Mari kita teruskan, kajian Annahul khomsun, al mantuqihi wal mafhumihi. Ini ikut halaman 287. Jadi diantara aturan memahami quran, memahami apa yang disebut mafhum, apa yang disebut mantuq. Kira2 kalau terjemahan Indonesia itu ada yang eksplisit, redaksinya itu ada yang implisit. Kalau yang eksplisit itu mengganti kata mantuq, memang dilafadzkan seperti itu. Yang mafhum itu bisa diartikan semacam apa? kesimpulan tapi gak mesti jadi pegangan. Makanya ini harus hati2 kalau di bab mafhum. Misalnya gini, contoh yang dipakai ulama.
Kesimpulan yang tidak didapatkan dari teks letterleg. Misalnya ini diberi contoh begini.
إن الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إنما يأكلون في بطونهم نارا وسيصلون سعيرا
Surat An Nisa 10
Orang yang memakan hartanya anak yatim secara dzolim, maka sama juga dengan memakan api neraka. Sekarang terus anda berdalih, saya gak makan ok gus, muk ghasab tok. Saya nyuri, berarti kalau nyuri sepeda motornya cah yatim gapapa kan gak dimakan. Lha itu syaraf itu, maka cara memaknainya gini, orang yang makan harta anak yatim (baca: merusak, merugikan) sehingga kata ya-kuluna amwalal yatama adalah 'ibarotun an aqollil ifsad. Makan itu sebanyak2nya kan satu piring dua piring, saja haram. Apalagi mengambil mobilnya, mengambil tanahnya, sehingga kata ya-kuluna diganti kata yufsiduna. Yang merusak, itu namanya mafhum. Kadang mafhum itu aulawi, aulawi itu lafadz yang disebut dengan maknanya, ekstrim maknanya. Misalnya ada ayat.
وقضى ربك ألا تعبدوا إلا إياه وبالوالدين إحسانا إما يبلغن عندك الكبر أحدهما
أو كلاهما فلا تقل لهما أف ولا تنهرهما وقل لهما قولا كريما
Surat Al Isro: 23
Maka kamu jangan mengatakan huss / huff. Yang diharamkan itu mengatakan huss kalau misoh kayaknya gak. Gak bisa seperti itu, kalau kata huss ahh, kecewa lah. uffin itu dalam bahasa arab at tadhojjar, saya merasa gak nyaman dengan orang tua itu, orang arab bilang uffin. Atau ah us, huh, pokoknya gak enak. Kalau itu saja gak boleh, maka bilang kakekane jancuk lebih tidak boleh. Nah kalau itu tidak boleh karena menyakitkan, misohi orang tua itu gak boleh karena menyakitkan. Membiarkan orang tua sampai utang2 tonggo, sampai pinjem2 itu juga menyakitkan. Jadi kalau menyakitkan misoh itu karena kata2, menyakitkan ekonomi itu secara kejiwaan. Maka ulama mengatakan segala bentuk yang menelantarkan orang tua, maka hukumnya, haram, itu semuanya di mafhum, difahami dari kata falaa takun lahumaa uffin. Begitu seterusnya. Dan itu oleh ulama dibabkan, bab mafhum mantuq. Saya baca beberapa teks aslinya,
Kalau makan anak yatim secara dzolim haram, maka membakar harta anak yatim juga haram. Li annahu musaawiyan li akli fil itlaaf. Karena sama2 merusak. Memakan harta anak yatim juga merusak harta itu, mencuri juga sama, membakar juga sama. Mengghasab juga sama. Nah pertanyaanya adalah? hal dilalatu dzalika qiyasiyatun, lafdzaiyatun, majaziyatun, au haqiqiyatun. Lalu lafadz bisa dimaknani sejauh itu, itu dilalahnya
- lafdziyah,
- hukmiyah
- qiyasiyah
Misalnya gini ya, Ini mungkin mudah difahami ya, saya misalnya punya satpam atau punya pembantu atau punya cah ndalem kalau dalam bahasa pesantren itu, punya tiga.
Zaid
Bakar
Umar
Ketika ada tamu, pak on datang beliau datang, saya bilang Bakar, silahkan sini.
- Umar itu denger, wong yang dipanggil gak saya kok, wong yang dipanggil bakar.
- Ali ya denger, tapi katanya yang dipanggil bukan saya.
Tentu saya manggil bakar itu, karena spontan saya ingatnya bakar, sehingga manggil bakar. Tapi hakikat bakar adalah pengganti cah ndalem, sehingga ketika yang datang Umar saya gak masalah, yang datang Zaid juga gak masalah, karena butuh saya adalah ada orang yang melayani tamu. Sehingga lafadz tersebut gak jaminan, hadza lafdzu bi'ainih. Ini memang agak njlimet, tapi mau gak mau harus kita pelajari. Sehingga dalam kitab2 ulumul quran diterangkan, wiridan2 atau perintah2 yang diberikan Nabi kepada shohabat, meskipun disebut namanya, tetep itu untuk umum. Jadi misalnya Nabi berkata sama mu'adz, karena kebetulan mu'adz yang di depanya misalnya,
Ya mu'adz inni uhibbuka faqultu fi kulli duburi sholatin .........
اللهم إني على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك
Kita tahu semua hadits menyebut ya Mu'adz, wahai mu'adz. Kata Mu'adz ini mewakili semua umatnya nabi, harus terdidik kayak mu'adz. Meskipun yang disebut Nabi? mu'adz. Nah ketika kita mbaca wiridan itu, karena kita mengqiyaskan diri sama mu'adz. Menganalogikan diri sama dengan mu'adz, sama2 santrinya kanjeng Nabi. Atau cara berfikir? Nabi itu ingin mendidik semua umatnya. Berhubung yang di depan mu'adz, maka nabi menyebut mu'adz. Tapi bukan hakikatnya itu khushus untuk? Mu'adz. Itu namanya mafhum, jadi mafhum itu satu makna yang difahami, meskipun itu tidak dilafadzkan/diucapkan. Ya begitu seterusnya. Sudah saya teruskan, supaya makna quran itu lebih....
saya teruskan lagi, Supaya nanti makna quran itu lebih..... (mengena)
Ada ayat lagi.
فجلده ثمنين جلدة
Begitu juga menyangkut adat (bilangan). Adat itu bilangan. Ketika Al Quran itu menyebut suatu bilangan, apakah itu mubalaghoh, mubalaghoh itu butuhnya itu diekstrimkan. Atau punya makna sesuai bilangan itu. Misalnya begini, sampeyan kalau mangkel sama seseorang kalau dalam bahasa jawa itu, meskipun kamu minta maaf sama saya seribu kali, tidak akan saya maafkan. Ternyata orang yang diajak ngomong itu ndablek sekali, ya sudah nanti saya minta maaf 1001 kali. tak susuk i satu. Itu kamu mangkel gak? pasti kamu mangkel. Karena kamu menyebut seribu kali itu sangking mangkelnya. Saya memaafkan kamu itu mohal (mustahil), meskipun anda meminta maaf 1000 kali. Tapi orangnya tetep ndablek, yasudah saya tambah 1001 kali.
Itu gak bisa seperti itu, karena adat (bilangan) yang disebut Al Quran, dalam konteks balaghoh, itu hanya lil mubalaghoh (mengekstrimkan satu kasus) atau satu peristiwa. Itu di semua bahasa dunia, kalau kamu mangkel sama istri, atau mangkel sama teman, atau mangkel sama tetangga, mbok rene nganti mbungkuk, nganti sujud, tidak akan saya maafkan. Ya saya sowan kamu sambil melata, misalkan, sambil merangkak. Nah ini namanya mafhum. Mafhum itu, kalimat gak disebut, tapi maknanya pasti seperti itu.
Jadi kalimatnya hanya gini tok, mbok kamu minta maaf 1000 kali, tidak akan saya maafkan. Maknanya hanya seperti itu. Betapa bencinya pada orang itu, itu saja. Ada juga, ada beberapa kelompok sing Alloh itu sing ngendikan, laa yukallimuhumulloh wa laa yandzuru ilaihim. Alloh melihat saja tidak mau, ngendikan saja tidak mau. Pertanyaanya adalah Secara hakikat, semua makhluknya dilihat Alloh apa gak? dilihat. Tapi ada ayat wa laa yandzuru ilahim, makhluk2 seperti ini tidak dilihat. Makna tidak dilihat adalah tidak dipedulikan. Hakikatnya Alloh tetep melihat. Jadi ayat itu hanya menunjukkan betapa bencinya Alloh sama kelompok itu, sampai diistilahkan Alloh tidak berkenan melihat. Ya gak usah dimafhum gini, woh beneran Alloh gak melihat, aku maksiat (kan) gak konangan. Woh... kasus kalau begitu. Itu balaghoh, jadi ilmu, ilmu2 yang harus dianalisis secara balaghoh.
Jadi ada kelompok2 yang memperjual belikan agama, atau melakukan kejahatan atas nama agama. Yas-alullahi bi'ahdillahi wa aimanihim tsamanan qolila. Itu orang2 yang dihukum oleh Alloh, kata Alloh hukumanya adalah laa yukallimuhumulloh, Alloh tidak berkenan ngendikan, juga gak berkenan melihat. Makanya sekarang ini kita punya jargon kembali ke Al Quran dan Sunnah, tapi tetep saja kita memahami Al Quran dengan cara2 yang difahami ulama dulu, yang ulama itu punya sanad sampai shohabat, dan tentu sampai Rosululloh Saw. Di antara (kajian ilmu ) bahasa arab itu ada mubalaghoh. Mubalaghoh itu mengekstrimkan suatu peristiwa. Dan pilihanya pakai bahasa. Sudah saya beri contoh tadi, seperti orang jawa bilang " mbok kowe rene ping sewu, tetep ora tak sepuro" . Kamu gak bisa ngarang buku, kalau 1000 gak cukup, kalau 1001 pasti cukup. Memange ini KPU kalau 50% + 1 terus menang. Tidak.. tidak bisa seperti itu. Ya... maknanya hanya maa asyadda bukhdhohu. Betapa bencinya orang itu, gitu aja. Alloh tidak berkenan orang yang memperjual belikan agama. (Oh malah enak, kalau Alloh gak lihat malah enak...) tidak bisa seperti itu, (maksudnya) saking bencinya Alloh sampai diistilahkan tidak berkenan melihat. Itu kan kamu seperti benci orang, aku lak ruh kowe mutah2, masak mutah2 betulan? kan enggak. Sangking gak maunya melihat. Itu di bahasa arab juga seperti itu.
Kemudian apakah mafhum itu bisa menjadi hukum, jawabanya iya. Asal lafadz yang disebut, yang eksplisit tadi, disebut bukan karena gholib. Gholib itu gampange omong, nggolib itu umum. Misalnya begini, saya beri contoh yang ekstrim. Cong... lek onok wong mlarat kesini, hormati. Misalnya saya seorang kyai, atau seorang dosen, kalau ada tamu miskin, hormati. Lha itu ternyata tamunya orang kaya. Terus pembantu saya seenaknya tidak menghormati. Alasanya yang harus dihormati itu yang miskin, kalau yang kaya gak perlu. Ini tentu pembantu yang buruk. Karena mengatakan jika yang miskin hormati itu maknanya prioritas, bukan catatan hukum. Jadi kalimat disebut itu kadang catatan hukum, kadang prioritas. Kalau tadi maknanya, jika yang datang orang miskin, prioritaskan, bukan berarti kalau orang kaya tidak perlu dihormati.
Nah itu banyak di quran, di hadits, lafadz yang kemudian disebut prioritas. Tapi sama orang yang ahli bahasa dianggap sebagai catatan hukum. Maka itu menjadi gaduh, secara hukum menjadi gaduh. Saya beri contoh yang ada di Quran
Kalian itu haram, menikahi anak tiri (anak tiri itu anaknya istri) yang serumah dengan kamu. Yang serumah dengan kamu itu bukan catatan hukum. Jadi begini ya.. misalnya, saya beri porsi hukum fekih ya. Yang diharamkan dalam islam itu kan tiga
karena nasab
karena rodho (menyusu)
karena mushoharoh (besan)
Kalau karena nasab itu yang kita tahu tujuh ya, kalau dalam bahasa arab tujuh. Kalau dalam bahasa jawa itu tinggal empat. Tujuh itu apa saja? yang hafal quran.
- ummahatukum
- banaatukum
- akhwatukum
- ammatukum
- kholatukum
- banaatul akhi
- banaatul ukthi
Itu kalau dalam bahasa arab, muharromatun nikah itu ada tujuh. Tapi orang jawa bilang hanya empat. Sebetulnya memang empat, karena orang arab itu ngitungnya
ibu
putri
saudara putri
bulik dari bapak
bulik dari ibuk
keponakan dari saudara laki2
keponakan dari saudara perempuan
kalau orang jawa saudaranya bapak atau ibu kita bilang bulik, kalau orang arab enggak, kalau saudaranya bapak itu amma, kalau saudaranya ibu khola. Kalau anaknya saudara orang jawa bilang keponakan. Kalau orang arab dihitung, wa banatul akhi, wa banatul ukhti.
- ammatukum
- kholatukum
- banaatul akhi
- banaatul ukthi
Sehingga di Jawa empat ini diringkas jadi berapa? dua. Yaitu haram menikahi bulik dan haram menikahi keponakan. Kemudian...
Kemudian yang kedua haram karena rodho' (susuan). Jika kamu nyusu sama sri misalnya, otomatis anaknya sri saudara rodho. Ibu yang kamu susui otomatis ibu rodho, suaminya sri bapak? rodho'.
Terus ketiga karena mushoharoh
Ini didengerin, supaya jadi ahli hukum. Masak universitas islam indonesia tidak tahu muharromatun nikah. Kamu jangan ikut bahasanya artis2 gaul di Jakarta. Kalau orang sudah nikah itu malah namanya muhrim. Sebetulnya salah bahasa, justru yang bisa dinikah itu ajnabiyah orang lain. Kalau mahrom malah gak boleh dinikah. Karena maknanya mahrom itu orang yang haram dinikah. Justru istri itu bahasa fekihnya itu ajnabiyah (orang lain) buktinya boleh dinikah. Kalau mahrom itu orang yang haram dinikah. Tapi ya sudah ada bahasa gaul gitu ya ikut embo2 goblok, tapi gak usah ikut2 goblok. Karena itu memang salah, bahasa itu memang salah sebetulnya.... Makanya istri itu repot, di fekih itu repot. Fekih itu kalau bahasakan istri itu ajnabiyah (orang lain). Kalau anak itu anak, kalau istri itu bahasanya tetep ajnabiyah (orang lain). Sehingga sekali dicerai ya bener2 menjadi orang lain. Kalau kita mati ya bener2 menjadi orang lain. Buktinya boleh dinikah orang lain. (16.56)
Comments
Post a Comment