Skip to main content

Kajian Alfiyah 69 | Metode Al Bidayah | Kh. Abdul Haris Jember | Bait 212-216



Pembahasan Alfiyah Ibnu Malik ke 69 oleh Kh. Abdul Haris Jember, dengan Metode Al Bidayah. Semoga catatan ini bisa memberikan bekas terhadap tersebarnya apa yang pak kyai sampaikan lewat video2nya yang sangat menarik untuk kita perhatikan, kita pahami, dan diikuti kajianya. Semoga bermanfaat juga, untuk kalian semua. Bait Nadzom 212-216

Bismillahirrohmanirrohim


Bait Nadzom Alfiyah 212

Kemarin sudah,
Fi Muhimin (
Dalam konteks ilgho- kalau kenyataanya, (jatuh di awal).
Kok dzonna wa akhwatuhaa kok kemudian jatuh di awal, dimana ilgho- itu memungkinkan di tengah/ di akhir. Ini di awal, kok kemudian terjadi ilgho- (seperti kemarin)
Maka niatilah disitu ada dhomir sya-n. Maka niatilah disitu ada lam ibtida. (kemarin begitu). 

Ada dzonna kok tidak beramal? (laa li 'amilin).
 

ٌظننت زيدٌ قائم
dzonantu zaidun qoimun. Ketika ada realitas seperti ini, ketika dzonna itu ada di awal. Yang awalnya harusnya beramal (seharusnya), Tidak memungkinkan untuk kemudian ilgho- (tidak diamalkan). Karena ilgho- itu hanya memungkinkan ketika tawasuth (di tengah) atau ta akhur ( di akhir). Maka niatilah disini, 
ada dzhomir sya-n. 
ada lam ibtida. 


waltazim (dan mewajibkanlah, siapa? kamu)
at ta'liqo (akan ta'liq)
kalau ta'liq itu berarti tarkul 'amal li mani'in. Meninggalkan kemudian untuk mengamalkan yang namanya dzonna wa akhwatuhaa, tapi karena memang li mani'in. Apa mani' nya itu??
qobla nafyi maa (sebelum nafyi nya maa)

maa disini masuk dalam kategori yang hikayah. Kalau dalam bahasanya qusuda lafdzuhu (yang dimaksud adalah lafadznya). 


Bait Nadzom Alfiyyah 213
wa in (dan sebelum in)
wa laa (dan sebelum laa)

Kalau dzonantu itu jatuhnya sebelum
maa nafi
in nafi
laa nafi

 
Maka diwajibkan untuk kemudian ada ta'lil. 

ٌظننت ما زيدٌ قائم
ٌظننت إن زيدٌ قائم

Kalau seandainya tidak ada in, kalau seandainya tidak ada maa, akan mampu menembus pengaruh zaidun qoimun, sehingga menjadi dzonantu zaidan qoiman. Menduga siapa? saya akan zaid, akan orang yang berdiri. 

ٌظننت إن زيدٌ قائم
Pengaruh dzonantu, tidak bisa menembus zaidun qoimun. Seharusnya sama2 dibaca nashob, lebih disebabkan karena ada mani' disini, berupa in nafii atau contoh atasnya berupa maa nafiiy. Pun juga demikian laa nafiiy. Laa juga dianggap sebagai mani'. Maksudnya adalah pengaruh dzonna secara lafadz, itu tidak bisa nembus kalau seandainya mubtada khobar itu didahului oleh laa nafiiy. 

ٌظننت لا زيدٌ قائمٌ  ولا عمر


Bait Nadzom Alfiyyah 212
Wal tazim (dan mewajibkanlah, siapa? kamu)
at ta'liqo (akan ta'liq)
Kalau ta'liq itu li mani'in
kalau ilgho- itu karena tempat. Kalau ilgho- itu masalah posisi dzonna apakah ditengah, di awal atau di akhir? Kalau di awal itu kemudian harus diamalkan. Kalau ada realitas di awal, kok kemudian tidak diamalkan, maka anggaplah, maka kira2 kanlah, maka niatkanlah disitu ada dhomir sya-n, disitu ada lam ibtida'. Meskipun, realitasnya disitu tidak ada dhomir sya-n, meskipun realitasnya disitu tidak ada lam ibtida'. 
 
Ilgho masalah posisi, bukan karena mani'.  
Tarkul 'amal laa li mani'in
Dzonna wa akhwatuha, sampai sebelum hab dan ta'allam. Itu memungkinkan 
  • terkena konsep ilgho
  • memungkinkan terkena konsep ta'liq

Ilgho
Ilgho terkait dengan posisi, posisi dzonna adakalalnya ada di awal, di tengah, atau di akhir. Laa limani'in, bukan karena mani'. Kalau seandainya dzonna itu ada ditengah, kalau seandainya dzonna itu ada di akhir, maka memungkinkan untuk tidak diamalkan, lafdzon wa mahallan


Ta'liq
Kalau ta'liq, itu li mani'in. Karena ada mani'. Apa mani'nya? 
Mani'nya bisa jadi maa, bisa jadi in, mani'nya bisa jadi laa

ظننت ما زيدٌ قائم
ٌظننت إن زيدٌ قائم 
ظننت لا زيدٌ قائمٌ  ولا عمر
 
Dzonantu ada di awal, bab ta'liq dzonna nya pasti ada di awal. Tidak mungkin, untuk bab ta'liq tapi dzonnanya ada di tengah2, ada bab ta'liq dzonna nya ada di akhir. Ketika bab ta'liq yaitu tarkul 'amal limani'in itu pasti di awal, karena di awal pengaruhnya mesti ada. Meskipun itu pengaruhnya adalah mahalannya. Jadi dzonna itu kalau di awal, meski berpengaruh tanshibul mubtada-a wal khobaro

Akan tetapi lafdzon wa ma'nan, kadang2 ma'nan saja. Kapan lafdzon dan ma'nan, kalau seandainya tidak ada mani'. Kapan hanya ma'nan saja? kapan seandainya mahallan saja? kalau seandainya ada mani'
Kalau ilgho itu sudah tarkul amal lafdzon wa ma'nan. 
Coba itu dibedakan.


Saya ulangi lagi. Ilgho terkait dengan posisi dzonna, apakah di awal di tengah atau di akhir. Tidak ada kaitanya dengan mani'. Ilgho itu yang dinafi'kan adalah pengaruh dzonna lafdzon wa man'nan. Yang dinafi'kan dari dzonna, pengaruhnya itu adalah lafdzon wa ma'nan. Lafdzon wa mahallan, itu ilgho. Jadi kalau seandainya zaidun qoimun dzonantu, zaidun itu jadi mubtada, qoimun jadi khobar memang. Lafdzon wa ma'nan begitu, ini bab ilgho. Gitu, kemarin (bab kemarin yang penting itu) Lalu dzonnanya jadi apa ustadz.? Nah itu yang saya temukan di dalam kitab an nahwul wafi, itu dianggap sebagai jumlatun mu'taridhotun. Itu penting itu, kadang2 sampeyan tidak menyadari. Kalau seandainya ditanya, lalu dzonnanya jadi apa itu? itu jumlah mu'taridhoh, sehingga kalau jumlah mu'taridhoh, itu laa mahalallaha minal i'rob. Tidak memiliki kedudukan i'rob. 
 
Bait Nadzom Alfiyyah 212
Waltazim, (dan mewajibkanlah siapa? kamu)
At ta'liqo (akan ta'liq)
qobla nafyi maa (sebelum nafi nya lafadz maa)


Bait Nadzom Alfiyyah 213
wa in ( dan in)
wa laa ( dan laa)
ini adalah nafi', semuanya ini adalah mani' semuanya ini.

Wa laamubtida ( dan bermula lam ibtada)
au qosamun (dan qosam)
adalah
kadza (seperti ini) seperti ini maa
maksudnya itu dianggap sebagai mani', yang pada akhirnya menjadikan dzonna itu tidak bisa berpengaruh secara lafadz. Meskipun tetep berpengaruh secara mahal. 


Wal istifhamu, dan bermula istifham
(khobarnya khobar jumlah)
adalah
dza (bermula inilah ) ta'liq. 
lahu (untuk istifham) 
adalah 
in hatama ( wajib) atau berlaku apa? hadza.
dza itu maksudnya hadza.


Ta'liq pada dzonna wa akhwatuhaa
Ini berbicara tentang mani' yang berdampak pada dzonna wa akhwatuhaa itu terkena hukum ta'liq. Apa hukum ta'liq itu? hukum ta'liq itu tarkul 'amal li mani'in. Mani'nya apa saja?
  • mani'nya itu adalah maa
  • mani'nya itu adalah in
  • mani'nya itu adalah laa

Yang semuanya itu adalah nafi'. Mani'nya itu apa lagi? lamubtidaain
  • Itu ada laa dianggap sebagai mani'. 
  • Qosam juga dianggap sebagai mani'. 
  • Istifham juga dianggap sebagai mani'. 

Kalau seandainya, realitasnya, setelah dzonna itu kemudian didahului, atau 
  • jatuh setelah dzonna itu adalah maa. 
  • Jatuh setelah dzonna itu itu adalah in, 
  • jatuh setelah dzonna itu adalah laa, 
  • kemudian lam ibtida' qosam dan istifham, 
maka pengaruhnya secara lafadz itu tidak akan ngefek kepada yang selanjutnya, yang sesudahnya, yang berupa mubtada khobar itu. 


Tetep seperti contoh yang kemarin itu.
 
ظننت ما زيدٌ قائم
ٌظننت إن زيدٌ قائم 
ظننت لا زيدٌ قائمٌ  ولا عمر
 
tetep rofa'. Tidak kemudian menjadi nashob, karena pengaruh dzonna. Jadi seandainya ditulis, kalau dibuat contoh. Nahwu itu (harus ada) contoh 

mani' maa
ظننت ما زيدٌ قائم

mani' in
ٌظننت إن زيدٌ قائم 

mani' lam
ظننت لا زيدٌ قائمٌ  ولا عمر

mani' lam mubtada'
ٌظننت لزيدٌ قائم 

mani' qosam
علمت ليقومنّ زيدٌ

mani' istifham
علمت أيهم أبوك


Secara lafadz, tidak terdampak oleh adanya dzonna yang memiliki pengamalan tanshibul mubtada-a wal khobaro ala annahumaa maf'ulaani lahaa. 

علمت أيهم أبوك
tetep aiyuhum dibaca aiyuhum
aiyuhum ini khobar muqoddam
abuuka mubtada muakhkhor



Bait Nadzom Alfiyyah 214
li 'ilmi 'irfanin wa dzonni (bukan dzonnin) sama posisinya dengan 'ilmi
li 'ilmi (untuk 'alima) yang memiliki fungsi 'arofa (yang memiliki arti 'arofa)

li 'ilmi 'irfanin (adalah untuk 'alima yang memiliki fungsi atau yang memiliki arti 'arofa)
wa dzonni tuhammah (dan lafadz dzonna yang memiliki fungsi itahama, artinya menuduh).
 
Ada 'alima itu memiliki arti mengetahui ('arofa) bukan meyakini. Berarti bukan termasuk dalam kategori af'alul qulub (perbuatan hati). Dzonna itu masuk dalam kategori af'alul qulub, tapi kalau artinya tuhamah, kalau artinya itahama (menuduh) tidak termasuk dalam kategori dzonna wa akhwatuha. Jadi dilihat konteksnya. 

li'ilmi 'irfanin ( adalah tetap untuk 'alima yang memiliki arti 'arofa) atau 'alima yang memiliki arti 'irfan. 
wa dzonni tuhamah ( atau lafadz dzonna yang memiliki arti itahama - menuduh)

ta'diyatun (bermula fi'il muta'addi)
liwahidin (untuk satu maf'ul)
berarti dzonna kalau memiliki arti idz tahama, 'alima yang memiliki arti 'arofa itu tidak memiliki pengamalan tanshibul mubtada-a wal khobaro 'ala annahumaa maf'ulaani laha. Dia itu ta'diyatun lihawhidin ( adalah merupakan fi'il muta'addi, yang muta'addinya kepada satu maf'ul)

ta'diyatun (bermula fi'il muta'addi)
liwahidin (untuk satu maf'ul)
multazamatun (yang sudah ditetapkan, yang sudah diwajibkan)



Perhatikan, ini informasi
'alima itu awalnya masuk dalam kategori dzonna wa akhwatuhaa. Dzonna apalagi, bahkan sampai dijadikan sebagai judul bab, Dzonna wa akhwatuhaa. Tapi kata tersebut nampaknya memiliki dua dimensi. Bisa jadi dia itu tanshibul mubtada-a wal khobaro 'ala annahumaa maf'ulaani lahaa, bisa jadi dia tidak termasuk dzonna wa akhwatuha, sehingga dia muta'addinya kepada satu maf'ul. Sehingga dia masuknya bukan pada susunan jumlah ismiyah, yang mubtada'nya itu dijadikan sebagai maf'ul bih pertama. Khobarnya dijadikan sebagai maf'ul bih kedua. 
Tergantung pada 'alima itu maknanya apa? dzonna itu maknanya apa? 
Kalau seandainya 'alima itu memang artinya tayaqqona, dzonna itu artinya artinya roja'a misalnya, kalau seandainya itu maka tanshibul mutada wal khobaro 'ala annahumaa maf'ulaani lahaa. 

Kalau seandainya arti dari 'alima itu adalah 'arofa, yang bentuk mashdarnya adalah 'irfan. Kalau seandainya dzonna itu adalah idz tahama artinya adalah mencurigai, menuduh, maka dia itu adalah ta'diyatun li wahidin, maka dia itu bukan termasuk dalam kategori dzonna wa akhwatuhaa 'ala annahumaa maf'ulaani lahaa. Itu maksudnya bait nadzom alfiyyah 214.

Contoh 
 
لا تعلمون شيئا
maksudnya adalah
 
لا تعرفون شيئا

Kata2 kalau seandainya dzonantu zaidan (hanya ada satu maf'ul)
ظننت زيدا
maka itu adalah ittahamtuhu

اتهمته - ini adalah muta'addi ila maf'ulani wahid

Ini adalah warning dari penulis, warning dari mushonnif, bahwa 'alima memiliki dua alternatif. Bahwa dzonna juga memiliki dua alternatif, memungkinkan dia beramal tanshibul mubtada-a wal khobaro 'ala annahumaa maf'ulaani lahaa. Memungkinkan tidak beramal tanshibul mubtada-a wal khobaro 'ala annahumaa maf'ulaani lahaa. Kapan 'alima itu memiliki pengalaman seperti itu? apabila artinya itu adalah meyakini, apabila artinya itu adalah menduga, dan seterusnya itu. Dzonna pun juga demikian, kalau seandainya 'alima itu adalah 'arofa, kalau dzonna itu artinya ittahama. Maka dia tidak beramal tanshibul mubtada-a wal khobaro, maka dia termasuk dalam kategori fi'il yang kategorinya kepada satu maf'ul. Ta'diyatun multazamatun- itu adalah na'at dari ta'diyatun. 
 
 
Bait Nadzom Alfiyyah 215
Ini kalau seandainya tidak disusun menjadi narasi yang bukan syi'ir menjadi sulit. 
Wan mi (brlakukanlah)
li ro-a (ar ru-ya)
untuk ro-a yang bentuk mashdarnya adalah ar ru-ya
berarti ini artinya adalah mimpi. 

wan mi (dan memberlakukanlah)
siapa? kamu
li ro-a (ru-ya) 
untuk fi'il ro-a yang bentuk mashdarnya adalah ru-ya
maf'ul bih dari inmi, maa (akan sesuatu)
in tama (yang berlaku) apa? maa
li 'alima (untuk fi'il 'alima)
min qoblu (sebelum ini)
thooliba maf'ulaini (dalam keadaan menuntut dua maf'ul bihi) 
dalam keadaan butuh dua maf'ul?

maa adalah maushul
shilatul maushulnya adalah intama


Kenapa kok ada min qoblu? karena sebelumnya itu ada 'alima irfanin. Bukan 'alima irfanin, tapi sebelumnya ini. Begitu maksudnya. Karena kalau 'alima itu adalah irfan, maka ta'diyatun li wahidin, dia masuk dalam kategori fi'il yang muta'addi pada satu maf'ul. Sedangkan ini bukan, Alima yang sebelumnya, sebelumnya yang ini (bukan alima yang memiliki arti irfan) Yang mana 'alima yang sebelumnya itu memiliki dua maf'ul, yaitu 'alima yang tholiba maf'ulaini. 

Contoh di dalam Al Quran

إني أراني أعصر خمرا

ni maf'ul bih pertama
jumlah a'shiru khomro adalah maf'ul bihi kedua

Aro disitu adalah berasal dari
roa-yaroo
roa naroo
roa taroo
roa aroo

Jadi etep paradigmanya, maf'ul bihi berbentuk jumlah. Maf'ul bihi pertamanya adalah ya mutakallim yang ada nun wiqoyahnya. A'shiru khomro itu menjadi maf'ul bihi kedua dari aro. Aro disini adalah bermimpi. Aro ketika diterjemahkan bermimpi, maka bentuk mashdarnya adalah ar rukya. Rukya ash sholihah (mimpi yang benar).


wa laa tujiz (dan tidak memperbolehkan)
siapa? kamu
hunaa (di dalam sini)
bi laa dalili (dengan tanpa dalil)
maf'ul bih dari tujiz (suqutho maf'ulaini)
akan gugurnya dua maf'ul. atau satu maf'ul. Dalam konteks dalam konteks ini apkah mau membuang satu maf'ul atau dua maful dalam konteks ini, tidak diperkenankan. Baru diperkenankan kalau seandainya ada dalil. Kalau seandainya ada petunjuk, kalau seandainya ada qorinah. 

wa laa tujiz (dan janganlah)
kenapa kok jangan?
itu asalnya adalah

أجاز - يجيز
تجيز
أجيز
نجيز

Dhomirnya adalah mukhothob, janganlah kam laki2. 
wa laa tujiz (dan janganlah, memperbolehkan siapa? kamu)
hunna (dalam bab ini, dalam konteks ihni)
bi laa dalilin (dengan tanpa dali)
maf'ul bihi dari tujiz
karena tujiz itu adalah mutaaddi butuh maful bihi,
sukuutho maf'ulaini (untuk gugurnya, membuang yang namanya dua maf'ul )
au mafuli (atau satu maf'ul)

Apakah dalam konteks ini membuang satu maf'ul atau dua maful, itu tidak diperbolehkan. Baru diperbolehkan, kalau seandainya ada dalil untuk itu. 

هل ظننت زيدا قائما

kemudian jawabnya
نعم 
ظننت

Kalau begini boleh, karena ini ada qorinahnya, ada dalilnya, berupa pertanyaan yang jatuh sebelumnya. Itu maksud dari bait 216. 

Semoga bermanfaat
















Comments