Skip to main content

Kajian Ushul Fiqh | Kh. Abdul Haris | Metode Al Bidayah | Part 91 | Bab Ma'nal I'jazi wal Arkanihi


Berikut ini adalah kajian Ushul Fiqh, pembacaan Kitab Ushul Fiqh ke 91 oleh Kh. Abdul Haris. Kalian bisa mengikuti kajian beliau di channel metode Al Bidayah. Kajian praktek membaca kitab seperti ini bisa memberikan kepada kita wawasan, bagaimana terjun langsung menganalisis teks yang ada pada kitab. Semoga bermanfaat bagi kalian semua. Selamat menikmati. 

 
وهذا المنكرُ مع شدةِ حرصِهِ على إبطالِ دعوَى هذا المدَّعِي، ومع أنه ليس به أي مرضِ ولا له أي عذرٍ يمنعُهُ عن مباراتِه وعن الإتيانِ بمن يباريه لم يتقدمْ لمباراته ولم يأتِ بمن يباريِه، فإن هذا اعترافٌ منه بالعجزِ وتسليمٌ بالدعوِى



Mubtada - Khobar
Penting untuk saya tegaskan realitas ini, 

وهذا المنكرُ - ini mutada

mana khobarnya? khobarnya ternyata jauh.
لم يتقدمْ لمباراته ولم يأتِ بمن يباريِه

Jadi diperhatikan, sampeyan jangan memiliki pandangan bahwa mubtada khobar, khobarnya itu jatuh setelah mubtada. Kalau seperti itu gampang baca kitab. Ternyat jauh banget. 

Orang yang mengingkari ilmu, berserta sangat ambisinya dia membatalkan klaim yang mengatakan orang yang mengakui dirinya jago. Dan beserta juga, dalam diri mungkir ini tidak ada penyakit, tidak ada udzur yang bisa menghalangi untuk kemudian.... itu jauh..



Posisi Khobar
Jadi Khobar itu tidak selalu jatuh setelah Mubtada. Inilah kemudian yang menjadikan membaca kitab kok menjadi sulit. Yo kalau seandainya kita lihat yang lurus2an saja ya gampang. 

هذا كتاب

hadza kitabun, nah itu langsung. Langsung mubtada khobar itu.

محمد قائم

Kan itu terus contone kan? yo iso kabeh lek ngono. Inilah kemudian, kalau kita masih ngomong hitungan jam, hitungan hari, bahkan hitungan bulan, untuk jadi mahir itu agak berat. Karena realitasnya, susunan yang ditawarkan di dalam teks itu tidak sama seperti kita mendapatkan pelajaran tentang mubtada khobar, dimana setelah khobar langsung mubtada. 



Kan seperti itu kalau guru sedang menjelaskan ... hayo.. pelajaran mubtada khobar.
هذا كتاب
hadza kitabun, hadza mubtada, kitabun khobar. Yo iso kabeh lek koyok ngono, langsungan. Jadi sampeyan tetep untuk jadi pemenang, from zero to hero, dari nol sampai kemudian menjadi seorang juara, itu harus manual. Saya harus mengklaim, ketika saya menjelaskan gini ini bukan tidak ada bukti, pondok kita disini, sering ketika ada lomba baca kitab, kita menang. Tidak hanya jago kandang ketika di jember, kita pernah menang di malang, kita pernah menang di bandung, kita pernah menang di jepara, kita pernah menang di banyuwangi dan seterusnya. Kan menang kita, realitasnya itu. Apakah mereka semua instan, tidak, mereka semua manual. Oleh sebab itu panjenengan, semuanya ini, kalau seandainya pingin bisa baca kitab, jangan berfikir instan, karena itu gak mungkin. Realitas yang terjadi di dalam teks itu tidak disusun berurutan langsung. Mari mubtada khobar, mari fiil fail maf'ul bihi. Udah kacau. 

وهذا المنكرُ 

karena kebetulan hadza ini jatuh di awal jumlah misalnya, di awal jumlah itu maksudnya banyak ya, bisa jadi dalam konteks 
  • isti'nafiyah
  • i'tirodhiyah (kalimat sisipan)
  • ibtidayiyah
  • washfiyah
  • haliyah
Ini kan seperti kemarin yang kita tegaskan, syarat idza, itu jawab syaratnya lebih rasional itu fa inna hadza. Ini lah banyak pengalaman ya, yang menjadikan sampeyan itu, kalau bener2 ingin baca kitab, harus manual, jangan berfikir instant. Tingkat kesarjanaan sampeyan itu menjadi bagus kalau seandainya sarjana2 agama itu, disertai faham quran, faham hadits. Pendekatan yang paling sederhana untuk memahami Al quran dan al hadits adalah nahwu shorof. Sudah... kalau sudah gak bisa nahwu shorof, meskipun sudah mbaca, meskipun sudah mbaca asbabul wurudnya, asbabul nuzulnya, sudah ngerti ini nasikh mansukh macem, (tetep) gak iso... 

النحو اولى اولا ان يعلما * اذ الكلام دونه لن يفهما

Pakai lan disitu, lan itu nafi istiqbal, tidak sekarang tidak yang akan datang. Al Kalam (teks bahasa arab itu apakah itu al quran, apakah itu al hadits) tanpa menggunakan ilmu nahwu, tidak mungkin bisa difahami. Tidak akan, nafi istiqbal itu tidak akan. Yang ngomong ini imam imrithy, bukan orang mayang, bukan... bukan orang ciloot.. bukan.. Ulama terkenal Imam Imrithy itu. Kepakaranya cukup luar biasa, hampir nadzom itu punya banyak. Nadzom ushul fiqh punya, nadzom ini punya, orang hebat. Itu percoyo sampeyan... 

Jadi saya tegaskan, mubtada wa hadzal munkiru, itu khobarnya adalah lam yataqoddam. Orang yang mengingkari, padahal dia ambisi, kok tidak berani berlomba, tidak mampu mendatangkan orang yang mampu bertanding dengan orang yang mengklaim itu, (fa inna hadza) maka ini merupakan.... nah nanti begitu jadinya. 


Catatan Pertama
Bahwa susunan dalam teks itu tidak selalu normal2 saja. Mari Mubtada' Khobar, tidak diseling2 i yang namanya dzorof, jar majrur, kemudian na'at macem2 tidak.Tidak seperti itu, ternyata diselingi macem2.

Wa hadzal munkiru, sekarang kita ngomong tentang hadza. Hadza itu adalah isim isyaroh, diulangi lagi untuk pemula ini setiap isim isyaroh itu pasti memiliki apa yang kita sebut sebagai musyarun ilaihi. Setiap kata petunjuk itu pasti memiliki sesuatu yang ditunjuk. Musyarun ilaih itu ada dua
  • nakiroh (kalau musyarun ilaihnya isim nakiroh langsung kita tentukan sebagai khobar)
  • ma'rifat (

maka ketika musyarun ilaihnya berjenis mu'arof bi al, maka kena kaidah. 

معرف بعد اشارة بال    أعرب نعتا او بيانا او بدل

mu'arrofun isim yang dima'rifatkan, ba'da isyarotin (yang jatuh setelah isim isyaroh), dima'rifatkan bi al, dengan menggunakan al, U'riba maka isim tersebut di i'robi, Na'tan sebagai na'at, au bayan sebagai atau sebagai athof bayan, au badal, atau dii'robi sebagai badal. 

ذالك الكتاب
dzalikal kitabu, bagaimana cara mengi'robinya.
Dzalika (bermula ini)
al kitabu (rupanya ini  al kitab)

Realitasnya disini, al mungkir itu adalah mu'arrof bi al, maka disini dianggap sebagai na'at athof bayan atau badal. Apakah dianggap sebagai na'at athof bayan atau badal sama saja, sama2 dianggap tawabi'. Sama2 i'robnya harus disesuaikan dengan hadza. Hadza jadi apa ini? mubtada. Mubtada harus dibaca apa? rofa'. Loh kok tidak ada tanda rofa'nya ustadz? lagi2 kemarin kita tegaskan, bahwa janganlah selalu menuntuk bahwa perubahan i'rob itu selalu ada tanda i'robnya. Hadza termasuk dalam kategori al asma' al mabniyah, kenapa kalau al asma' al mabniyah? maka sifatnya mahali, tanda i'rob tidak mungkin ada disitu. 

kalau al munkar, al mungkir itu wilayahnya adalah shorof. Al mungkir itu isim fail, orang yang mengingkari. Kalau al mungkar, yang diingkari, isim maf'ul itu. Itu wilayahnya shorof, kenapa ustadz? ini kok dibaca al mungkir? kok tidak al munakkir? 
Yo kita merujuk di atasnya, 

ankaro itu kalau seandainya di tashrif itu bisa mungkir.

والثالث: أن ينتفي المانع الذي يمنعه من هذه المباراة

فإذا ادعى رياضي أنه بطل نوع من أنواع الرياضة وأنكر عليه دعواه رياضي آخر، فتحدى مدعي البطولة من أنكر عليه وطلب منه أن يباريه أو أن يأتي بمن يباريه

Angkaro
yunkiru
inkaron
wa mungkaron
fa huwa mungkirun
wa dzaka mungkarun
ankir
laa tungkir
mungkarun mungkarun

Kalimat sebelum dan sesudahnya, itu memungkinkan kita gunakan sebagai pegangan untuk menentukan kira2 ini, asal wazanya itu apa? karena kita sudah membaca angkaro di atasnya, maka ketika kita menemukan 

المنكرُ

dipaksa sesuai dengan yang sebelumnya. Nah ketika ankaro dijadikan sebagai pegangan untuk min nun kaf ro ini, maka ini dibaca mungkir, bukan munakkir. Yang penting sampeyan bisa mikir, itu target saya. Oleh sebab itu ngajinya suwi. 

وهذا المنكرُ
wa hadzal (dan bermula ini)
al munkiru (rupanya orang yang ingkar)


مع شدةِ حرصِهِ على إبطالِ

Ma'an
Perhatikan kata2 ma'a sekarang. Pokoknya akan saya informasikan semuanya. Semakin koleksi sampeyan itu banyak, semakin bagus. Apa ustadz??
  • ada ma'a yang kemudian dimudhofkan, 
  • ada ma'a yang tidak dimudhofkan
 
Ada ma'a yang tidak dimudhofkan, ma'an begitu saja. Ketika ma'a kemudian dimudhofkan maka statusnya bira dzorof zaman bisa dzorof makan. Tapi apabila kemudian tidak dimudhofkan, dengan ditanwin misalnya, munawwan (ditanwin) ma'an begitu, maka statusnya adalah sebagai hal. Terjemahanya, takwilanya adalah jami'an

رجعت مع اخواني من المدرسة معا

Jika tidak dimudhofkan maka kedudukanya adalah sebagai hal. Tapi kalau seandainya dimudhofkan bisa jadi itu dianggap sebagai dzorof zaman, bisa jadi itu dianggap sebagai dzorof makan. Apakah dianggap sebagai dzorof zaman/dzorof makan itu semuanya dalam kategori manshubatul asma'. Tidak akan merubah untuk kemudian dibaca yang lain. 

Itu koleksinya seperti itu, o... ma'an itu ada ya.. saya memang mendengar kata2 ma'an. 
 
ذهبنا معا

ketika tidak dimudhofkan, maka takwilanya adalah jami'an. sebagai hal. 
Hale bareng2. Semakin banyak sampeyan punya koleksi seperti ini, maka semakin mungkin sampeyan untuk mampu memahami teks arab. Karena memang targetnya saya seperti itu, memberikan target kepada panjenengan tentang bagaimana analisis nahwunya itu. 
 


Ibtholi

وهذا المنكرُ مع شدةِ حرصِهِ على إبطالِ دعوَى هذا المدَّعِي
wa hadza (dan bermula ini)
rupanya? al munkiru (orang yang ingkar)
ma'a syiddati hirshihi (beserta sangat ambisinya dia)
'ala ibtholi (untuk membatalkan)
da'wa hadzal mudda'i. 
 
Perhatikan kata2nya adalah ibthol bukan bathola, abthola membatalkan. 

kalau bathola - yabthulu - buthlan itu artinya batal, lazim itu berarti
kalau abthola - yubthilu - ibtholan itu memiliki fungsi li ta'dhiyah, mazid.




Da'wa
kata2 da'wa itu menjadi mudhofun ilaihi dari ibthol, 
da'wa mudhof ilaihi
ibthol mudhof
 
على إبطالِ دعوَى هذا المدَّعِي

da'wa itu apa dia kemudian dibaca rofa' nashob atau jar, karena termasuk dalam kategori isim maqshur, maka i'robnya selalu taqdiri, tidak akan berubah yang lain. Karena kebetulan yang jatuh di akhir itu adalah alif, alif tidak bisa menerima harokat dhommah fathah atau kasroh. Ini bukti, seperti kemarin yang saya katakan. 
 
wa angkaro 'alaihi da'wahu, 
 
da'wahu adalah merupakan maf'ul bihi dari angkaro, tapi disini
ibtholi da'wa, da'wa disini menjadi mudhofun ilaihi. 

Dibaca rofa' tetep dibaca da'wa, dibaca nashob tetep dibaca da'wa, dibaca jar tetep dibaca da'wa. Lebih disebabkan karena dakwa termasuk dalam kategori isim maqshur. Konsep...

دعوَى هذا المدَّعِي
 
Dakwa termasuk contoh i'rob taqdiri yang maqshur, hadza termasuk contoh i'rob yang mahali untuk isim isyaroh. Al mudda'i itu contoh i'rob taqdiri yang isim manqush. 


ma'a itu adalah mudhof, syiddati itu adalah mudhofun ilaihi. Inilah alasan kenapa kok bacaanya kemudian kok syiddati. Syiddati disamping sebagai mudhofun ilaihi juga dimudhofkan terhadap lafadz hirshy. Inilah kenapa alasan kenapa syiddati ini tidak ada al nya, dan juga tidak boleh ditanwin. Hirshi ini alasan kenapa kok tidak hirshu atau hirsho. Harus dijar kan itu, dikasrohkan disitu, kenapa? karena menjadi mudhofun ilaihi dari syiddah. Hirshi itu juga dimudhofkan kepada hi. 

Pun juga demikian susunan ala ibtholi, ibthol itu adalah merupakan mudhof, mudhof ilaihnya mana? disamping mudhofun ilaihi dari ibthol juga maunya dimudhofkan kepada hadza. Sehingga hadza itu merupakan mudhofun ilaihi dari hadza. Karena demikian hadza disitu itu adalah berkedudukan jar. 

Al Mudda'i sama dengan yang tadi, termasuk musyar ilaihi yang ada alnya, karena demikian, maka dia harus di i'robi mu'arofun ba'da isyarotin bi al, u'riba na'tan au bayanan au badal. Selanjutnya sekarang.


Mashdar Muawwal 
 
ومع أنه ليس به أي مرضِ ولا له أي عذرٍ يمنعُهُ عن مباراتِه
 
Annahu, wa ma'a annahu, itu adalah contoh dari susunan idhofah yang mudhof ilaihnya terdiri dari mashdar muawwal. Ma'a tetep dimudhofkan disitu mana mudhofun ilaihnya? mudhofun ilaihnya annahu. Anna termasuk dalam kategori huruf mashdariyah. Jadi ini merupakan contoh mudhof ilaih yang berupa? mashdar muawwal. Anna plus khobarnya plus isimnya itu fi takwilil mashdar. Itu yang pertama penegasanya, jadi wa ma'a annahu itu tetep susunan idhofah, karena demikian ma'a tetep dianggap sebagai? dzorof. 
 
 
Dhomir ada tiga
Sekarang ngomong annahu,
ini banyak yang harus di analisis. Dhomir itu rek, itu ada tiga. Ada yang disebut sebagai 
  • isim dhomir, 
  • dhomir fashl,
  • dhomir sya-n. 

Ada isim dhomir, huwa huma hum, hiya huma hunna, anta antuma antum, anti antuma antunna, ana nahnu

Ada juga dhomir fashl, dhomir fashl ini kategori huruf, huruf oleh sebab itu karena huruf dia tidak memiliki kedudukan i'rob. Al i'robu huwa taghiryi awakhiril kalim. Jadi dhomir fashl itu pinjam tulisanya isim dhomir, mulai dari huwa dan seterusnya itu, fungsinya untuk apa? fungsinya untuk memisahkan, untuk menegaskan, untuk memfashl, menegaskan bahwa yang jatuh sesudahnya itu berkedudukan sebagai khobar. 


Ulaaaika humul faaizun. Kata2 faizun disitu adalah menjadi khobar, kenapa? karena diseling2i oleh hum. Hum disitu dhomir fashl, hum disitu pinjam tulisanya isim dhomir, tapi statusnya dia sebagai huruf. Ulaika, mereka itu, hum ya mereka adalah al faizun, orang2 yang menang, orang2 yang beruntung.


Ada dhomir sya-n juga. Yang terkenal dengan dhomir yang tidak memiliki marji'ud dhomir. Pokoknya begini, dhomir sya-n itu tidak mungkin kecuali mudzakar mufrod. Perhatikan, dhomir sya-n itu tidak memungkinkan kecuali dia adalah mudzakar mufrod. Kalau kalau seandainya muannats dia, haa tidak mungkin dia dhomir sya-n. Dia harus mudzakar mufrod, terus yang kedua adalah yang jatuh sesudahnya harus berbentuk jumlah, kalau yang jatuh sesudahnya bukan jumlah, pasti bukan dhomir sya-n. Dhomir sya-n itu adalah dijelaskan oleh jumlah yang jatuh sesudahnya. Memang tidak memiliki tempat kembali kepada yang sebelumnya. Karena dijelaskan oleh jumlah yang jatuh sesudahnya. Kalau seandainya njenengan ditanya qul huwallohu ahad. 

Qul katakanlah

huwa dialah, kembali kemana huwa ini? tidak ada kembalinya disitu, karena qul huwallohu ahad itu adalah ayat yang pertama, mau dikembalikan kemana ini. Huwa disitu dijelaskan oleh Allohu Ahad. Allohu ahad itu adalah jumlah mubtada khobar, Alloh sebagai mubtada, ahadun sebagai khobar. Allohu ahad itu merupakan penjelas dari dhomir sya-n berupa huwa. Jadi ada contoh dhomir sya-n itu merupakan dhomir2 yang munfashil. Tidak hanya innahu annahu, tidak, ada yang munfashil juga, contoh yang konkrit adalah qul huwallohu ahad. Jadi sekarang kita uji.

Annahu secara status dia sudah mudzakar mufrod, memungkinkan untuk kita anggap sebagai dhomir sya-n. Yang selanjutnya adalah laisa bihi aiyu marodhin, itu adalah merupakan jumlah. 

Laisa itu adalah fiil yang memiliki pengamalan sebagaimana kaana, karena dia adalah temen dari kana. Bihi disitu adalah khobar muqoddam dari laisa, aiyu marodhin disitu menjadi mubtada muakhkhor dari laisa. Berarti, laisa bihi aiyu marodhin itu adalah jumlah, yang jatuh setelah ma'a annahu, yang jatuh setelah annahu adalah berupa jumlah. Oleh karena demikian memungkinkan hu, yang mufrod mudzakkar itu memungkinkan untuk kita anggap sebagai dhomir sya-n. Ya kalau dhomir sya-n gak usah sibuk2 mencari tempat kembali. Ma'a annahu beserta sesungguhnya, adalah laisa bihi aiyu marodhin. Ya.. itu penjelasan, yang penting sampeyan pengalaman. Ini banyak yang perlu dibahas, besuk sudah ganti teks lagi. Jadi...

Ada isim dhomir, ada dhomir fashl, ada dhomir sya-n. Dhomir sya-n itu adalah harus berkategori mudzakar mufrod, dan yang jatuh sesudahnya wajib berbentuk jumlah. Kalau yang jatuh sesudahnya bukan berbentuk jumlah, pasti bukan dhomir sya-n. 


Jika ada dhomir ghoib (orang ketiga/dia) laki-laki (mudzakkar) terletak sebelum jumlah mufidah (kalimat sempurna), maka dhomir tersebut dinamakan dengan dhomir sya’n.
Contoh : ...... ﻫﻮ ﺍﻟﻠﻪُ ﺃﺣﺪٌ (dhomir ﻫﻮ disebut dhomir sya’n)
 
Jika ada dhomir ghoib (orang ketiga) perempuan (muannast) terletak sebelum jumlah mufidah (kalimat sempurna), maka dhomir tersebut dinamakan dhomir qissoh.
Contoh : ﻓﺈﻧَّﻬﺎ ﻻ ﺗَﻌﻤﻰ ﺍﻷﺑﺼﺎﺭ … (dhomir ﻫﺎ disebut dhomir qissoh)
Ya memang kudu manual begini, setitik setitik tapi lek sampeyan ngajine sedino ping telu, yo akeh wisan. Wes setitik, ngaji seminggu sepisan, yo angel. Nganti kiamat kurang rong ndino yo angel. Ngajine iku mbendino, kita diberi contoh oleh pondok pesantrend yang hebat2 itu, ngaji setiap hari, setiap waktu, itulah yang rasional mengantarkan untuk peserta didik untuk kemudian...... (memahami). Ketika ada wacana seperti gini ini, jangan lupa dihafalkan. Pokoknya dihafalkan terus saja, dihafalkan.... didiskusikan, diperdebatkan, dan seterusnya. 
 
أي عذرٍ يمنعُهُ عن مباراتِه
 
Selanjutnya tentang aiyu saya ulangi lagi.  Ada realitas dimana yang namanya mudhof dan mudhof ilaihi itu, dari segi mudzakar muanatsnya itu harus sama, yaitu ketika lafadznya berupa lafadz aiyu. Ketika lafadznya mudzakar lafadz aiyu, ketika lafadz muannats aiyata roghbatin. Nah ini lagi2 sekilas info ini, kalau ini di halaman berapa kemarin itu, aiya tu roghbatin. Jadi ada realitas, idhofah itu tidak harus mudzakar muannats. Ketika mudzakar muannats ya silahkan, ini suaminya kamu. ini suaminya fatimah ya zauju fatimata. Ini istrinya ahmad, yasudah zaujatu berarti. Mudzakar muanantsnya berbeda disitu. Mosok saya ngomong suami kamu, ya yang kamunya itu pasti kamu perempuan, mosok kamu laki2?? gimana? itu semacam itu.

Jadi ada konsep dimana mudhof itu disesuaikan dengan mudhof ilaihinya, kalau mudhof ilaihinya mudzakar, maka mudhofnya harus mudzakar, kalau mudhof ilaihinya muannats maka mudhofnya harus muanats.Apa lafadz itu? lafadz itu adalah aiyun dan aiyatun. Meskipun sering ada yang menolak, tapi di dalam kitab itu sering seperti itu, minimal di dalam kitab ini sudah kita baca, sudah pernah kita buktikan. Di dalam al quran, tidak. fi aiyi surotin... bukan fi aiyati surotin... Tapi ada ahli, kita sudah cek ini, perdebatan seperti ini kalau seandainya bukan al quran, memungkinkan untuk kemudian dibaca fii aiyati surotin. Ya sudah, pokoknya sampeyan ketika baca kitab sudah punya bekal, pengalaman, ada dimana antara mudhof dan mudhof ilaih ada penyesuaian dari mudzakar muanatsnya, kalau lafadz mudzakar pakai lafadz aiyun, kalau muanats pakai lafadz aiyatun. Nah kalau itu saja pointnya, kalau sudah baca itu, ya gampang akhirnya. 

Saya mengulangi lagi, saya mengulang2 terus ini, tapi karena sudah lama libur, maka saya khawatir lupa. Kalau seandainya sampeyan menemukan laa nafi itu, jatuh setelah huruf athof, dan yang jatuh sebelumnya adalah nafi. Maka itu tanda, dimana lam itu adalah zaidatun. Fungsinya adalah, li taqwiyatin nafyi. Ada laisa bihi aiyu marodhin, walaa... sebelumnya ada laisa, gitu kan. Yang umum adalah ketika ada laa campur laa. Ada nafi campur nafi, itu bisa berarti positif. Saya bukan, tidak punya mobil. Punya mobil apa gak? punya. Saya berjalan kaki ini, bukan tidak punya mobil, ini karena olahraga ini. Saya bukan tidak, itu berarti punya itu. Kalau kita menemukan laa jatuhnya setelah huruf athof, yang sebelumnya itu adalah merupakan huruf nafi, ada didahului oleh huruf nafi, maka itu adalah ciri bahwa lam nya itu adalah zaidatun, fungsinya adalah li taqwiyatin nafyi. Oleh sebab itu ketika sampeyan moco jurumiyah itu, kan ketok bingung sampeyan. Laa yasluhu ma'ahu dalilul fi'li wa laa dalilul ismi. Nah itu kudu dipakai kaidah ini. Laa nya itu adalah zaidatun li taqwiyatin nafyi. Pokoknya yang penting ada rumus itu. Kalau di dalam al quran saya sering beri contoh

laa yas ma'una fiiha laghwan wa laa ta-tsima. Itu kalau seandainya lamnya dihilangkan laa yasma'una fiha laghwan wa ta-tsiman. Ketika ada laa jatuh setelah huruf athof wawu, dan yang jatuh setelahnya itu adalah nafiy, misalnya, maka laa disitu adalah laam zaidah yang memiliki fungsi, li taqwiyatin nafyi. Kalau kita tidak diberlakukan seperti itu, kalau seandainya kita contohkan  ternyata, nafiy plus nafiy sama dengan plus. Saya bukan tidak punya mobil, apa artinya? saya punya mobil. Nah itu ada analisis seperti itu. Selanjutnya. 
 
لم يتقدمْ لمباراته ولم يأتِ بمن يباريِه
 
Adalah lam yataqoddam... 


فإن هذا اعترافٌ منه بالعجزِ وتسليمٌ بالدعوى
 
Nah ini kemudian merupakan jawab dari idza, Kalau seandainya atlit itu sudah menganggap dirinya jago dalam bidang tertentu, kemudian atlit yang lain mengingkarinya, selanjutnya, sik selanjutnya itu...selanjutnya orang yang mengaku sebagai jago itu menantang orang yang mengingkari itu untuk kemudian bisa berlomba denganya, orang yang mungkir ini berambisi untuk membatalkan klaim orang yang menganggap dirinya jago. Padahal dalam diri orang yang mungkir itu tidak sakit, juga tidak dalam keadaan udzur yang menghalanginya untuk berlomba, dan untuk mendatangkan orang yang bisa berlomba, gitu kan, ternyata orang ini tetep saja tidak berani untuk berlomba, dan tidak mampu mendatangkan orang yang bisa berlomba dengan orang yang? mengklaim itu. 

fa inna hadza ( mongko sak temene iki/ sak tuhune iki)
i'tirofun (merupakan pengakuan)
minhu ( saking mungkir / orang yang ingkar)
bil 'ajzi (dengan kelemahan)
wa taslimun (dan pengakuan)
bid dakwa (terhadap klaim itu)
 
Ya seperti itu, kira2 analisisnya seperti itu, ya cukup banyak informasi yang bisa kita peroleh dari faidah da'a ini. Semoga bermanfaat.

Comments