Skip to main content

Kausalitas Hukum Alam atau Tuhan - Pemikiran Religio-Saintifik Al Ghozali | Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi


Pertama saya ingin bercerita dulu, sejarahnya buku ini. Buku ini sejarahnya adalah disertasi saya.  Itu saya konsultasi dengan Prof. Naquib Al Latas. Proposal saya, dikoreksi langsung oleh beliau. Dan saya ingat, beliau itu gak pernah menggunakan ballpoint, beliau menggunakan pensil. Beliau nulis pun menggunakan pensil, dan masih pakai penghapus apa namanya? yang tebel2 itu. Ketika saya nulis proposal itu, kemudian beliau koreksi, kemudian beliau tulis di dalam proposal saya itu.

This is an important topic of discussion, i will supervise myself

Beliau mengatakan, saya sendiri yang akan mensupervisi. Baru berjalan satu tahun, itu beliau dilengserkan. Jadi saya kebagian proposal saja dengan beliau. Tapi saya mengalami sebuah moment2 yang sangat penting sekali, ketika beliau melihat saya menggunakan nama orang yang tidak terkenal. Beliau katakan, who is this? Siapa orang ini? orang ini tidak otoritatif jangan disebut di dalam teks. Cukup di footnote, wo baru ngerti saya, ternyata kalau anda nyebut orang di dalam teks, dan orangnya tidak memiliki otoritas di dalam bidang keilmuan, itu secara akademis, harganya kurang. Misalnya dalam tulisan anda, anda menulis menurut Imam Asy Syafi'i, habis itu di bawahnya menurut Imam Samudera nah lain. Jadi kelasnya itu jangan disamakan, misalnya lagi setelah Imam Asy Syafi'i kemudian Pak Quraish Shihab, itupun juga masih belum sesuai maqomnya. Jadi kalau berbicara para imam ya tentu dengan Imam yang lain, itu satu. 

Yang kedua, beliau mengkoreksi orientalis, saya dibantu oleh beliau. Yang namanya Majid Fakhri, itu membuat disertasi yang diberi judul, Islamic Ocasionalism. Mirip dengan ini, kausalitas ini. Jadi dalam pengertian Majid Fakhri itu kausalitas itu sama dengan prinsip bahwa tuhan itu turun ke alam dunia, occasionally, sewaktu waktu gitu, jadi kadang turun kadang naik. Ini menurut Al Latas, salah. Anda harus koreksi ini. Jadi anda harus menggunakan konsep kausalitas al ghozali, beliau sendiri yang buat judul itu with refference with teory and reality, dengan merujuk dengan teori ilmu pengetahuan dan realitas. Itu beliau yang ngasih judulnya, ini saya terus mikir, ini caranya gimana ini? judulnya dari seorang professor, dan saya tidak tahu harus melakukan itu. Kemudian saya survey semua tulisan mengenai kausalitas al ghozali, ternyata banyak sekali. Dan berbagai macam perspektif dilakukan orang, baru saya ingat bahwa ilmu dengan realitas, adalah bagian terpenting dari worldview. cara pandang Islam. 

 

Worldview
Nah kemudian saya menggunakan teori worldview. Worldview itu apa??
Cara pandang islam atau kemudian visi tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita, dan menjelaskan tentang hakikat wujud. Oleh Prof Al Latas. Jadi melihat sesuatu dengan tidak hanya dengan mata kepala, tapi dengan mata hati kita, jadi ada sesuatu dibalik itu yang kita lihat, kemudian dari situ muncul, wo ternyata wujud secara menyeluruh itu ini. Makanya kalau kita berbicara tentang wujud, itu ada w kecil dan w besar. W besar itu yaitu wujud Alloh. Nah disini, kita melihat sesuatu realitas dan melihat kebenaran, dengan mata hati kita, sehingga apa yang nampak bagi kita itu adalah yang empiris dan yang tidak empiris, itu worldview. Makanya cara pandang saya terhadap konsep kausalitas ghozali ini, merujuk pada konsep worldview, kalau digambarkan seperti ini. Ketika orang melihat realitas, dalam pengertianya sudah ada pengertian Tuhan. Jadi apa yang nampak di alam ini, empiris itu ternyata dibelakangnya ada Tuhan. Kemudian Tuhan yang seperti apa? yang mengajarkan ilmu kepada kita. 'Allamal insana maa lam ya'lam. Kemudian realitas itu apa? realitas kehidupan, kehidupan yang seperti apa? yang berkaitan dengan Tuhan juga. Ini kalau diterangkan satu semester. Jadi saya gak akan berpanjang lebar.

 


 

Ini adalah konsep, yang di dalamnya itu terdapat sekian konsep. Jadi sebenarnya seorang muslim itu, di dalam dirinya kanya dengan konsep. Dan satu konsep dengan yang lain, saling berkaitan. Anda berbicara ilmu, pasti berbicara nilai, anda berbicara nilai, pasti berbicara dosa dan pahala. Bicara tentang dosa dan pahala, pasti berbicara mengenai Tuhan. Berbicara mengenai Tuhan pasti berbicara mengenai manusia, sebagai ciptaanNya, terus semua berkaitan. Makanya dalam pandangan al parsalan, itu disebut dengan arkitectonic. Jadi sebuah bangunan konsep yang secara apik teratur di dalam fikiran seseorang, itulah worldview. 

 


 

Nah untuk memandang konsep Ghozali yang berkaitan dengan kausalitas ini, saya mengambil apa namanya? dua konsep ini, Konsep Tuhan, Realitas, dan Ilmu Pengetahuan. Jadi saya menggunakan teori worldview. Nah setelah saya menulis ini, setelah diganti pembimbingnya, oleh chemil ardogan orang turki, yang menguji saya prof. Al Parsalan,  dosen saya mengenai worldview, kemudian beliau dalam ujian itu mengapresiasi saya, dia sebagai external examinar, dalam itu dia tulis. Tulisan itu kemudian saya letakkan di belakang ini. Ternyata alhamdulillah saya diapresiasi oleh beliau. Banyak orang menulis tentang al ghozali, tapi banyak yang melewatkan aspek ini katanya. Dan dia bersyukur, ya karena saya muridnya, kemudian dia suka. Saya ngajar worldview, dan dia menggunakan teori saya, dia suka. Dia adalah orang yang berhasil memandang ghozali dari perspektif worldview. Dan dengan cara ini, anda tidak bisa serta merta menyalahkan orang yang worldvienya lain. Kalau kita bicara filsafat, kita itu bicara worldview, jadi hukumnya bukan worldview sana salah, hukumnya adalah worldview anda tidak sama dengan mereka. 

 

Beda Cara Pandang
Cara pandang anda dengan cara pandang orang komunis tidak sama, cara pandang anda dengan orang kapitalis, tidak sama, anda dengan orang kristen, tidak sama. Nah disinilah worldview. Nah perbedaan worldview adalah perbedaan peradaban ternyata. Nah saya berbicara disini, kritik al ghozali terhadap filsafat, yang representasinya adalah Ibnu Sina yang dikenal sebagai muslim peripatretik, muslim aristotelianism. 

 


 

Konsep Tuhan itu Esa, tetapi bagi para al ghozali dan teolog muslim, Esa tetapi ada sifat. Bagi filusuf, Tuhan itu Esanya Mutlak. Sehingga jangan sampai ada di dalam diri Tuhan itu sesuatu yang membuat Dia tidak Esa. Kalau ada sifat, berarti Tuhan itu mempunyai sesuatu yang ditambahkan di dalam diriNya. Berarti ada dua sifat dengan dzat, sifat ditambah dzat, Kok Tuhan itu merupakan komposisi dari sifat dan dzat? gak mungkin.  

Betul kan? setuju gak? ngerti gak nih? 

Ini mikir dalam ya sekarang ya. Jadi gini, Tuhan itu harus Esa secara absolut, maka jangan sampai ada sedikit pun di dalam Dzat Tuhan itu ada sesuatu yang membuat Tuhan tidak Esa. Kalau ada sifat, berarti Tuhan ada sifat dan Dzat. Itu argumentasi mereka. 

Bagaimana para Ulama kita? Ada sifat, karena sifat itu ada di dalam Al Quran. Karena di dalam Quran Alloh sendiri mengatakan, 

Alloh yu'adzdzibu man yasyaa - wa yaghfiru li man ya syaa-

Itu semuanya sifat itu, anda tidak bisa memungkiri itu. Nah sekarang bagaimana? gambarannya? Kalau Tuhan itu mempunyai sifat, berati Tuhan itu (bergerak). Sifatnya Maha Mengetahui, Maha Memberi Rizqi, memberi itu sudah satu gerak. Atau memberi adzab, atau memberi cobaan. Kalau Tuhan itu bergerak, ini dalam teori filsafat ini ya, kalau Tuhan itu bergerak, kan gerak itu memerlukan ruang dan waktu. Kalau Tuhan itu mempunyai sifat, berarti Tuhan itu bergerak, kalau bergerak berarti menjadi relatif. Berarti Tuhannya umat islam itu relatif, para filusuf gak mau mengatakan itu, gak ada sifat. Tuhan itu Dzatnya adalah sifatnya, nah jadi Tuhan itu tidak bergerak, nah bagaimana caranya supaya Alam ini ada? Dia dengan tanpa bergerak, alam itu ada dengan sendirinya. Caranya bagaimana? dengan Emanasi (seperti di dalam tabel). Emanasi itu seperti api, mengeluarkan panas, itu beremanasi namanya. Jadi tidak melakukan kepanasan, Api tidak membuat panas, tapi dari dirinya muncul panas, itu namanya beremanasi. 


Sementara, para ulama kita mengatakan bahwa Tuhan ada sifatnya. Ada sifat dan ada dzat, Tuhan itu mengatur, Tuhan itu mencipta, Tuhan itu memberi, Tuhan itu berkehendak, Nah ini berkehendak dan semuanya ini merupakan perilaku atau fi'il Tuhan yang itu menurut para filosof tidak sah, karena Tuhan akan menjadi relaltif. Nah teorinya para filosof muslim ini, berdasarkan pada teorinya aristoteles, semua yang bergerak berubah. Semua yang bergerak pasti berubah. Makanya Tuhanya filosof, adalah Tuhan yang bergerak, tapi menggerakkan. Makanya disebut Unmoved, mover. Penggerak yang tidak bergerak. Sementara tadi, Tuhanya para Ulama itu, adalah Tuhan yang ada sifat, dan dia menciptakan. Segala sesuatu diciptakan oleh Tuhan, dan menciptakanya itu bukan sekali menciptakan langsung selesai, Dia menciptakan secara terus menerus. Nah para ulama ini membuat teori yang lain lagi, yang disebut dengan teori atom, dan aksiden. Jadi setiap benda itu diciptakan oleh Alloh, atom atom, bukan atom dalam pengertian fisika ya, ini lain, ini atom metafisika. Atom itu seperti esensi dari sesuatu itu. Kemudian ditambahlah seperti aksiden, aksiden itu seperti sifat. 

 

Teori Atom dan Aksiden
Katakanlah misalnya es, Atomnya es, adalah sebuah bongkahan dingin yang keras. Aksidenya, kerasnya itu. Ketika sifat kerasnya itu dihilangkan oleh Tuhan, dia akan menjadi air. Kayu ini keras, karena sifatnya kayu keras. ketika Alloh mengambil dari sifat keras itu sebagai aksiden dari atom kayu, maka kayu itu menjadi rusak, demikian seterusnya. Itu teorinya para ulama, bahwa Tuhan itu mempunyai sifat. Dan alam ini selamanya akan di bawah ketentuan Tuhan, apakah aksiden itu diambil oleh Tuhan, atau ditambahkan. Manusia, sifat hidupnya diambil oleh Tuhan, dia menjadi manusia mati kan? Nah itu teori aksiden dan atom, itu teori para ulama. 

Jadi Tuhan mempunyai sifat seperti itu, tidak ada masalah karena begini, Tuhan itu ada dua macam sifat, yang pertama sifat dzatiyah, yang kedua sifat fi'liyah. Sifat dzatiyah itu adalah sifat dalam dzat Tuhan. Seperti hidup, berilmu, mempunyai kekuasaan, kemudian mempunyai irodah, ini semuanya sifat2 di dalam dzat Tuhan, tetapi ketika Tuhan memberi rezeki, itu adalah sifat fi'liyah, aksional atribut. Sifat dari perilaku ataupun perbuatan Tuhan. Sifat perbuatan memang relatif, tetapi sifat dzatiyah Tuhan, absolut. Ketika Tuhan menciptakan alam semesta ini, itu adalah sifat perbuatan Dia, bukan sifat Tuhan yang relatif. Tuhan tetep sebagai dzat yang maha kuasa, yang berilmu, yang berkehendak dan lain sebagainya. Jadi tidak ada masalah dengan Tuhan berkehendak. Masalah menjadi selesai kan? 

 

Tapi bagi filosof, gak mungkin, jadi disini kunci pertentangan antara ghozali dan ibnu sina. Argumentasinya Tuhan Esa dan Absolut, tidak ada aspek apa pun dalam dzat Tuhan maka dari itu Tuhan tidak mempunyai sifat. Jika Tuhan mempunyai sifat, maka tuhan terdiri dari sifat dan dzat. Jika Tuhan mempunyai sifat, maka akan menjadikanya bergerak, dan akan menjadikanya relatif. Makanya Tuhan adalah penggerak yang tidak bergerak. Ini ya, argumentasinya mereka. 

Dari sisi kausalitas, mereka mengatakan, meskipun Tuhan tidak bergerak, Tuhan adalah penyebab. Kalau dalam bahasa arab, disebut dengan musabbibul asbab, cause of the causes. Jadi sebab2 di alam ini, Tuhan semuanya yang menyebabkan. Tapi sebagai sebab utama yang pasti, mengakibatkan wujudnya alam. Jadi alam ini ada karena Tuhan ada, otomatis. Bahkan menurut ibnu sina, dengan analoginya yang dia gunakan. Kalau anda memegang kunci, kemudian anda gerakkan tangan anda, dulu mana? kunci dengan tangan? Sama kan? itulah alam dan Tuhan. Itu logikanya ibnu sina. Jadi alam dengan Tuhan itu ada secara bersamaan. Tetapi kemudian, prosesnya bukan membuat satu persatu begitu, prosesnya adalah beremanasi, emanasi seperti tadi itu, muncullah akal pertama yang dalam gambaran aristoteles itu galaksi2, tatasurya, dan bintang di langit. Jadi ada langit pertama kedua ketiga, sampai ke sepuluh.  Tapi prinsip ini tidak kemudian setelah ini setelah ini, tidak begitu, ini seperti tadi, kunci dengan tangan, wujud Tuhan bersamaan dengan akibatnya. Bahasa arabya mutarokhiya, dia ada setelah tuhan tidak dalam waktu tapi secara otomatis. Kemudian tuhan disebut dengan wujud yang utama, nah wujud yang lain itu dianggap wujud yang sekunder. Tetapi kemudian wujud yang sekunder ini, wujud yang nisbi ini, dijadikan menjadi wujud yang pasti oleh Tuhan yang wujudnya adalah pasti. 
 

 

Apa kata Al Ghozali? ini kemudian saya melacak dari buku2 al ghozali, yang terutama memang ini, tahafutul falasifah. Kerancuan para filosof, buku itu terdiri dari 20 bab. Bab satu sampai 16 itu tentang penciptaan alam. Jadi ini mengenai Tuhan dan alam dengan berbagai macam aspeknya. Saya menangkap disitu ada worldview khusus al ghozali, disitu bicara tentang Tuhan dan penciptaan dan lain sebagainya. Baru kemudian di bab ke 17, dia bicara mengenai kausalitas. Berarti bab 1-16 itu berbicara tentang basis kausalitas itu, bagian 17 sampai 20 itu berbicara tentang kausalitas dan sains, sebagai aplikasi, dalam bahasa inggrisnya disebut dengan divine causality. Kausalitas Tuhan dan Makhluk. Dan sekarang kausalitas dan alas semesta, itu ada di bab yang ke-17. Itu berbicara tentang sains. Saya lacak kemudian dari buku2 yang lain lagi, 



Ada di dalam buku iqtishod fi iqtiqod buku tentang teologis. Mi'yarul ilmi ini buku tentang logikanya al ghozali, disitu mau berfikir yang agak rumit2 ada disitu. Kemudian Ihya ulumuddin ini epistemologinya, aada ilmu laduni itu ilmu tasawufnya. Kemudian ada al maqsudul asma min asmail husna.  Itu tentang kosmologi, dan kosmogoni. Kosmogoni itu tentang penciptaan. Apa yang dinyatakan Al Ghozali, di bab yang ketujuh belas, pernyataan yang sangat mengejutkan banyak filosof. Menurut kami, ini kami ini, Imam Al Ghozali mengatasnamakan umat islam. Hubungan antara apa yang diyakini sebagai sebab dan akibat, tidaklah pasti. Padahal menurut para filosof tadi, Tuhan dan Alam ini sudah pasti terjadi. Tuhan pasti ada alam. Hukum para filosof itu kemudian menjelma menjadi realitas empiris ini. Ada sebab, pasti ada akibat. Sama dengan Tuhan dan Alam tadi, maka inilah yang disanggah oleh Al Ghozali, bahwa Hubungan antara sebab dan akibat, itu tidak pasti. Secara teologis dia menyatakan, hubungan itu karena takdir Tuhan. Nah ini kalau sudah takdir gak bisa mbantah ini, takdir mau gimana lagi. Nah kemudian, ternyata beliau juga menggunakan dalil2 di dalam al quran, ternyata Tuhan itu mempunyai aturan, dan aturanya itu adalah sangat bijaksana. Kemudian meletakkan aturan itu dalam sebab akibat yang ada di alam semesta ini. 


Kemudian Tuhan juga meletakan itu secara absolut, mendasar, fiks, dan stabil. Sebab akibat itu diciptakan oleh Tuhan, sehingga tidak ada katakanlah api, kok tahu2 bisa mendinginkan air, itu tidak mungkin bagi ghozali, itu sudah fiks. Jadi oleh al ghozali ini dikatakan universal, jadi di semua tempat kejadianya akan sama saja. Ketiga ada determinasi dari Tuhan (taujih) dengan sebab2 di atas, melalui proporsinya. Ternyata tidak pasti sebuah sebab itu membawa akibat, tergantung proporsinya. Kertas itu bisa dibakar oleh api, kalau kertasnya kering, tapi kalau kertasnya basah? tidak bisa dibakar. Seorang yang buta, kemudian dia dioperasi, setelah beberapa lama, matanya bisa terbuka dan dia bisa melihat. Pertanyaanya apa yang menjadi sebab orang bisa melihat? Orang (pertama) akan mengatakan matanya. Sekarang letakkan orang itu di dalam ruangan yang gelap gulita, dia bisa melihat atau tidak? ternyata tidak. Berarti mata bukan menjadi sebabnya dia bisa melihat, ternyata sebab yang lain adalah sinar. Itulah sebabnya, prinsip dari kausalitas yang ingin dibangun oleh Al Ghozali itu. Ada sekian sebab yang membawa akibat, dan salah satu sebab itu adalah kehendak Tuhan. Jadi api pun kalau misalnya dia panas sekali, belum tentu dia bisa membakar. 

Nah disini, kemudian orang orientalis, menuduh al ghozali, ini cuma akal2 an al ghozali, ingin membela mukjizat, kan Nabi Ibrahim gak terbakar api, ini mukjizat. Ternyata ada sebab, tapi tidak membawa akibat. Kemudian ada lagi, gak ada akibat, gak ada sebabnya, siapa? Maryam. Tidak ada ayahnya, tau2 kemudian bisa melahirkan anak. Inilah yang sebenarnya ingin dibangun oleh Al Ghozali, ingin meletakkan aspek Tuhan di dalam tata tertib alam ini. Prinsip ini, atau konsep ini sebenarnya ingin memberi sumbangan kepada pengembangan sains islam, yang selama ini sains itu adalah menghilangkan jejak Tuhan, dari Kausalitas Alam. Nah Al Ghozali meletakkan itu, dalam hubungan sebab dan akibat. Itu sebenarnya rahasianya. 



Anda bisa gak? membuktikan bahwa api itu melakukan pembakaran terhadap kertas? Secara empiris anda tidak tahu, bahwa disitu ada api, dan setelah ada api, ada sesuatu yang terbakar. Apakah anda menyaksikan? bahwa api itu melakukan pembakaran terhadap kertas? Ini yang dipertanyakan oleh Al Ghozali. Makanya, secara logis tidak bisa dibuktikan, dan inilah yang diikuti oleh David Hume, beberapa tahun kemudian di Barat. Dia menolak juga bahwa kausalitas itu pasti. Api tidak menjadi pelaku, sebab dia adalah benda mati. Dan karena itu tidak bisa mempunyai perbuatan. Jadi sama dengan iklanya air minum itu, Atas kebaikan alam semesta, kita bisa minum air mineral. Emang alam punya hati? ini, jadi seakan2 alam itu melakukan pembuatan air itu. Dimana Tuhan? lah ini.....? 
Atas kebaikan Tuhan mestinya, tapi kan tidak boleh nyebut Tuhan di alam yang serba sekular ini. 



Kalau pelaku, itu pasti ada syaratnya, dia harus punya apa namanya? perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Ada kehendaknya, ada ilmunya. Api ini gak punya ilmunya, dia mbakar yang nyentuh dengan dia. Orang miskin, rumahnya dibakar, Pasar2 rumahnya dibakar. Api ini kan gak punya ilmu, sama juga gempa bumi. Kok yang kena orang Aceh? kenapa gak orang ? Jakarta. Itu siapa yang berkehendak? Disini persoalanya, yang melakukan gempa bumi siapa? yang melakukan Tsunami siapa? Apa betul? alam semesta melakukan itu? 


Jadi pengamatan hanya menunjukkan kejadian kebakaran pada? pada waktu benda itu berhubungan dengan api. Tapi tidak menunjukkan kebakaran oleh Api. Dan tidak ada sebab lain dari itu. Jadi yang kita lihat kan terjadinya kebakaran, tapi apakah yang membakar, atau yang melakukan pembakaran itu api? itu yang dipertanyakan oleh Al Ghozali. Yang penting dalam penyelidikan kausalitas adalah moda, bentuk hubunganya itu (bentuknya kayak apa? ), bukan hubungan  api dan kebakaran (mode of relation). 





Nah, setelah beberapa tahun, Al Ghozali juga dihajar sama Ibnu Rushd, dalam buku namanya tahafutul tahafuts. Saya menangkap hanya masalah Kausalitas saja dalam bukunya Ibnu Rushd. 



Ibnu Rushd ini membela falasifah juga gak, membela Al Ghozali juga gak, saya lihat hanya di tengah2. Tapi saya  melihat Ibnu Rushd ini salah faham. Saya harus berani mengatakan itu ya, karena yang saya pakai adalah worldviewnya Al Ghozali. Saya tidak membela Al Ghozali, Tapi ternyata Al Ghozali tidak seperti yang dituduhkan Ibnu Rushd. Yang namanya akal, adalah persepsi tentang susuatu sebab-sebab. Dan karena itu menafikan sebab, sama dengan menafikan akal. Jadi dia menafikan Al Ghozali, menafikan kausalitas itu ada. Ini para mutakallimun, para teolog muslim, memang secara ekstrim dia mengatakan, tidak ada kausalitas itu. Yang ada adalah kekuasaan Tuhan, mengatur segala sesuatu. Jadi jabariyah qodariyah gitulah kira-kira, itu mutakallimun. Nah dikiranya, dikiranya Ibnu Rushd, Al Ghozali itu membeli teolog mutakallimun ini. Jadi dikiranya Al Ghozali menafikan kausalitas di alam semesta ini, seperti para teolog. Dan dikatakan lagi, ilmu tentang akibat tidak mungkin diperoleh tanpa sebab. Jadi ilmu itu sebenarnya adalah ilmu tentang sebab dan akibat. Mengingkari semua itu sama dengan mengingkari Ilmu Pengetahuan. Dia menuduh Al Ghozali mengingkari ilmu. Ini kan gak betul ini.




Apa kata Al Ghozali?
Al Ghozali menerima kausalitas, ada kausalitas di alam semesta ini, sebagai pengetahuan dan sunnatulloh. Jadi Alloh menciptakan sunnatulloh yang itu digunakan untuk manusia, untuk berilmu. Sebab akibat adalah sesuatu yang berkaitan antara satu dengan yang lain. Disebut dalam bahasa arab, yatalazzamani, tapi tidak pasti. Ada sebab, ada akibat, itu secara simultan saja. Tetapi sebab, pasti membawa akibat, itu yang Al Ghozali tidak terima. Sebab dan akibat itu tergantung kepada kehendak Tuhan. Kesimpulanya? ini saya tidak membicarakan seluruh dari buku ini, supaya pembandingnya ada bagian. Ilmu pengetahuan adalah kesesuaian antara apa yang ada dalam ilmu pengetahuan dan apa yang ada di dalam dunia realitas, Al Ghozali tidak mengingkari itu. 



Indera sebagai satu2nya supplier materi pada otak manusia, tetapi otak manusia dapat mendeduksi beberapa data di dunia nyata ini, yang tidak dilakukan oleh indera. Indera ini sebenarnya terbatas kemampuanya. Disini Al Ghozali membawa kita untuk tidak terlalu empirizistist. Kita harus juga berfikir sesuatu yang diluar empiriz itu. Indera bisa melakukan itu, kemudian bisa melakukan sylogisme ataupun logika. Otak manusia didesain untuk memahami dunia nyata, tapi akal bukan sebab utama ilmu pengetahuan. Tuhan adalah sebab utama yang sesungguhnya. Tuhan itu yang mengajar kita. Saya menggabungkan, teologinya Al Ghozali, dengan Tasawufnya Al Ghozali, dan Epistemologinya Al Ghozali. Meskipun dia tetap rasional, bicara tentang kausalitas di Alam Semesta ini ada, dan juga mendukung logika bagaimana menalar kausalitas itu, tapi dia tetep mengatakan sebab utama dari ilmu pengetahuan adalah Tuhan. 

 



Penolakan Al Ghozali di dalam hubungan kausalitas, ternyata bukan penolakan terhadap ilmu. Seperti yang dituduhkan Ibnu Rushd itu. Sebab Al Ghozali mengganti prinsip kausalitas dengan Sunnatulloh. Sunnatulloh itu bergantung kepada irodah Tuhan. Tapi Sunnatulloh yang berjalan secara regular itu, tidak absolut secara pasti (secara benar2). Absolut di dalam pengertian tadi adalah dia tetap. Dan tidak independent, sebab itu diinterupsi oleh mukjizat Tuhan. Teori Al Ghozali dan Ilmu Pengetahuan sejalan dengan argumen teologisnya juga epistemologisnya. Dan wahyu itu, dan susunan alam ini dapat dijelaskan. Itu juga ada di dalam wahyu, dan juga ada dalam susunan yang ada di alam semesta ini. Yang semua itu bisa dijelaskan, tidak melulu empirisistis. 


Saya tidak mau masuk di bab yang rumit, bagaimana kausalitas menjadi sebuah silogisme. 


Comments