Skip to main content

Lafadz Umum tetapi dimaksudkan Khusus | KH. Abdul Haris | Metode Al Bidayah



PENJELASAN TAFSIR AR ROZI 

Surat Al Baqoroh 6 Ada sesuatu yang penting untuk kemudian kita fikirkan, yang ditawarkan oleh imam ar rozi di dalam tafsirnya mafatihul ghoib, tentang masalah ini. Apa itu? Kalau sudah innalladzina kafaru (Sesungguhnya orang2 kafir), itu seharusnya sifatnya umum itu sifatnya umum, itu sighotnya ‘aam (umum). (Sesungguhnya Orang2 kafir itu tidak mungkin beriman). Karena disini dianggap umum, maka seharusnya sapu habis (istighro’) semua orang kafir tidak mungkin beriman. Realitas dalam sejarah tidak menunjukkan itu. 






Yang masuk islam masuk islam, banyak orang kafir juga. Orang yang awalnya kafir, ternyata ada juga yang masuk islam, padahal disini menggunakan sighot ‘aam (innaladzina kafaru). Orang2 kafir itu diklaim oleh al quran, itu tidak akan beriman. Padahal realitasnya, yang masuk islam itu banyak dari orang kafir juga. Karena demikian, imam Ar rozi dalam kitab mafatihul ghoib itu mengingatkan, Ada realitas, di dalam teks2 keagamaan, yang disebut sebagai ‘aam yang makhsus, atau al ‘aam urida bihi al khosh. Ada lafadz umum, tapi dimaksudkan adalah khusus. 

Kalau seandainya innaladzina kafaru …… laa yukminun, itu kemudian diberlakukan sebagaimana keumuman ayat, itu akan berlawanan dengan realitas, yang mana sebagian dari orang2 kafir itu juga ada yang beriman. Ada konsep di dalam ushul fiqih al ‘Aam (shigotnya umum) urida bihil khos, tapi dimaksudkan disitu adalah khusus. Ada fenomena itu dalam teks2 keagamaan. Sesuatu yang menurut sighotnya adalah umum, tapi dimaksudkan disitu adalah khusus. 

Kalau seandainya innaladzina kafaru ….. diberlakukan sesuai keumuman ayat, maka tidak akan ada kemungkinan orang kafir itu akan beriman. Realitas dalam sejarah, tidak mencerminkan itu, (realitasnya) dari mereka yang kafir, ada yang beriman. Oleh karena demikian ada istilah Al ‘Aam urida bihil khushus. Ada Shighot ‘Aam tapi yang dimaksudkan disitu adalah khusus. Fenomena itu di dalam teks keagamaan, muncul. 

Saya contohkan yang lain ya..agar kita tidak fanatik dalam rangka mengaplikasikan 


أما السفينة فكانت لمساكين يعملون في البحر 
فأردت أن أعيبها وكان وراءهم ملك يأخذ كل سفينة غصبا 
 Contoh pada surat Al Kahfi ayat: 79 

Adapun Perahu itu punya orang2 miskin yang bekerja di laut. Maka kemudian saya menghendaki untuk merusaknya (menjadikannya cacat, tidak baru) kenapa? karena di hadapan mereka ada seorang raja yang mengambil setiap perahu dalam keadaan paksa Kalau seandainya semua perahu itu kok diambil, maka Nabi Khidr kok merusak itu, tidak ada manfaatnya, toh pada akhirnya akan dirampas juga. Yang dipakai disini adalah setiap perahu, itu akan diambil. Pertanyaanya adalah, apa manfaatnya kok nabi khidir mencederai/merusak perahu itu, kan pada akhirnya dirampas juga. Yang dilakukan nabi khidr itu kan, berarti perahu itu supaya tidak diambil. 

 Lafadz yang dipakai kulla safinatin ( setiap perahu) , ini berarti sama dengan yang tadi, lafadznya umum, tapi yang dikehendaki adalah khusus. Yang dimaksudkan adalah perahu yang masih kondisinya baik, ketika sudah ada cacat, maka tidak dirampas. Artinya ada fenomena al amm urida bihil khoss.. Apa yang dilakukan oleh Nabi Khidr itu tidak ada samasekali manfaatnya, toh pada akhirnya akan dirampas juga. Shighot yang dipakai disini adalah kulla, kulla termasuk lafadz yang ‘aam (yang berarti setiap) Ada fenomena di dalam ushul fiqh, lafadznya itu ‘aam urida bihil khos, ada fenomena itu. 

Innalladzina kafaruu…. Laa yukminun, kalau seandainya ayat itu diberlakukan di dalam keumuman ayat, menurut Imam Ar Rozi, harnya gak ada yang masuk islam, tapi kenyataanya sebagian besar mereka justru masuk islam. Ini kita diingatkan bahwa ada fenomena, ada realitas dimana lafadznya ‘aam tapi yang dimaksud disitu khosh. Itu sama kalau seandainya kita tarik dengan, Surat Al Kahfi ayat 79. 

Ada kata2 kulla safinatin, kalau diterjemahkan itu setiap, setiap itu adalha seluruh (semuanya) apakah yang baik maupun yang sudah rusak. Tapi kok kenapa Nabi Khidr itu kemudian merusak perahu, mencederai perahu, tidak baik kondisinya misalnya. Itu berarti terjemahanya adalah yang dirampas itu adalah yang sebagian, yang baik2 saja. Karena demikian tidak bisa kita salahkan misalnya, Para ‘ulama kita, yang menerjemahkan kullu bid’atin dholalah, dengan tidak semuanya (tidak setiap). Bahkan Imam ‘Izzuddin bin ‘abdissalam, itu menerjemahkan yang namanya bid’ah itu menjadi 5 (bahkan) ada bid’ah wajibah, faktanya begitu. Jadi ada istilah al ‘aam urida bihil khosh, ketika menerjemahkan kullu bid’athin, para ulama kita diantaranya menganggap bahwa kullun disitu adalah urida bihil khosh, dimaksudkan disitu adalah sebagianya. Ini contohnya, dari innaladzina kafaru… laa yukminun, yang kalau seandainya diterapkan sebagai dzohir ayat, itu bertentangan dengan realitas,yang mana pada saat itu, orang2 kafir quraish ada yang banyak masuk islam. 

Berarti yang dimaksud adalah sebagian. Apa ada fenomena semacam itu? Ada..yang paling ekstrim bahkan kata2 kulla (setiap) misalnya. Jadi untuk membaca al quran itu, ilmu itu penting. Kata2 waro’a misalnya, artinya (di belakang). Kalau di belakang, ya tinggal lari saja.. Kan dibelakang, gak perlu dirusak. Oleh sebab itu, tafsir2 waro a ini adalah amama hum ( di depan mereka). Tafsir2 mengatakan justru amama hum ( di depan meraka). Waroa yang (dibelakang) diterjemahkan amama (di depan), dan masuk akal. Loh kalau di belakang mereka, langsung melarikan diri saja, tapi karena amamahum (di depan mereka) yang harus dilewati, maka perlu bagaimana strategi agar tidak dirampas, yaitu apa? Dirusak terlebih dahulu. Waroa bi makna amama, di belakang diartikan di depan, berat.. Kalau tidak membaca tafsir berat. 


Semoga bermanfaat. 

Comments