Assalamu’alaikum warohmatullohi wa barokatuh
Bismillah
Alhamdulillah
Washsholatu wassalamu ‘ala Rosulillah sayyidinaa Muhammadin wa’ala alihi wa shohbihi wa man wa laahu.
Robbisy rohlii shodri, wa yassirly amri, wahlul uqdatan min lisaani, yafqohuu qouli..
Amma ba’du
Pada kesempatan malam hari ini, kita akan melanjutkan kajian kita tentang nahwu
shorof, yang dalam kesempatan malam hari ini saya akan menjelaskan tentang
syarat
الشرط
Syarat ini sebenarnya dalam Bahasa apapun itu memang ada. Syarat ini
dikaji secara khusus karena memang ada hal2 yang harus diperhatikan dalam
konteks Bahasa arab. Jadi dalam Bahasa apapun ada kata, apakah itu kalua dalam
konteks Bahasa arab masuk ke dalam kategori isim atau huruf yang artinya itu
membutuhkan jawaban maka. Itu masuk dalam katagori syarat. Jadi ada kata2,
apakah itu masuk dalam katagori isim, apakah itu masuk dalam katagori huruf,
yang artinya itu membutuhkan jawaban maka.
Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir…. Ada kata2
barangsiapa, kalua masih belum ada jawaban maka.. maka disitu pasti orang masih
menunggu, pasti seseorang masih belum faham. Berarti barangsiapa ini masuk
dalam katagori syarat. Karena apa? Artinya.. man misalnya Barangsiapa, itu
artinya membutuhkan jawaban maka. Seperti ini..
Jika hari hujan,
ada kata2 jika, itu kalua tidak disempurnakan dengan kata2 maka. Itu juga tidak
sempurnya
Ini semua masuk dalam kategori, atau masuk dalam bab ini. Jadi saya
ulangi lagi, dalam Bahasa apapun, sebenarnya syarat itu mesti ada. Kata yang
tidak bisa disempurnakan tidak bisa dianggap sebagai sempurna kalua tidak
diberi kelanjutan kata2 maka. Dalam konteks Bahasa arab, itu perlu ada kajian
khusus, karena ada persyaratan2 karena ada aturan2, yang disitu harus
diperhatikan. Jadi kalua seandainya kita ngomong dalam konteks syarat, maka ada
tiga unsur yang pasti kita jumpai kalua kita membahas tentang syarat. Ap aitu?
- Adatusy Syarthi
- Fi’lusy Syarthi
- Jawabusy Syarthi
Adatusy Syarthi itu alatnya,
- yang berarti jika,
- yang berarti apabila,
- yang
berarti barangsiapa (misalnya)
Dalam konteks tata Bahasa arab itu disebut dengan adatusy
syarthi. Jadi kalau seandainya kita contohkan misalnya
ان قام استاذ قام محمد
- ان disini disebut sebagai adatusy syarthi
- Qoma yang pertama ini disebut sebagai fi’lusy syarthi
- Qoma yang kedua disebut sebagai jawabusy syarthi
Jadi kelengkapan (syarat) dalam sebuah kalimat begitu. Kalau seandainya
jawabusy syarthi tidak diikutkan, maka tidak akan menimbulkan sebuah pemahaman.
Karena sebuah syarat itu memang meliputi ketiga unsur ini.
- Adatusy syarthi – alat yang digunakan untuk mengatakan syarat (memulai
syarat)
- Kemudian fi’lusy syarthi,
- kemudian jawabusy syarthi.
Dan ini bisa kita
contohkan
ان قام استاذ قام محمد
Jika ustadz berdiri, maka Muhammad juga berdiri.
Jadi unsur2 yang mesti kita fahami ketika kita membahas tentang syarat,
itu adalah adatusy syarthi, kemudian fi’lusy syarthi, kemudian jawabusy
syarthi. Sekarang kita akan memulai tentang adatusy syarthi.
Pembagian Adatusy syarthi
Adatusy syarthi ini ada pembagian yang harus diperhatikan.
Pertama Adatusy Syarthi, ada yang
masuk dalam
- kategori isim,
- ada yang masuk dalam kategori huruf.
Fi’il tidak
ada.. (saya ulangi lagi) adatusy syarthi itu ada yang masuk dalam kategori
isim, dan ada yang masuk dalam kategori huruf.
Kedua adatusy
syarthi yang memiliki fungsi
- jazim (menjazmkan) fi’il mudhore yang dimasukinya.
- Ada juga yang ghoiru jazim (yang tidak menjazmkan fi’il yang dimasukinya).
Saya
contohkan,
من يرد الله به خيرا يفقهه فى
الدين
- Man disini masuk dalam kategori isim, sebagai adatusy syarthi.
- Yufaqqihhu disini sebagai jawabusy syarthi
- Yurid disini sebagai fi’lusy syarthi.
Point yang penting untuk ditegaskan, man disini adalah isim. Lain dengan
misalnya saya contohkan.
و ان تصبهم حسنة يقولوا هذه من
عند الله
- In disini adalah adatusy syarthi.
- Tushibhum disini adalah fi’lusy
syarthi nya.
- Kemudian yaquuluu disini adalah jawabusy syarthi.
Pembagian ini
menjadi penting karena apa? Karena kalau seandainya kita bertemu dengan isim.
Maka kita harus memberi hukum I’rob pada isim tersebut. Akan tetapi kalua yang
kita jumpai adalah huruf, maka kita tidak akan menemui hukum I’robnya, jadi gak
usah diberi hukum I’robnya itu gak usah
Seperti man di contoh
من يرد الله به خيرا يفقهه فى
الدين
Maka tidak mungkin tidak, harus memiliki hukum I’rob.
Hukum I’robnya
isim itu
Jadi kesadaran.. oo.. ini huruf, oo.. ini isim, itu
menjadi penting karena apa? Karena kalau seandainya yang kita jumpai adalah
isim -apakah dalam kategori isim yang mabni atau isim yang mu’rob – pasti
memiliki hukum I’rob. Jadi kalau seandainya ada tahapan identifikasi,
Misal
من يرد الله به خيرا يفقهه فى
الدين
Adat Syarat Isim
Man adalah isim, maka ini dibaca rofa’ nashob atau jar? Mesti begitu…
karena ini isim. Ternyata dalam konteks syarat ada kata yang termasuk dalam
kategori isim yang memiliki arti barangsiapa, jika, yang memiliki arti apabila,
yang memiliki arti dimana kalua seandainya tidak diberi jawaban maka, maka
tidak sempurna. Man di atas, masuk dalam kategori isim. Kalau seandainya adat syarat yang sedang kita
hadapi, masuk dalam kategori isim maka kita harus memberi hukum I’rob. Kalau
seandainya tidak rofa’ ya nashob, klau seandainya tidak nashob ya jar.
Adat Syarat Huruf
Kalau seandainya adat syarat yang kita hadapi masuk dalam kategori
huruf, maka ini jelas tidak memiliki hukum I’rob. Huruf itu tidak berhukum
rofa’, tidak berhukum nashob, tidak berhukum jar, tidak berhukum jazm. Huruf
itu semuanya mabni. Itu penting untuk diperhatikan.
Jadi tentang adat syarat,
seperti yang saya katakan syarat ini menjadi kajian, di dalam bahasa arab,
lebih disebabkan karena ada aturan2 ada kaidah2, yang harus diikuti kalau seandainya kita sedang menganalisis teks.
Warning yang pertama tentang adat syarat,
adat syarat itu ada yang berkategori huruf, ada yang berkategori isim. Kalau
seandainya yang kita hadapi yang berkategori isim maka ini wajib kita beri
hukum I’robnya. Harus ada hukum I’robnya. Isim itu, apakah masuk dalam kategori
mabni, apakah masuk dalam kategori mu’rob itu semuanya harus ada hukum
I’robnya. Kalau seandainya tidak rofa’ ya nashob, kalua seandainya tidak nashob
ya jar. Ketika yang kita hadapi adalah adat syarat yang berkategori huruf, maka
dia tidak memiliki hukum I’rob.
Dalam buku ini sudah kita klasifikasikan, mana yang masuk dalam kategori
huruf sehingga tidak memiliki hukum I’rob. Mana yang termasuk dalam kategori
isim, sehingga dia harus memiliki hukum I’rob, itu semuanya sudah kita
klasifikasikan. Jadi tinggal menghafal, tinggal mencocokkan dan seterusnya.
Misalnya, kata2nya
وما تفعلوا من خير يعلمه الله
Maa disini merupakan adat syarat, masuk dalam kategori isim. Karena
masuk dalam kategori isim, maka ada hukum I’robnya. Karena l’robnya isim maka
bisa jadi dibaca rofa’ nashob jar. Dalam konteks ini maa itu sebagai maf’ul bih
sehingga dibaca nashob. Wa maa (lan ing barang), taf’alu kang nglakoni sopo?
Siro kabeh. Min khoirin (saking kebagusan). Ya’lamhullohu (maka.. Alloh pasti
akan mengetahuinya. )
Jadi adat syarat itu tidak mesti dibaca rofa’. Misalnya
من يرد الله به خيرا يفقهه فى
الدين
Man (utawi sapane wong)
barangsiapa dikehendaki Alloh menjadi orang baik, yufaqqihhu fiddin (maka dia
diberi pengetahuan oleh Alloh dalam bidang agama). Man disini mubtada, Pointnya
adalah man ini isim. Karena isim maka harus diberi hukum I’rob. Yang dalam
konteks ini, man ini jadi mubtada. Jadi adat syarat yang pertama itu ada yang
masuk dalam kategori isim, ada juga yang masuk dalam kategori huruf. Kalau
seandainya kebetulan yang kita temui adalah adat syarat yang berkategori huruf
maka dia pasti tidak memiliki hukum
I’rob, apakah itu rofa’ apakah itu nashob, apakah itu jar. Tapi apabila yang
kita temukan adalah adat syarat yang berkategori isim, nah ini pentingnya
warning, pentingnya peringatan. Hati2 lho yaa.. adat syarat itu ada yang masuk
dalam kategori isim, ada yang masuk dalam kategori huruf. Adat syarat yang
masuk dalam kategori isim, maka harus diberi hukum I’rob, kalua tidak rofa’ ya
nashob, kalua tidak nashob ya jar. Kalau seandainya kebetulan yang kita temukan
itu adalah adat syarat yang berkategori huruf, maka dia tidak memiliki hukum
I’rob.
Yang kedua adalah ada adat syarat yang berkategori jazm dan ghoiru jazm. Contoh seperti ini, ini contoh yang kategori jazim
وما تفعلوا من خير يعلمه الله
wa maa taf'aluu itu asalanya taf'aluuna
تفعلون
nun nya tidak ada. Yang kemudian disebut sebagai hadzfun nuuni. Fi'il mudhore' itu kalau seandainya tajarrud anil nawashibi wal jawazim (apabila tidak dimasuki oleh amil nashob dan amil jazm), pasti dibaca rofa'. Tanda rofa'nya fi'il mudhore itu dua
- kadang2 menggunakan dhommah
- kadang2 dengan menggunakan tsubutun nuun
Kapan dengan menggunakan dhommah? dengan menggunakan dhommah apabila bukan termasuk dalam kategori al af'alul khomsah. Kapan menggunakan tsubutun nuun? apabila masuk dalam kategori al af'alul khomsah.
Karena تفعلون termasuk dalam al af'alul khomsah, maka apa maksudnya af'alul khomsah itu?
fi;il mudhore' yang bertemu dengan alif tatsniyah
- kemudian wawu jama'
- kemudian ya muanatsah mukhothobah
Karena taf'aluuna ini berkategori yang bertemu dengan wawu jamak, maka termasuk dalam kategori al af'alul khomsah. Kalau seandainya dibaca rofa', harusnya tulisanya
تفعلون
تفعلوا
Tapi kenyataanya disini, karena ada maa, nun nya dibuang
وما تفعلوا من خير يعلمه الله
Menunjukkan disini bukan dibaca rofa'. Akan tetapi ini dibaca jazm. Mana yang menjazmkan? yang menjazmkan ini adalah maa. Ada adat syarat, yang menjazmkan fi'il mudhore' yang dimasukinya, ada yang tidak menjazmkan. Yang tidak menjazmkan itu misalnya faidza qurial qur-an,
وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له
idza ini termasuk dalam kategori adat syarat. Adat syarat yang tidak menjazmkan.
Jadi yang perlu diperhatikan,
dalam konteks adat syarat itu ada yang masuk dalam kategori isim, berarti kita harus bertanggung jawab untuk memberikan hukum i'rob. Ada yang masuk dalam kategori huruf, karena huruf maka kita tidak boleh memberikan hukum i'rob pada adat syarat tersebut, itu yang pertama.
Yang kedua adalah ada adat syarat yang menjazmkan fi'il yang dimasukinya.
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
yurid - berasal dari aarooda - yuriidu
يريد
ada ya'nya disini, tetapi di contoh man yurid tidak ada ya nya. Kenapa kok kemudian disini
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
tidak ada ya- nya? ya.. karena disini dalnya itu sukun. Disukun oleh siapa? dijazmkan oleh siapa? dijazmkan oleh man.
akhirnya tulisan menjadi begini..
awalnya : ُيُرِيْد
menjadi : ْيُرِيْد
inilah dalam bahasa arab disebut sebagai, iltiqo-us sakinaini. Bertemunya dua sukun dalam satu kalimat (kata). Karena demikian ya nya harus dibuang, maka secara tulisan akan berubah menjadi?
menjadi :يرد
tidak ada ya-nya.
Karena dalnya disukun, huruf akhirnya harus sukun, maka terjadilah apa yang kemudian adalam kaidah bahasa arab disebut dengan iltiqo-us sakinaini. Bertemunya dua sukun dalam satu kalimat. Ketika ada kasus bertemunya dua sukun dalam satu kalimat, maka huruf illatnya harus dikalahkan dengan cara membuang ya-, sehingga secara tulisan,
tidak lagi
يريد tapi, يرد
Point yang kepingin saya tegaskan, kalau dari sisi tulisan, ini adalah jazm. Ini menunjukkan man disini fungsinya adalah jazim.
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
وإن تصبهم حسنة يقولوا هذه من عند الله
wa in tushib-hum (ba- nya mati).
wa in tushib (dan apabila menimpa)
hum (kepada mereka)
apa yang menimpa?
hasanatun (kebaikan) fail
ini berasal dari ashooba - yushiibu - pakai ya.
ini termasuk adat syarat yang menjazmkan fi'il mudhore yang dimasukinya, dua fi'il mudhore.
ُتصيب
ْتصيب -karena kemudian ba'nya mati, dan ya'nya mati. kemudian karena iltiqous saakinaini, huruf illatnya yang sukun dihapus, menjadi....
تصب
يقولوا
asalnya yaquuluuna. Disini menunjukkan adanya hadzfu nuuni (pembuangan nun). Karena termasuk dari al af'alul khomsah. Nun nya dibuang itu menunjukkan dibaca jazm.
Point yang kepingin saya tegaskan bahwa adat syarat itu ada yang masuk dalam kategori isim, ada yang masuk dalam kategori huruf. Adat syarat juga ada yang masuk dalam kategori amil yang menjazmkan, ada juga yang masuk dalam kategori yang tidak menjazmkan (ghoiru jazim). Tentang adat syarat, itu seperti itu.
|
Komponen Bab Syarat dalam Ilmu Nahwu |
Dalam komponen2 yang kita bahas dalam syarat, itu komponenya ada yang disebut sebagai
- adat syarat
- fi'il syarat
- jawab syarat
Untuk adat syaratnya tadi, kerangkanya itu. Ada yang masuk dalam kategori isim, ada yang masuk dalam kategori huruf. Ada juga yang masuk dalam kategori jazim, menjazmkan fiil yang dimasukinya, ada yang masuk dalam kategori ghoiru jazim. Kemudian setelah adat syarat, kita masuk dalam fi'lusy syarthi. Tentang fi'il syarat ini, yang paling penting untuk diperhatikan adalah kadang2 ada yang ditulis, kadang2 ada yang tidak ditulis. Tapi tetep konsisten para ulama, jadi ada yang shorih, kelihatan, ada yang dianggap adat syaratnya sudah mutadhommin ma'na fi'lisy syarthi. Jadi kadang2 ojok metenteng, ndi fi'il syarate? golek i... Digolek i, gak ketemu misalnya, karena apa? karena sudah dibagi. Fi'il syarat itu kadang disebutkan, kadang2 tidak disebutkan. Seperti lafadz, laulal kitaabu (seandainya tidak ada kitab, )
لولا الكتاب لضاع العلم
mana fi'il syaratnya? ini dianggap sudah mutadhommin ma'na fi'lusy syarthi. Secara umum begitu, termasuk amma dan seterusnya.
لولا الكتاب لضاع اكثر العلم
Tentang fi'lusy syarthi itu yang paling penting adalah harus diketahui terlebih dahulu, mana adat syarat yang termasuk mutadhommin ma'na filusy syarthi, dan mana adat syarat yang harus ada fi'lusy syarthinya. Ini penting untuk diperhatikan, ini memang masalah agak berat, supaya tidak terlalu berat, maka untuk yang pertama kita tuntaskan yang namanya adat syarat dahulu, kita sudah tuntas. Fi'lusy syarthi ada dua kategori, ada yang disebutkan, ada yang tidak disebutkan. Tapi konsisten, tidap adat syarat itu pasti ada tiga unsur, ada unsur adatusy syarthi, ada unsur fi'lusy syarthi, ada unsur jawabusy syarthi. Mungkin itu yang bisa saya sampaikan terlebih dahulu untuk nanti dilanjutkan di tulisan berikutnya
Kurang lebihnya mohon maaf, wabillahittaufiq wal hidayah
wassalamu'alaikum warohmatullohi wa barokatuh.
Comments
Post a Comment