Skip to main content

Gus Ghofur Maimoen | Wasathiyah | Bedah Buku Karya Prof Nur Syam


Bahwa kalau kita mengkritik islam2 yang di luar mahdzab yang diikuti oleh (kebanyakan) warga Indonesia, itu bukan berarti mengkritik islam itu sendiri, tetapi mengkritisi tentang pemahaman seseorang tentang islam. Orang sering terkecoh dengan lambang tentang isis, lalu menggunakan simbol2 tertentu lalu ketika mengkritik, dikiranya kita mengkritik i islam itu sendiri, tapi memberikan kritikan tentang pemahaman mereka tentang islam. Ketika Pemerintah membredel Hizbut Tahrir dikiranya pemerintah anti islam, bukan.. itu bukan anti islam. Tetapi anti terhadap satu pemahanan yang tidak sesuai dengan Nusantara, yang tidak sesuai dengan Kemajuan. Jadi bisa dibedakan antara Islam dan yang difikirkan seseorang tentang islam. Dan buku ini mencoba mencari jawaban2. 


Islam Nusantara itu yang saya fahami pak professor,  itu ada yang namanya an nushus dengan tanzilun nushush alal waqi'. Jadi ada an nushush al quran hadits, lalu nushus untuk membahas masalah2 nusantara. 


تنزيل نصوص على الواقع 


Bukan masalah2 yang ada di arab, nash nya sama, tetapi masalah2 yang dihadapi berbeda. Karena ada hadits.  




Setiap abad itu ada yang namanya pembaharu, nah banyak yang memahami apa yang namanya tajdid itu? Nah kecenderungan2 yang namanya HTI dan kawan2, isis, yang namanya tajdid itu adalah mengembalikan sesuatu seperti semula, itu namanya tajdid. Memperbarui itu artinya kalau rumah itu sudah kotor. dibersihin, dikembalikan seperti semula. itu namanya Tajdid. Itu sebetulnya mereka yang menyebut2 tajdid, itu sebetulnya bukan tajdid dalam perspektif nusantara, tapi tajdid dalam arti mengembalikan seperti semula. Kehidupan abad 15 hijriyah, dikembalikan seperti kehidupan 1 Hijriyah. Betapa rumitnya, betapa menjadi terasingnya manusia islam jika dikembalikan seperti itu. Karena itulah tajdid dalam perpektif nusantara, itu adalah bagaimana wahyu itu tidak bertentangan dengan nusantara. Mencari jalur2 tertentu biar islam itu bisa nikmat, ramah, dilakukan oleh orang Indonesia. Itulah tajdid yang saya pahami, ketika saya mengikuti berbagai bahtsul masail di berbagai nusantara. 

Maka kemudian ada berbagai pertanyaan, itu bukan berarti kemudian mengembalikan seperti masa lalu. Tetapi bagaimana bisa menjawab masa sekarang, tanpa menimbulkan problem2. Ini islam nusantara, dan ini khas dalam nahdhotul ulama. Dan ini ditulis dalam buku Pak Nur Syam ini. Akan tetapi, apa yang kurang dari Islam Nusantara ini? yang saya tahu islam nusantara itu yang kurang itu kelihatanya orangnya berfikiran maju, tapi orangnya gak maju2. Itu kalau secara ide, kalau ngomong, itu payu di luar negeri. tapi kalau sudah masuk ke sarangnya, itu membingungkan. Dan itu yang perlu belajar banyak dari orang luar. Dan dulu sudah disampaikan oleh pendahulu2 bahwa kita harus belajar. Terutama pertama menyangkut pendidikan, mengelola pendidikan dengan baik. yang kedua mengelola tentang kesehatan, dan yang ketiga mengelola ekonomi. Alhamdulillah dalam pendidikan, islam nusantara dalam hal ini cukup berhasil. Mulai banyak kampus2 pendidikan2 yang baik di kalangan nahdhotul ulama. Karena dulu Unisma saja, itu dulu namanya Universitas Nahdhotul Ulama, tapi mau ambruk, terus diganti Unisma kalau tidak salah. Pokoknya nama kalau dikasih nama Nahdhotul Ulama, itu biasanya agak ambruk2 gimana gitu. Nah ini sudah mulai mau belajar dari Muhammadiyah, Alhamdulillah baik.

Lha yang sampai sekarang belum berhasil misalnya ekonomi. Pokoknya kalau NU ngurusi Ekonomi itu hampir pasti ambruk. Di Pati Ambruk, bahkan beberapa kali PBNU ngurusi ekonomi, ambruk. Alhamdulillah, sekarang cabang2 ada mulai beberapa yang tidak ambruk, dan itu banyak dipelopori oleh muslimat. Di Jawa Timur yang menang Muslimat. Karena memang ekonominya darisana. Rumah sakit, ada beberapa rumah sakit di nahdhotul ulama yang kemudian Wallohu a'lam bish showab, kata kyainya itu. Ada di Temanggung, ada di berbagai tempat yang saya tahu, kemudian sekarang mencoba untuk diperbaiki. Belajar dari Islam berkemajuan. Jadi memang, dalam hal ini kita memang harus saling mengisi saya kira. Dan hal yang sama, muhammadiyah itu kalau belajar kitab kuning, itu ya gak bisa. Kalau kepingin jadi ahli kitab kuning, ya mondoknya harus mondok di NU. Belum ditemukan, nuwun sewu, pondok pesantren muhammadiyah ahli kitab kuning. Sebagaimana NU juga harus belajar ke Muhammadiyah, saya kira muhammadiyah dalam hal ini juga harus belajar ke NU. Dan ini perkembangan di Nusantara. Ini dua2nya harus berkembang dengan baik. 

Nah kemudian, di dalam buku ini, yang saya senang diantaranya adalah menteri Agama menjadikan Wasathiyah sebagai gerakan Utama. Cuman itu, wasathiyah itu kan di tengah. Orang berada di tengah itu kan sulit sekali, karena setiap orang merasa di Tengah. Yang Muhammadiyah ya merasa di tengah, Nu ya merasa di tengah. Bahkan berkali kali wahabi itu nulis buku, wasathiyatul islam. Kita itu sampai bingung, siapa yang berada di tengah. Bahkan isis itu kalau nulis itu ya tetep saja, dia itu merasa berada di Tengah. Ada beberapa hal, yang nanti kita bisa mengukur, pak Nur Syam menulis tentang wasathiyah tapi contohnya cuma sedikit. Nanti coba dikembangkan, bagaimana ini bisa menjadi wasathiyah di dalam agama, dalam pendidikan2 islam kita. Karena wasathiyah itu contohnya banyak sekali, kalau sudah diurut itu mulai banyak. Misalnya... 

antara ketuhanan dan kemanusiaan

tengah2 baina al ilaahi wal insan. Bahwa islam itu tidak hanya tentang Ketuhanan, tetapi juga tentang kemanusiaan. Kira2 kementrian agama itu banyak mengurusi agamanya atau ngurusi manusianya, ini kan mulai agak bingung. Pondok misalnya ngurusi wudhu sama ngurusi rumah sakit banyak yang mana? ini kan bainal al ilahi wal insan. Ini perlu dipertanyakan kembali, jurusan aliyah di kementrian agama, Aliyah jurusan ipa, tapi banyak yang masuk UIN jurusan agama. Ini pendidikanya sudah berhasil atau belum. Lha wong aliyahnya IPA kok masuknya di pendidikan. Ini sebetulnya IPA Ketuhanan atau ipa kemanusiaan? begitu kira2. 

Spiritual dan material, Pondok pesantren menyebut diri sebagai wasathiyah. Tapi terus terang, dulu pernah disampaikan begini, bahwa dalam ilmu tasawuf ada maqom tajrid, ada maqom kasb. Kalau dalam hikam itu ada maqom tajrid ada maqom kasb. Nabi itu gak ada yang menyuruh sahabatnya maqom tajrid, gak ada maqom tajrid. Paling sayyidina Ali yang saya ketahui maqomnya tajrid. Ngurusi belajar tok, tanpa ngurusi rizqi, itu namanya maqom tajrid. Kalau ditanya besuk makanya apa, yaa.. besuk saja lah. Makanya kanjeng Nabi tidak pernah kenyang dua hari berturut2. Hari ini kenyang, besuk kenyak, besuk lapar, besuk lapar, besuk kenyang. Nabi gak pernah diminta sesuatu itu nolak gak pernah.  Jadi kalau kita minta Kanjeng Nabi, bajumu kok bagus, ya dikasih. Ngakunya maqom tajrid, tapi kalau belum seperti ini belum tajrid namanya, tajrid tapi mentalnya kasb. Kalau diundang tapi masih mikir amplop, itu tajrid, tapi bermental kasb. Tidak ada satu sahabat pun yang disuruh bermaqom tajrid. Sayyidina Umar itu hanya disuruh ngaji, itu dua hari sekali, yang selain itu? ya disuruh kerja. Itu santri yang sudah sangat hebat. 

Nah di NU itu, di Islam Nusantara itu,  katanya washithiyah. Tapi menurut saya, kebanyakan spiritualnya, kebanyakan maqom tajridnya, daripada kasbnya. Makanya gak maju2 dan selalu kerepotan, makanya selalu meminta proposal ..... Ini nanti banyak sekali urusanya, 

Ada Wahyu dan Akal.
 
Uin, antara wahyu dan akal, misalnya. Pendidikanya kira2 sudah diantara itu, ataukah belum? ataukah banyak akalnya? atau banyak wahyunya?

Masa lalu dan masa sekarang
Ilmu yang dikembangkan, apakah banyak Turotsnya, ataukah banyak modern nya. Kesulitan kita meletakkan diri di tengah2. Yang bisa itu kalau ilmunya modern, ya modern saja, penguasaanya kepada kitab kuning (turots) itu menjadi lemah. Tapi kalau penguasaanya itu kitab, itu disuruh modern itu susah sekali. Setiap sitik2 ditakok i, mana kitabnya? mana kitabnya? Itu pokok e marji'nya mana? mana dalilnya? itu pokoknya selalu begitu. 

Ada baina fardhiyah dan jam'iyah
ini juga mengalami kesulitan. Ruang publik dan ruang privat. Membikin undang2 itu juga kesulitan. Dandutan apa yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan kan ini yang susah? Lha kalau tidak boleh sama sekali ya susah, lha wong nusantara kok tidak ada dangdutanya? Tapi mana yang diperbolehkan? saya sebagai kaum agamawan, misalnya kalau saya sebagai syuriyah nahdhotul ulama, misalnya. Lalu melihat orang... melihat dangdutan, kapan saya boleh melarang, dan kapan saya tidak boleh melarang? Karena ruang publik ini harus miliknya orang banyak. Bayangkan kalau misalnya, syuriyahnya FPI semua, dangdut hilang.... Mana yang diperbolehkan? mana yang tidak? itu baina 
fardhiyah dan jam'iyah itu salah satu kesulitan sampai sekarang mana yang tepat, itu salah satu tugas kita. 

Profan dan Sakral
Ini kalau benar2 dirinci satu2, benar2 kemenag itu mau menjadikan wasathiyah, ini juga susah. Belakangan soal mikrofon, itu menurut kita sudah wasathiyah atau kebablasan? Dan ini yang penting, tidak ada satu orang pun yang bisa meletakkan diri pada tengah persis, tidak ada. Karena itu, seperti di dalam buku ini, perlu yang namanya dialog. Karena tidak ada orang yang mampu meletakkan diri dalam poros tengah. Apalagi kalau sudah jadi pendukung Prabowo atau Jokowi. Sama sekali tidak mungkin. Orang pendukung prabowo kok disuruh tengah itu bagaimana? gak bisa... Wong kumpulanya orang marah2 semua. Gak mungkin orang dalam keadaan marah di tengah itu tidak mungkin. Makanya kalau pingin di tengah, jangan sampai jadi tim sukses yang.... nah yang gitu tadi. 

Belum lagi mana yang berubah, dan mana yang tidak berubah. 
Ada yang tidak berubah, seperti yang tadi saya jelaskan bahwa yang namanya tajdid itu mengembalikan seperti masa lalu. Buka televisi roja' itu maksudnya tajdid, tapi tajdid masa lalu. Katanya itu tidak ada yang berubah, disuruh masa lalu. Dan kita juga direpotkan mau ditengah urusan cadar. Sudah tahu hukumnya ada dua, ada yang mengatakan wajib cadar, ada yang mengatakan tidak wajib cadar. Kenapa kok ngotot cadar? wong yang gak cadar ya tidak berdosa. Dan orang yang mengatakan tidak cadar, itu ada kepentinganya. Toh hukumnya ada dua.... Kenapa muslim2 yang ada di barat itu memaksa diri untuk bercadar, toh hukumnya ada dua. Wong kalau tidak, juga gak dosa, kan banyak hukumnya. Abu Hanifah dan lain sebagainya, ada Imam Malik dan lain sebagainya. Kenapa kok ngotot? ini sudah ditengah atau tidak. Tentu ini hak dia kalau seandainya sudah di luar. Nah tentu yang saya sampaikan ini dalam mencari wasathiyah. Bagaimana berada di tengah. Bagaimana kalau wasathiyah dikembangkan, ini menjadi agak rumit, dan itu sudah saya sampaikan tadi, di dalam buku ini. Saya setuju, diperlukan dialog, kapan kita menjadi wasathiyah. 

Wasathiyah
NU wasathiyah, tidak bisa NU sendirian wasathiyah, perlu tanya kepada Muhammadiyah. Bahkan perlu bertanya kepada yang lainya. Dialog... kemarin saya sedih sekali mendengar kawan saya Pak Abdul Shomad. Setuju dengan yang namanya khilafah, yang hak pilih itu hanya orang2 yang pinter. Orang gak pinter itu tidak punya hak pilih. Itu tidak bisa disebut wasathiyah menurut saya, tentu yang Mutlak itu wasathiyah menurut Alloh. Kenapa tidak bisa seperti itu (menurut saya) karena yang memilih itu tidak hanya orang yang pinter. Orang yang merasakan. Justru orang yang merasakan itu orang yang (bawah). Kalau gak dikasih suara itu malah repot, wong yang merasakan pertama itu, mereka...

Nah dalam rangka mencari wasathiyah2 ini, Kita perlu dialog2 tertentu. Nah kemudian ada pesantren, di ujung buku ini. Terimakasih sekali menulis tentang pesantren, bahwa pesantren itu perlu diperluas, bahwa pesantren itu tidak hanya berarti tentang ilmu agama. Tapi kita perlu juga dokter2 yang santri. Santri ini perlu dikembangkan dalam wasathiyah dalam arti urusan agama ini tidak melulu urusan agama, tetapi juga harus diperluas ke tempat2 yang lainya. 

Saya kira saya cukupkan sekian....
Terimakasih, mohon maaf yang sebesar2nya
Wassalamu'alaikum warohmatullohi wa barokatuh. 

Comments