau kita lihat di realitas, yang diterima oleh nabi musa itu cuma satu, yaitu Taurot. Oleh sebab itu wawu disini adalah athof tafsir, yang sama dengan kata2 ai (maksudnya).

Ada disebut sebagai
  • Athof Nasaq
  • Athof Bayan
  • Athof Tafsir (dengan mempergunakan huruf athof, tapi sebenarnya antara ma'thuf dan ma'thuf alaihnya itu sebenarnya satu, cuma memperjelas saja )


لعلكم تهتدون


تهتدون - اهتدى - يهتدى
يهتدى + و 
َيَهْتَدِيُوْن



yaa disitu posisinya adalah tathorruf, di ujung. dan dia berharokat, maka kena kaidah: idza tathorrofil wawu wal ya-u wa kaanata madhmumataini uskinata.

َيَهْتَدِيْوْن
karena disukun maka terjadilah apa yang disebut dengan iltiqous sakinaini (bertemunya dua sukun). Karena itu yang dibuang adalah ya nya.. karena yang menunjukkan jama' adalah wawunya. 

َيَهْتَدِوْن
yang kemudian dal ini harus di dhommah (wa dhummat li tasallumil wawi) untuk penyelamatan wawu, sehingga menjadi 

َيَهْتَدُوْن

kalau seandainya fathah masih ditoleransi, tapi kalau kasroh dengan wawu tidak ada toleransi sehingga disebut sebagai wa dhummat litasallumil wawi 

ثم ضمت الدال لتسلم الواو



Untuk penyelamatan wawu sehingga wawu jama' disitu tidak jatuh setelah kasroh. Mungkin itu yang bisa saya sampaikan semoga bermanfaat. 

Comments