Skip to main content

Kajian Alfiyah 77 | Metode Al Bidayah | Kh. Abdul Haris Jember | Bait 238-241



Pembahasan Alfiyyah Ibnu Malik ke 77 oleh Kh. Abdul Haris Jember, dengan Metode Al Bidayah. Semoga catatan ini bisa memberikan bekas terhadap tersebarnya apa yang pak kyai sampaikan lewat video2 beliau yang sangat menarik untuk diperhatikan, dan diikuti kajianya. Tulisan ini merupakan transkrip dari video beliau, semoga bermanfaat juga, untuk kita semua. 




Alfiyyah bait ke 238

وقد يجاء بخلاف الاصل -- وقد يجي المفعول قبل الفعل

وقد يجاء
Waqod yujaa-u (dan terkadang didatangkan)
naibul fa'il dari yuja-u?
karena kebetulan yuja-u itu adalah fi'il yang di majhulkan, diikutkan pada kaidah dhomma auwaluhu wa futiha maa qoblal akhir. 
Naibul fa'il memungkinkan terbuat dari jarun wa majrurun. Karena demikian jar majrur yang ada di depanya itu langsung ditentukan sebagai naibul fail. 

وقد يجاء
Waqod yujaa-u (dan terkadang didatangkan)
apa? 
بخلاف الاصل
bikhilafil ashli (dengan yang berbeda dengan konsep asalnya)




(bahkan)
وقد يجي
wa qod yaji (dan terkadang datang)
apa yang datang? fa'il dari yaji. Asalnya yaji-u itu, ditakhfif istilahnya. جاء - يجيء
hamzahnya dihilangkan, itu namanya ditakhfif. Apa yang datang? 

المفعول
Al maf'ulu (obyek)
 
قبل الفعل
qoblal fi'liy (sebelum fi'il)




Alfiyyah bait ke 239

و أخر المفعول إن لبس حذر -- أو أضمر الفاعل غير المنحصر

و أخر
wa akhkhir (dan mengakhirkanlah, siapa? kamu)
maf'ul bih dari akhkhir?
 
المفعول
al maf'ula (maf'ul bihi)

إن
in (jika)
 
لبس
labsun (kerancuan)
 
حذر
hudziro (dikhawatirkan, atau ditakutkan)


إن حذر
itu asalnya in hudziro (apabila ditakutkan)
apa? labsun (kerancuan)

Kalau seandainya disusun wajar, 
إن حذرلبس


أو أضمر الفاعل غير المنحصر
au (atau)
maf'ul bih harus diakhirkan
 
أضمر
udhmiro (dijadikan dhomir)
apa? 
 
الفاعل
al failu (fail)

غير المنحصر
ghoiro munhashirin
(dalam keadaan yang tidak dihashr, tidak diringkas, tidak teringkas)




Alfiyyah bait ke 240

وما بإالا أو بإنما انحصر -- أخر وقد يسبق إن قصد ظهر

wa akhkhir (dan mengakhirkanlah siapa? kamu)
ini yang selanjutnya, langsung lompat cara bacanya
maa (akan mahshur fihi)
in hashoro (akan sesuatu yang teringkas, apa? maa)
bi illa (dengan menggunakan adat hashr illa)
au bi innamaa (atau dengan adat hashr innamaa)
wa qod yasbiqu (dan terkadang mendahului apa? maa)
in dzoharo (apabila tampak)
apa?
qoshdun (maksud, tujuan)




Alfiyyah bait ke 241

وشاع نحو خاف ربه عمر -- وشذ نحو زان نوره الشجر

wa sya-a (dan tersebar)
apa yang tersebar?
nahwu khofa robbahu 'umaru
umpamanya lafadz
خاف ربه عمر

khofa (takut)
robbahu (akan tuhanya)
siapa yang takut?
siapa?
'Umar

wa syadza (dan jarang, dan langka)
apa?
nahwu zaana nauruhu asy syajaro
umpamanya lafadz
زان نوره الشجر
zaana (menghiasi)
apa? nauruhu (bunganya)
asy syajaro (akan pohon)




Perhatikan..

Alfiyyah bait ke 238

وقد يجاء بخلاف الاصل
وقد يجي المفعول قبل الفعل

Asalnya itu adalah jumlah fi'liyah, itu adalah fi'il + fail + mb
jadi ittishol (bersambung) fi'il itu bersambung dan fail dan mb berpisah dengan fi'il. Itu asal jumlah fi'liyah itu seperti itu. 


وقد يجاء بخلاف الاصل
kadang2 didatangkan yang beda dengan konsep awalnya, bagaimana akhirnya??
fi'il + mb + fail
Dan terkadang didatangkan yang berbeda dengan asalnya. Dan terkadang datang al maf'ulu qoblal fi'li. Jadi kalau seandainya tidak ada labsun (kerancuan) atau iltibas maksudnya, maka akan seperti ini
(kalau seandainya langsungan)

نصرمحمد امرا 
نصر امرا محمد

امرا نصر محمد

Susunan seperti ini memungkinkan, yang tidak boleh itu kalau fail mendahului fi'il. 

وقد يجي المفعول قبل الفعل

Dan terkadang maf'ul bihi itu datang sebelum fi'ilnya. Jadi penting untuk diperhatikan bahwa konsep dasarnya, adalah yang namanya fail itu adalah bersambung dengan fi'ilnya. Sehingga susunanya adalah fi'il + fail + maf'ul bihi (mb)


Posisi fail dan maf'ul bihi

Kemudian memungkinkan 

وقد يجاء بخلاف الاصل

maf'ul bihi dulu disebutkan dulu dari fail. Bahkan terkadang maf'ul bihi itu datang sebelum fi'ilnya. Seperti lafadz

إياك نعبد
امرا نصر محمد

Bahkan itu kadang sifatnya wajib, kalau kenyataanya maf'ul bihinya itu merupakan sesuatu yang wajib ada di shodrul kalam. Maf'ul bihinya itu harus ada di awal kalimat misalnya. Maf'ul bihnya adalah merupakan isim istifham, dimana2 yang namanya istifham itu harus di awal kalimat, misalnya begitu. Misalnya

أي رجل ضربت

Ini maf'ul bihi, jatuhnya sebelum fi'ilnya, dan ini hukumnya wajib, karena ayya ini merupakan salah satu istifham. Orang laki2 yang mana? yang kamu telah kamu pukul?
Istifham itu kewajibanya adalah shodrul kalam (harus ada di awal kalimat). Jadi untuk yang mendahulukan maf'ul bihi itu ada yang sifatnya jawazan, bahkan ada yang sifatnya wujuban.

Kapan wujuban? kalau seandainya realitasnya maf'ul bihnya itu merupakan sesuatu yang maf'ul bihnya itu wajib di awal kalimat. Misalnya maf'ul bihnya itu adalah berupa istifham. Istifham itu dimana2 harus di awal kalimat, tidak ada istifham itu di tengah2 kalimat. Harus di awal. Ketika kemudian maf'ul bihnya berupa istifham, maka disitu mendatangkan maf'ul bihi di awal, mendahului fi'il failnya, bahkan itu hukumnya wajib. Seperti itu, jadi yang dimaksud.



Alfiyyah bait ke 238

وقد يجاء بخلاف الاصل
وقد يجي المفعول قبل الفعل

wa qod yuja-u dan terkadang didatangkan, apa?
bi khilafil ashli (berbeda dengan asalnya)
Asal dari jumlah fi'liyah yang ada maf'ul bih nya itu adalah fi'il + fail + mb
wa qod yuja-u bikhilafil ashli 
akhirnya yang namanya susunan yang namanya jumlah fi'liyah itu menjadi 
fi'il + mb + fail.



Fail mendahului fi'il 
Yang tidak mungkin itu fail mendahului fi'il. Itu tidak mungkin. Jadi konsep itu, fail itu tidak boleh mendahului fi'ilnya. Kenapa? kok fail itu tidak boleh mendahului? nanti bisa iltibas (rancu) dengan mubtada'. (misalnya) Apa bedanya

جاء محمد
محمد جاء 

Apa bedanya? kalau ja'a muhammadun, (muhammadun ) jadi fail. Apakah ketika muhammadunnya itu kemudian didahulukan itu menjadi fail yang didahulukan dari fiilnya? tidak seperti itu. Muhammadun menjadi mubtada, yang kemudian khobarnya adalah ja-a yang jadi khobar jumlah. Karena demikian, selama lamanya, tidak memungkinkan yang namanya fail didahulukan dari fiilnya. Tidak memungkinkan yang namanya fail, harus didahulukan misalnya, dari fiilnya, karena nanti akan ada iltibas, karena nanti akan ada kerancuan. 



Alfiyyah bait ke 239

و أخر المفعول إن لبس حذر
أو أضمر الفاعل غير المنحصر


Jika i'robnya taqdiri? 
Dan mengakhirkanlah siapa? kamu al maf'ula akan maf'ul in labsun 
in hudziro apabila dikhawatirkan, apa? labsun. Kalau seandainya dari sisi i'rob, kalau tanda rofa nashob nya itu jelas misalnya dhommah pasti rofa' dan fathah pasti nashob, itu masih enak diidentifikasi. Tapi kalau i'robnya taqdiri? sifat mahalli misalnya. maka disitu akan terjadi kerancuan, maka yang akhir itu harus dijadikan sebagai mb. contoh

نصر مسى عيسى

Gmana kalau seperti itu? 
kalau seandainya 

نصر محمد عمرا
نصر عمرا  محمد
عمرا نصر محمد 

meskipun dibolak balik, tetep posisinya gampang diidentifikasi. Kenapa? karena daris isi tanda i'rob itu beda. Kalau seandainya yang menjadi fail dan maf'ul bihi itu i'robnya sama2 yang taqdiri, kenapa? karena kebetulan isim maqshur. Bagaimana kalau seandainya yang sama2 i'rob taqdiri? 
  • apakah itu al mudhof ila yail mutakallim
  • apakah itu isim manqush
  • apakah itu isim maqsur. 

Dan tidak ada qorinah, tidak ada petunjuk. Kalau seandainya tidak ada petunjuk, bisa itu kemudian (disimpulkan) yang memukul itu isa, yang dipukul itu musa. Itu adalah wajib, taqdim (mendahulukan) maa haqquhu. Mendahulukan sesuatu yang kemudian memang dia berhak untuk didahulukan. Karena semuanya sifatnya taqdiri, maka disini mendahulukan sesuatu yang wajib didahulukan itu hukumnya wajib. Sehingga apa? susunan asal itu fi'il + fail + mb. Karena demikian disini, failnya harus musa, mb nya harus isa. Tidak boleh kemudian ini dirubah. Tidak bisa kemudian telah menolong ing musa, siapa? isa. Tidak bisa seperti itu (mb nya musa).

نصر مسى عيسى

Tidak bisa kemudian musa dijadikan mb muqoddam, kemudian isa dijadikan failnya muakhkhor iu gak mungkin. Kecuali dari sisi, sama2 taqdiri misalnya tapi dari sisi arti itu ada qorinah (petunjuk) tidak mungkin tidak, ini harus jadi fail. Tidak mungkin tidak, ini harus jadi maf'ul bih misalnya. Kalau dari sisi arti itu ada qorinah, memungkinkan yang namanya susunan jumlah fi'liyah itu bisa dibolak balik. Contoh:

أكل إبني طعامي

Akala (telash makan)
siapa? ibnii (anak saya)
akan? tho'aamii (makanan saya)

Gak mungkin misalnya dibolak balik, ibni jadi maf'ul dan tho'am jadi fail, gak mungkin seperti itu. Ya tetep, letaknya dimana? ibnii jadi failnya atau letaknya dimana? tho'am jadi maf'ul bihnya. Misalkan... dibalik posisinya, yang terakhir adalah ibnii..

أكل طعامي  إبني

Tetap saja, gak mungkin yang namanya kue makan anak. Ya anak lah yang makan kue. Ini dari sisi dhilalah, dari sisi qorinah penerjemahan itu memungkinkan (dibolak balik posisinya) meskipun sama2 muqoddaron nya, meskipun sama2 taqdirinya. Tapi kalau dalam konteks contohnya adalah musa dan isa, dimana disitu tidak ada qorinah, sama sekali tidak ada petunjuk, mana yang jadi fail dan mana yang jadi maf'ul bih, maka mendahulukan sesuatu yang berhak didahulukan, itu hukumnya wajib. 




Alfiyyah bait ke 238

و أخر المفعول إن لبس حذر
أو أضمر الفاعل غير المنحصر

wa akhkhir (dan mengakhirkanlah siapa? kamu)
in hudziro (apabila dikhawatirkan)
apa? labsun (kerancuan)

wa udhmiro (dan digantikan)
apa? al fa'ilu (fail)
Ghoiro munhashirin (tidak di hashr)

Seperti penjelasan kemarin, fi'il itu harus ithishol dengan failnya. Kalau seandainya failnya berupa isim dhomir, maka yang maf'ul bihnya itu harus di akhirkan, kecuali apabila di hashr. Misalnya

نصرت زيدا
dhomir ta disitu harus dijadikan fail. Harus didahulukan. Mengakhirkan, akhkhir (mengakhirkanlah siapa kamu) maf'ul bihi. Kalau seandainya yang namanya failnya itu berupa isim dhomir. Kecuali fail yang berupa isim dhomir itu dihashr, sehingga dia itu memungkinkan dia itu untuk diakhirkan. 

ما نصر زيدا إلا أنا
Itulah yang dimaksud dengan ghoiro munhashirin. Kalau seandainya yang fail itu berupa isim dhomir yang sedang di hashr, maka memungkinkan untuk lebih mengakhirkan failnya daripada maf'ul bihnya 

Ini beda dengan

ما نصرت إلا زيدا

Secara arti beda. Secara arti beda antara maa nashoro zaidan illa ana dengan maa nashortu illa zaidan. Perhatikan

ما نصر زيدا إلا أنا
yang menolong zaid, hanyalah saya. Hanyalahnya ada di sebelum saya. Mahshur fihnya, mahshur alaihnya di akhir. Ini penerjemahan sampeyan kudu teliti ngene iki. Lah lek wes nduwe teori, enak nanti. Ketika yang menjadi adat hashr berupa illa, maka yang menjadi mahshur fih atau mahshur alaih, itu yang persis jatuh setelah illa. Di buku saya edisi terbaru aplikasi i'rob, itu sudah saya kutib. Disini juga saya tulis, bagaimana dengan adat hashr. 


ما نصر زيدا إلا أنا
ما نصرت إلا زيدا

Beda lho, meskipun sama2 ada fail dan ada maf'ul bihnya. 
Saya tidak menolong, kecuali kepada zaid. 
Yang menolong zaid, hanyalah saya. 

Tetep, saya nya jadi fail, tapi penekananya beda. 

Yang menolong zaid, hanyalah saya. Ini tidak menutup kemungkinan, saya juga menolong yang lain. Tapi zaid itu tidak ada yang menolong kecuali saya. Apakah saya hanya menolong zaid? tidak dijelaskan. Yang menolong zaid, hanyalah saya. Gak ada orang lain yang menolong, kecuali saya saja. 

Saya tidak menolong, kecuali kepada zaid. 
Banyak orang yang membutuhkan pertolongan2, tapi saya hanya menolong zaid. Beda penekananya, karena mahshur fihnya itu beda. 

ما نصر زيدا إلا أنا
mahshur alaihnya yang jadi fail


ما نصرت إلا زيدا
dan mahshur alaihnya yang jadi maf'ul. 

Karena demikian, jelas beda dari sisi penerjemahan. Teori semacam ini, menjadi sangat penting dalam kaitanya untuk menerjemahkan, sehingga terejemahan kita itu teliti banget. Itu nanti mahshur alaih, dijelaskan pas di bait 

Alfiyyah bait ke 240
وما بإالا أو بإنما انحصر
أخر وقد يسبق إن قصد ظهر



Alfiyyah bait ke 238
و أخر المفعول إن لبس حذر
أو أضمر الفاعل غير المنحصر

wa akhkhir (dan mengakhirkanlah siapa? kamu)
in hudziro (apabila dikhawatirkan)
apa? labsun (kerancuan)

in labsun hudziro, in hudziro labsun kalau seandainya disederhanakan begitu. Tapi begitu itu tidak boleh rek. Perhatikan, kata2 labsun disini tidak memungkinkan untuk menjadi naibul fail dari hudziro tidak boleh, secara penulisan. Karena naibul fail tidak boleh mendahului fi'ilnya. Meskipun untuk gampanganya, murrod itu in labsun hudziro. Kenapa? lagi2 seperti tadi, bagaimana maksudnya? Tidak ada cerita, yang namanya fail, yang namanya naibul fail itu mendahului fi'ilnya. Jadi kalau seandainya seperti itu

إن حذر لبس حذر
in hudziro labsun hudziro. 
Takwilanya menjadi begitu. Untuk yangnamanya konsistensi itu dipertahankan, dimana yang namanya fail, yang namanya naibul fail, itu wajib jatuh setelah fi'il. Kalau ada realitasi fail atau naibul fail itu ada sebelum fi'ilnya, maka itu harus ada takwilan. Kata2 in labsun hudziro, kalau seandainya ditakwil, in hudziro labsun hudziro. Menjadi jumlah tafsiriyah, menafsirkan hudziro yang ada di depanya. Konsistensi dalam ilmu nahwu itu diperjuangkan untuk ketat dilaksanakan. Kecuali sudah gak mungkin. Kalau seperti contoh ini, sampeyan tidak boleh meskipun secara penerjemahan gampangnya in labsun hudziro. Tapi karena labsun itu jatuhnya sebelum hudziro, itu dijadikan sebagai naibul fail itu tidak mungkin. Kenapa? karena labsun lebih dahulu datang. Kalau seandainya ada realitas seperti itu bagaimana? ditafsir dengan fiil yang jatuh sesudahnya. Kata2 in labsun hudziro, itu kalau ditafsiri in hudziro labsun hudziro. 

Contoh di dalam al quran
إذا السماء انشقت
إذا انشقت  السماء انشقت - begitu kalau ditafsiri. 

Jadi kembali lagi ke pembahasan, kalau dikhawatirkan terjadi iltibas (kerancuan) mengakhirkan maf'ul dan mendahulukan fail itu hukumnya wajib. 


نصر مسى عيسى

Musa itu harus dijadikan sebagai fail, isa nya harus dijadikans ebagai maf'ul bih. Atau dijadikan sebagai dhomir, apa? al failu, kalau failnya dijadikan sebagai dhomir yang ghoiro munhashirin, yang tidak dihashr, maka fail harus lebih didahulukan dibanding maf'ul bih. Kecuali di hashr, maka failnya harus diakhirkan. 
contoh
ما نصر زيدا إلا أنا




Alfiyyah bait ke 240

وما بإالا أو بإنما انحصر
أخر وقد يسبق إن قصد ظهر

wa akhkhir (dan mengakhirkanlah siapa? kamu)
maa (akan sesuatu)
inhashoro (yang teringkas)
bi illa au bi innama (dengan menggunakan illa atau innamaa)

Perhatikan

إنما نصر محمد عمرا 
hanyalahnya ada di amron

إنما نصر عمرا محمد
hanyalahnya ada di muhammad


ما نصرمحمد إلا عمرا
hanyalahnya ada di amron


ما نصر عمرا إلا محمد
hanyalahnya ada di muhammad


Kalau seandainya yang dijadikan sebagai mahshur fih itu maf'ul bih nya, maka mb-nya harus diakhirkan. Kalau seandainya yang dijadikan sebagai mahshur fih failnya, maka failnya nya harus diakhirkan. 
 
Apakah itu pakai adat hashr illa إلا , atau pakai innama إنما
Secara umum seperti itu, kalau seandainya menggunakan susunan wajar, maka yang menjadi mahshur fih itu yang di belakang. 

Jadi kalau seandainya dikatakan

وإنما لكل امرئ ما نوى
khobar muqoddam
mubtada muakhkhor. 

Mahshur fihnya itu ada di maa nawaa, yang akan diberikan kepada seseorang itu hanyalah yang diniatkan saja. Yang akan diberikan kepada seseorang itu hanyalah yang diniatkan saja. 




Jaga niat dalam mencari ilmu
Hati2 dengan niat, sampeyan. Sampeyan mau apa? kuliah? iya... Orang kuliah itu apa ada yang niatnya untuk ilmu? gak ada. Oleh sebab itu, kalau gak lulus, orang kuliah itu bingung, padahal udah bisa sebenarnya. Karena memang tujuan akhirnya adalah nilai. Kalau seandainya ini yang kemudian dijadikan sebagai alat analisis, maka orang yang tujuanya formal itu tidak mungkin dapat ilmu. Perhatikan itu...

Orang yang tujuannya adalah formal, 
  • kepingin ijazah, 
  • kepingin sertifikat, 
  • kepingin gelar, 
itu tidak mungkin dapat ilmu, 

kenapa? hadits nabi mengatakan. 

وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Ini hadits di atas, maa-nya (sesuatu yang diniatkan), itu yang jadi mahsyur fih-nya. Ini diletakkan di akhir ini, ini diletakkan di akhir. Coba ini, ini sampeyan jadikan alat analisis. Kenapa orang, dalam konteks kajian keagamaan kok harus diakui, harus diakui tingkat kesuksesan dalam rangka melakukan kaderisasi, itu yang banyak adalah pesantren. Karena pesantren itu tujuanya ilmu. Mana ada pesantren itu tujuanya ijazah? lha di pesantren itu tidak ada ijazah. Gak ada ijazahnya, gak ada rapotnya dan seterusnya. Bisa dikatakan begitu. 


Gak ada rapot, gak ada ijazah. 
Di pesantren kita disini, di al bidayah gak ada rapot, gak ada apa2. Pokok ngaji, begitu. Ya tujuanya pasti ilmu kalau disini,  gak ada (yang lain) mau tujuan apa? Tapi kalau seandainya sampeyan di kampus misalnya, sampeyan gak diberi ijazah? ngamuk sampeyan. Sampeyan kuliah misalnya, 14 kali pertemuan, mari ngono gak dikek i nilai, ngamuk sampeyan, loh kan sudah saya beri ilmu? loh saya cari nilai, mesti begitu terakhir. Mana nilai saya? 

Hati2 sampeyan, oleh sebab itu, silahkan kalian kalau dalam konteks kajian keagamaan, silahkan sampeyan kuliah. Yang tujuanya adalah formal, tapi harus mondok sampeyan. Kalau sampeyan di kuliahan cari formalitas, mondoknya ini sampeyan cari ilmu. Mondok? mau diberi apa? lha sertifikatnya gak laku, (oleh karenanya niatnya jadi full karena ilmu). Ini penting untuk diperhatikan. 

Teori seperti ini, menjadi sangat penting, 



Alfiyyah bait ke 240
وما بإالا أو بإنما انحصر
أخر وقد يسبق إن قصد ظهر

wa akhkhir (dan mengakhirkanlah siapa? kamu)
maa (akan sesuatu)
inhashoro (yang teringkas)
bi illa au bi innama (dengan menggunakan illa atau innamaa)

Apakah menggunakan adat hashr illa, atau innamaa yang paling penting adalah mahshur fihnya. 

 إنما يخشى الله من عباده العلماء 

Ini bisa dibolak balik bacanya. 


 ُإنما يخشى اللهَ من عباده العلماء 
Yang takut kepada Alloh hanyalah ulama. 

َإنما يخشى اللهُ من عباده العلماء 
Tapi kalau seandainya dibalik, bisa menjadi beda. 

Karena kebetulan, lafadz Alloh dan lafadz ulama diawali oleh al, yang mana itu penulisan rofa nashob jarnya secara tulisan sama. Sehingga memungkinkan untuk dibaca bolak balik. Sehingga memang ada, pembacaan itu yang dibalik seperti ini.

َإنما يخشى اللهُ من عباده العلماء 
yang dikhawatirkan oleh Alloh dari hambanya, hanyalah ulama. Kalau seandainya ulama nya sudah rusak, apalagi masyarakatnya. Oleh sebab itu, sampeyan kalau jadi tokoh itu harus yang serius. Kalau jadi tokoh itu harus yang serius sampeyan. Diupayakan, kalau jadi ulama, jadi ulama yang baik. Ilmunya harus digunakan. Sapai ditegaskan, dalam matan zubat kan...


فعالم بعلمه لم يعملن # معذب من قبل عباد الوثن
 
fa 'alimun bi ilmihi lam ya'malan
orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya

mu'adzdzabun, min qobli ubbadil watsan
itu akan disiksa, sebelum para penyembah berhala itu disiksa. 

Bagaimana masyarakatnya mendapatkan pegangan, kalau ulamanya sudah keliru. Itu begitu, ini tentang innamaa. 




 إنما يخشى الله من عباده العلماء

ini kalau tulisanya tidak berharokat, antara lafadz Alloh dan ulama. Maka memungkinkan yang menjadi mahshur fihnya adalah failnya, atau maf'ul bihnya. Jadi kalau seandainya mahshur fihnya seperti itu. Kebetulan fail maf'ulnya secara tulisan tidak berbeda.


أخر وقد يسبق إن قصد ظهر
Dan terkadang tidak diakhirkan, tapi dia mendahului.
wa qod yasbiqu (dan terkadang mendahului)
apa? maa 
in qoshdun dzoharo (apabila tampak, apa itu tujuan)

Jadi akhirnya, tulisanya sama saja. 

ما نصر إلا محمدا عمر
ما نصر إلا محمد عمرا 

Ini yang terjadi hanya pada illa, karena yang jadi mahshur fih itu yang jatuh persis setelah illa. Jadi yang ada di posisi akhir itu tidak ada pengaruh, 
makanya di dalam bait dikatakan
إن قصد ظهر
apabila maksudnya menjadi jelas. 

Seandainya kita ngomong dalam konteks adat hashr yang pakai illa, yang jatuh setelah illa itulah yang jatuh setelah illa langsung itulah mahshur fih. Sehingga meskipun ini tidak diakhirkan, dengan mengunakan susunan seperti ini


ما نصر إلا محمدا عمر
ما نصر إلا محمد عمرا 

masih aman. Tetep ini adalah mahsur fihi. Yang jadi adat hashr adalah illa, maka mahsur fihnya adalah yang langsung jatuh setelah illa. Apakah itu fail, apakah itu maf'ul bihi itu sama. Jadi kata hanyalahnya itu dipasang sebelum (teks warna biru) lafadz yang jatuh setelah illa. 

ما نصر إلا محمدا عمر
yang ditolong 'umar hanyalah muhammad

ما نصر إلا محمد عمرا 
yang menolong 'umar hanyalah muhammad

Tinggal mengaktifkan dan mempasifkan cara penerjemahanya.



Alfiyyah bait ke 241

وشاع نحو خاف ربه عمر
وشذ نحو زان نوره الشجر

Oleh sebab itu pentingnya ngaji itu disitu, kalau sampeyan tidak pakai guru, bisa satu jam dua jam mikirnya. Kalau pakai guru bisa lima menit. Ini tentang marji'ud dhomir. 

خاف ربه عمر
boleh marji'ud dhomir itu di dahulukan. seperti lafadz di atas. 
ini maf'ul bih yang didahulukan.
terkenal

زان نوره الشجر

boleh marji'ud dhomir itu di dahulukan. seperti lafadz di atas. 
ini maf'ul bih yang didahulukan.
langka

Cuma sama2 ada problem, yang problem itu disikapi berbeda. Problemnya apa? sama punya dhomir yang butuh marji'ud dhomir. Cuma, disini

خاف ربه عمر
dhomirnya adalah pada fail
 
زان نوره الشجر
dhomirnya adalah pada maf'ul bih
 
 
yang ideal itu adalah 
 خاف عمر ربه 
 
marji'ud dhomir عمر ini idealnya 
تأخر لفظا ورتبة
ta-akhur lafdzon wa rutbatan
 
baik secara lafadz (posisi lafadz) - lafdzon
dan secara posisi awal - rutbatan


خاف عمر ربه 
baik secara lafadz, atau posisi dhomirnya, itu memang ada sebelum dhomirnya (kembalinya ke sebelumnya). Ada istilah lafdzon, ada istilah rutbatan. Kalau lafdzon itu maksudnya realitas di dalam teks, sedangkan rutbah itu adalah secara posisi awal. 
 
 
خاف ربه عمر
dhomirnya adalah pada fail
memang secara lafadz, umar itu ada di akhir, lebih akhir daripada dhomirnya (ta-akhkhur). Tapi secara rutbatan, dia itu ta-qoddum. 
Kenapa secara rutbah (secara posisi) dia itu taqoddum? 
karena memang secara posisi, fail itu memang jatuhnya sebelum maf'ul bihi. Kalau seandainya ada dhomir yang ada pada maf'ul bih kembali pada fail- berarti ideal. 


 خاف عمر ربه 
baik secara lafadz, atau rutbah, itu memang kembali ke sebelumnya. Tapi kalau seandainya ada dhomir, yang ada pada maf'ul bihi. Konteksnya seperti teks di bawah ini

خاف ربه عمر
kembalinya kepada fail, (walaupun posisi fa'il) di akhir. Masih memungkinkan untuk kemudian ditoleransi. Oleh sebab itu istilah yang muncul disini sya-'a شاع (terkenal) karena posisi fail, secara konsep asal, itu ada jatuh sebelum maf'ul bihi.

fi'il + fail + maf'ul bihi

Kalau yang ini? 
زان نوره الشجر
lafdzon dan rutbatan, karena ini dhomirnya ada pada fail. 
Sedangkan yang di bawah ini ada pada maf'ul bihi
خاف ربه عمر

زان نوره الشجر
ini dhomirnya ada pada fail, berarti kembalinya ada pada maf'ul bihi. Padahal maf'ul bihi itu secara konsep awal, memang jatuhnya setelah fa'il. Jadi disebut sebagai syadza (langka). Kenapa? karena baik lafdzon maupun rutbatan itu ada pada pada posisi ta-akhkhur. 

Coba diperhatikan. 

خاف ربه عمر
ini masih dianggap sya-a, ini masih ditoleransi, yang ideal itu adalah seperti ini

خاف عمر ربه 

Ada Dhomir pada maf'ul bihi dikembalikan kepada fail, dimana failnya itu ditulis sebelum maf'ul bihi. Itu ideal itu. Akhirnya apa? dhomir ini kembali kepada fail, dimana fail posisinya (baik secara lafadz, maupun rutbatan), Baik secara lafadz (relaitas) atau rutbah (kukum asal). Posisi fail itu bagaimanapun juga, konsep dasarnya itu ada sebelum maf'ul bihi (kan begitu). Berarti ini ideal, karena dikembalikan secara lafadz dan secara rutbah itu ke kata sebelumnya. 

خاف ربه عمر
yang ini masih bisa ditoleransi, kenapa? karena dhomirnya ada pada maf'ul bihi, dikembalikan atau marji'ud dhomirnya ada pada fail. Fail ini secara rutbah, ngerti secara  rutbah? secara posisi letaknya sebelum maf'ul bihi. 

kan seperti yang saya katakan, jumlah fi'liyah itu secara rutbah

fi'il + fail + maf'ul bihi 

Ini maksudnya secara rutbah (posisi). Rubahnya fail, tingkatanya fail, itu memang taqoddum ( di dahulukan daripada maf'ul bihinya ). 

Ada perbedaan antara

زان نوره الشجر
Disini dhomirnya ada pada posisi fail, dikembalikan kepada maf'ul bihi. Maf'ul bihnya jatuh sesudahnya, berarti apa? Baik secara rutbah maupun lafadz, dia kembalinya (ke depan). Kan seharusnya kembali itu ke belakang. 


خاف ربه عمر
Kalau ini, dhomirnya ada pada maf;ul bihi, kembalinya kepada fail,  failnya jatuh sesudahnya. Dari sisi lafadz, yang namanya fail ini, realitasnya itu jatuh sesudahnya, tapi posisi awal dari fail, secara rutbah itu sebelum maf'ul bihi. Karena demikian, ada realitas semacam ini, disebut sebagai sya-a  dan masih terkenal, apa? nahwu (umpamanya) lafadz

خاف ربه عمر
 
wa syadza dan dianggap langka, 
apa? nahwu (umpamanya)
زان نوره الشجر
 
Perbedaanya dimana?
perbedaanya kalau yang ini
خاف ربه عمر
dhomirnya ada pada maf'ul bihi dikembalikan kepada failnya. 

kalau disini
زان نوره الشجر
Dhomirnya ada pada fail, dikembalikan kepada maf'ul bihi yang jatuh sesudahnya. Baik secara lafadz maupun rutbatan, itu jatuh sesudahnya. Mungkin perlu perenungan untuk bisa paham, ini memang agak berat , konsep rutbah dan lafdzon ini. 

Semoga bermanfaat

Comments