Pada kesempatan malam hari ini kita melanjutkan kajian kita tentang bab nahwu, melanjutkan kajian minggu kemarin. Kemarin kita sudah banyak mengurai, tentang bab tawabi’. Yang kemarin kita definisikan dengan, kalimat isim maupun fi’il, yang hukum I’robnya mengikuti hukum I’rob dari kalimah baik isim maupun fi’il yang jatuh sebelumnya. Secara sederhana, kemarin kita sudah menegaskan, bahwa na’at, hukum I’robnya mengikuti man’utnya. Taukid, hukum I’robnya mengikuti muakadnya. Badal hukum I’robnya mengikuti mubdal minhu nya. Kemudian ma’thuf, hukum I’robnya mengikuti ma’thuf alaih. Kemarin kita sudah menjelaskan tentang bab na’at, yang secara umum,
Na’at itu bisa dibedakan menjadi dua.
- Ada yang disebut sebagai na’at mufrod
- Ada yang disebut sebagai na’at jumlah
Na’at
mufrod dibagi dua
- Ada haqiqi
- Ada sababi
Na'at Mufrod
Apa yang
dimaksud dengan na’at mufrod? Apa yang dimaksud dengan na’at jumlah? Secara
umum kemarin sudah kita jelaskan. Bahwa na’at mufrod yang membedakan dengan
na’at jumlah. Kalau terbuat dari jumlah, maka disebut dengan na’at jumlah. Kalau
bukan terbuat dari jumlah, dan maksudnya adalah isim sifat, maka itu disebut
sebagai na’at mufrod.
Al ‘aqilu disini menjadi na’at, menjadi sifat disini. Apakah ini na’at
mufrod atau na’at jumlah? tergantung ini terbuat dari apa?
Karena kenyataanya
bukan terbuat dari jumlah, terbuat dari isim sifat. Dalam hal ini adalah isim
fa’il. Maka ini disebut sebagai na’at mufrod.
Na'at Jumlah
Kalau seandainya saya contohkan
جاء رجل يقرأ القرآن
Yaqroul qurana disini adalah jumlah, jumlahnya adalah jumlah fi’liyah, karena
kebetulan terbuat dari fi’il, plus huwa sebagai fail. Al qurana sebagai maf’ul
bihi. Dalam hal ini adalah jumlah fi’liyah, yang jatuh setelah lafadz rojulun
yang merupakan isim nakiroh, maka ini disebut sebagai na’at jumlah. Kenapa
disebut sebagai na’at jumlah, karena terbuat dari jumlah.
Na'at Mufrod
Sekarang akan kita pertajam lagi, tentang na’at mufrod. Kemarin kita
sudah menegaskan, hati2 tentang istilah mufrod. Mufrod itu jangan selalu
diterjemahkan lawan dari tatsniyah atau jama’, jangan. (Memang) bisa jadi lawan
dari tatsniyah dan jama’, Ketika membahas tentang kalimat isim, dari sisi kuantitas.
Tapi bisa juga, yang Namanya mufrod itu, adalah lawan dari jumlah. Ketika kita
membahas tentang bab na’at, Ketika kita membahas tentang hal, Ketika kita
membahas tentang Khobar. Tapi juga mufrod juga merupakan lawan dari mudhof, dan
syabihul bil mudhof, Ketika kita membahas tentang bab munada, atau tentang laa
allati li nafyil jinsi. Sekarang kita ngomong mufrod dalam konteks na’at, yang
mana ini merupakan lawan dari jumlah.
Na’at mufrod, (sebagaimana yang ada dalam skema ini) dibagi menjadi dua,
ada yang disebut dengan na’at haqiqi, ada yang disebut sebagai na’at sababi.
Apa yang disebut sebagai na’at haqiqi itu? Na’at haqiqi adalah na’at yang
menjelaskan man’utnya secara langsung.
جاء محمد العاقل
جاء محمد العاقل استاذه
جاء محمد العاقل استاذه
Ustadzuhu (ustadznya Muhammad)
Ustadzuhu, tidak menjelaskan man’ut secara langsung. Akan tetapi yang
dijelaskan adalah sesuatu yang berhubungan dengan man’ut. Dalam hal ini adalah
ustadzuhu. Jadi yang memiliki akal itu siapa? Muhammad? Bukan (dalam hal ini)
yang memiliki akal adalah ustadznya Muhammad. Karena yang dijelaskan itu bukan
man’utnya secara langsung, yan dijelaskan oleh na’at ini adalah sesuatu yang
berhubungan dengan man’ut, dalam hal ini adalah ustadzuhu, maka ini disebut
sebagai na’at sababi. Ustadzuhu itu dianggap memiliki hubungan dengan man’ut,
terbukt idisini ada dhomir yang Kembali kepada man’utnya.
Jadi yang dimaksud dengan na’at sababi itu adalah na’at, na’at yang
menjelaskan tentang sesuatu yang berhubungan dengan man’utnya. Bukan
menjelaskan man’utnya secara langsung. Ketika na’at itu menjelaskan man’utnya
secara langsung,
Ja-a muhammadun al mahiru
Yang pinter disini siapa? Muhammad, Muhammad jadi apa disini? Sebagai
man’ut. Oh berarti al mahiru disini menjelaskan man’utnya secara langsung.
Karena menjelaskan man’utnya secara langsung, maka na’at semacam ini disebut
sebagai na’at haqiqi. Sekarang Ketika yang dijelaskan bukan man’utnya secara
langsung, akan tetapi yang dijelaskan itu adalah sesuatu yang berhubungan
dengan man’utnya, (09.55)
Comments
Post a Comment