Skip to main content

KH. Abdul Haris Jember | Pembelajaran Nahwu Shorof 21 | Na'at Haqiqi dan Na'at Sababi

 

Assalamu’alaikum warohmatullohi wa barokatuh
Bismillah Alhamdulillah
Washsholatu wassalamu ‘ala rosulillah
Sayyidinaa muhammadin wa’ala alihi wa shohbihi wa man wa laahu.
Robbisy rohlii shodri, wa yassirly amri, wahlul uqdatan min lisaani
yafqohuu qouli..

Amma ba’du

 

Pada kesempatan malam hari ini kita melanjutkan kajian kita tentang bab nahwu, melanjutkan kajian minggu kemarin. Kemarin kita sudah banyak mengurai, tentang bab tawabi’. Yang kemarin kita definisikan dengan, kalimat isim maupun fi’il, yang hukum I’robnya mengikuti hukum I’rob dari kalimah baik isim maupun fi’il yang jatuh sebelumnya. Secara sederhana, kemarin kita sudah menegaskan, bahwa na’at, hukum I’robnya mengikuti man’utnya. Taukid, hukum I’robnya mengikuti muakadnya. Badal hukum I’robnya mengikuti mubdal minhu nya. Kemudian ma’thuf, hukum I’robnya mengikuti ma’thuf alaih. Kemarin kita sudah menjelaskan tentang bab na’at, yang secara umum, 


Na’at itu bisa dibedakan menjadi dua.

  • Ada yang disebut sebagai na’at mufrod
  • Ada yang disebut sebagai na’at jumlah

 

Na’at mufrod dibagi dua

  • Ada haqiqi
  • Ada sababi

 

Na'at Mufrod
Apa yang dimaksud dengan na’at mufrod? Apa yang dimaksud dengan na’at jumlah? Secara umum kemarin sudah kita jelaskan. Bahwa na’at mufrod yang membedakan dengan na’at jumlah. Kalau terbuat dari jumlah, maka disebut dengan na’at jumlah. Kalau bukan terbuat dari jumlah, dan maksudnya adalah isim sifat, maka itu disebut sebagai na’at mufrod.

Contoh

جاء محمد العاقل

Al ‘aqilu disini menjadi na’at, menjadi sifat disini. Apakah ini na’at mufrod atau na’at jumlah? tergantung ini terbuat dari apa? 
Karena kenyataanya bukan terbuat dari jumlah, terbuat dari isim sifat. Dalam hal ini adalah isim fa’il. Maka ini disebut sebagai na’at mufrod.


Na'at Jumlah
Kalau seandainya saya contohkan

جاء رجل يقرأ القرآن

Ja-a (wus teko, sopo? )
rojulun (sopo? Wong lanang)
yaqro-u (kang moco)
qurana (ing quran)

Yaqroul qurana disini adalah jumlah, jumlahnya adalah jumlah fi’liyah, karena kebetulan terbuat dari fi’il, plus huwa sebagai fail. Al qurana sebagai maf’ul bihi. Dalam hal ini adalah jumlah fi’liyah, yang jatuh setelah lafadz rojulun yang merupakan isim nakiroh, maka ini disebut sebagai na’at jumlah. Kenapa disebut sebagai na’at jumlah, karena terbuat dari jumlah.

 

Na'at Mufrod
Sekarang akan kita pertajam lagi, tentang na’at mufrod. Kemarin kita sudah menegaskan, hati2 tentang istilah mufrod. Mufrod itu jangan selalu diterjemahkan lawan dari tatsniyah atau jama’, jangan. (Memang) bisa jadi lawan dari tatsniyah dan jama’, Ketika membahas tentang kalimat isim, dari sisi kuantitas. Tapi bisa juga, yang Namanya mufrod itu, adalah lawan dari jumlah. Ketika kita membahas tentang bab na’at, Ketika kita membahas tentang hal, Ketika kita membahas tentang Khobar. Tapi juga mufrod juga merupakan lawan dari mudhof, dan syabihul bil mudhof, Ketika kita membahas tentang bab munada, atau tentang laa allati li nafyil jinsi. Sekarang kita ngomong mufrod dalam konteks na’at, yang mana ini merupakan lawan dari jumlah.

Na’at mufrod, (sebagaimana yang ada dalam skema ini) dibagi menjadi dua, ada yang disebut dengan na’at haqiqi, ada yang disebut sebagai na’at sababi. Apa yang disebut sebagai na’at haqiqi itu? Na’at haqiqi adalah na’at yang menjelaskan man’utnya secara langsung.


جاء محمد العاقل

جاء محمد العاقل استاذه

Ja-a (telah dating)
siapa?
muhammadun (Muhammad)
al aqilu (yang cerdas)
Siapa yang cerdas ini? Muhammad. Berarti al aqilu disini adalah na’at haqiqi. Kenapa kok disebut na’at haqiqi? Karena yang dijelaskan disini adalah man’utnya secara langsung. Muhammadun disini menjadi man’ut, al aqilu menjadi na’at. Yang dijelaskan oleh na’at adalah man’utnya secara langsung. Karena yang dijelaskan adalah man’utnya secara langsung, maka disini adalah na’at haqiqi. Bandingkan dengan yang dibawahnya.

جاء محمد العاقل استاذه

Ja-a (sudah datang)
siapa?
muhammadun (Muhammad)
al aqilu (yang memiliki akal)
siapa yang memiliki akal?

Ustadzuhu (ustadznya Muhammad)

Jadi untuk contoh yang kedua ini bisa dipastikan bahwa posisinya tetep sebagai man’ut. Al aqilu sebagai na’at. Apakah na’at ini disebut sebagai na’at haqiqi atau na’at sababi? Tergantung, apakah yang dijelaskan oleh na’atnya ini man’utnya secara langsung, atau bukan. Ketika yang dijelaskan itu adalah sesuatu yang berhubungan dengan man’ut, tidak menjelaskan man’utnya secara langsung. Kalau dalam contoh ini, yang dijelaskan adalah

جاء محمد العاقل استاذه

 

Ustadzuhu, tidak menjelaskan man’ut secara langsung. Akan tetapi yang dijelaskan adalah sesuatu yang berhubungan dengan man’ut. Dalam hal ini adalah ustadzuhu. Jadi yang memiliki akal itu siapa? Muhammad? Bukan (dalam hal ini) yang memiliki akal adalah ustadznya Muhammad. Karena yang dijelaskan itu bukan man’utnya secara langsung, yan dijelaskan oleh na’at ini adalah sesuatu yang berhubungan dengan man’ut, dalam hal ini adalah ustadzuhu, maka ini disebut sebagai na’at sababi. Ustadzuhu itu dianggap memiliki hubungan dengan man’ut, terbukt idisini ada dhomir yang Kembali kepada man’utnya.

Jadi yang dimaksud dengan na’at sababi itu adalah na’at, na’at yang menjelaskan tentang sesuatu yang berhubungan dengan man’utnya. Bukan menjelaskan man’utnya secara langsung. Ketika na’at itu menjelaskan man’utnya secara langsung,

 


جاء محمد العاقل

 

Ja-a muhammadun al mahiru

Ja-a (telah datang)
siapa?
muhammadun (Muhammad)
al mahiru (yang pinter)
siapa? Muhammad.

Yang pinter disini siapa? Muhammad, Muhammad jadi apa disini? Sebagai man’ut. Oh berarti al mahiru disini menjelaskan man’utnya secara langsung. Karena menjelaskan man’utnya secara langsung, maka na’at semacam ini disebut sebagai na’at haqiqi. Sekarang Ketika yang dijelaskan bukan man’utnya secara langsung, akan tetapi yang dijelaskan itu adalah sesuatu yang berhubungan dengan man’utnya, (09.55)


جاء محمد العاقل استاذه

 

 

 

Comments