Skip to main content

Ust Yendri Junaidi | Tafsir Surat Al Maidah 51




Untuk memahami sebuah ayat, tidak cukup –dan tidak akan mungkin cukup- hanya dengan melihat terjemahannya saja. Oleh karena itu penulis mencoba membuka-buka kitab tafsir dan beberapa kitab pendukung -seperti kitab-kitab yang menjelaskan sisi kebahasaan Al-Quran, Asbabun Nuzul dan sebagainya- untuk mengkaji sebatas kemampuan yang ada tentang masalah ini.  Ada dua hal mutlak yang perlu ditinjau dan dikaji untuk mendapatkan pemahaman yang baik terhadap sebuah ayat; 
  • sisi kebahasaan (nahwiyyahsharfiyyah dan balaghiyyah
  • dan sisi konteks ayat (siyaq, yang dapat diketahui dari melihat asbabun nuzulnya)


Mari kita lihat dulu ayatnya dan terjemahan bahasa Indonesianya:


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ 
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesunguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”




Auliyaa diterjemahkan sebagai pemimpin
Barangkali yang membuat banyak orang menyimpulkan bahwa ayat ini layak diterapkan pada seseorang adalah kata-kata  أولياء  yang diterjemahkan secara sederhana dengan ‘pemimpin.’ Jika ayat ini dipahami sesederhana itu (secara harfiah), maka ini berarti haram hukumnya bagi setiap muslim untuk menjadikan orang Yahudi atau Nasrani sebagai pemimpin dalam segala bentuk kepemimpinan.

Maka orang-orang muslim yang bekerja di perusahaan yang direktur, bos atau pimpinannya orang Kristen berarti telah melakukan sesuatu yang haram. Bahkan kalau pemahaman seperti ini dibawa ke lembaga-lembaga internasional maka ini artinya banyak negara muslim yang telah melakukan keharaman ketika mengangkat negara-negara non-muslim sebagai pemimpin, seperti pemimpin di PBB, GNB, APEC dan sebagainya.



Imam Roghib Al Ashfahani
Padahal memaknai kata-kata أولياء tidak bisa sesederhana itu. Imam Raghib al-Ashfahani saja, yang kitabnya; al-Mufradat fi Gharib al-Quran, menjadi rujukan luas untuk memahami kata-kata sulit dalam Al-Quran, mendefinisikan kata-kata الولي (yang merupakan akar kata dari lafaz أولياءdengan kalimat yang tidak mudah dimengerti. 
Beliau mengatakan:



أن يَحْصُلَ شيئان فصاعدا حصولا ليس بينهما ما ليس منهما

Asal kata wala` dan tawali adalah terjadinya dua hal atau lebih dalam bentuk yang tidak ada diantara keduanya sesuatu yang tidak dari keduanya (???)

Tapi ia kemudian menjabarkan apa saja pengertian dari akar kata الولي . Setidaknya ada 6 pengertian dari akar kata tersebut yang ia sampaikan:


القرب من حيث المكان ومن حيث النّسبة ومن حيث الدّين ومن حيث الصّداقة والنّصرة والاعتقاد

  • Dekat dari segi tempat
  • dekat dari segi hubungan
  • dekat secara agama, 
  • dekat secara persahabatan, 
  • bantuan, 
  • dan dekat secara keyakinan

Dari sini bisa disimpulkan bahwa sesungguhnya lafaz الولي termasuk kategori lafaz musytarak, satu kata yang memiliki banyak makna. Untuk menentukan makna mana yang lebih tepat pada sebuah ayat yang di dalamnya ada kata الولي , tidaklah mudah. Perlu melihat kepada siyaq (konteks) ayat, dengan melihat ayat-ayat sebelumnya dan ayat-ayat sesudahnya. Inilah tugas para ahli tafsir yang telah dibekali seperangkat ilmu yang cukup rumit. Jadi tidak sesederhana memahaminya dari terjemahan semata.

Kalau kata-kata الولي diterjemahkan dengan teman dekat, penolong, sekutu dan sejenisnya, muncul kembali pertanyaan. Apakah ini berarti bahwa setiap muslim diharamkan berteman dengan orang-orang Nasrani dan Yahudi? Meskipun itu hanya pertemanan biasa yang tidak ada kaitannya dengan masalah keimanan? Apakah ini juga berarti bahwa setiap muslim diharamkan meminta bantuan pada non-Muslim meskipun dalam hal-hal duniawi biasa?

Berarti memahami ayat ini tidak sesederhana melihat terjemahannya atau mendengar dari ceramah-ceramah singkat yang berapi-api. Ini yang sedang kita coba lakukan dengan membuka kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab pendukung lainnya.



Latar Belakang Turun Ayat ini | Tafsir Imam Ath Thobari
Sekarang mari kita lihat latarbelakang turunnya ayat ini, atau apa yang disebut dengan asbabun nuzul. Kita akan merujuk kepada seorang mufassir yang dikenal dengan sebutan Imam Mufassirin (imamnya ahli tafsir) yaitu Imam Ibnu Jarir ath-Thabari.


قال أبو جعفر: اختلف أهل التأويل في المعنيِّ بهذه الآية،
وإن كان مأمورًا بذلك جميع المؤمنين

Imam Thabari, ketika menafsirkan ayat ini berkata
Meskipun yang diperintah dalam ayat ini adalah seluruh orang beriman, tapi ahli takwil (tafsir) berbeda pendapat tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dalam ayat ini. 
Atau dalam ungkapan lain, apa sebenarnya yang menjadi latar belakang ayat ini turun. Kemudian beliau menyebutkan tiga riwayat yang dianggap para ahli tafsir menjadi penyebab turunnya ayat ini.





فقال بعضهم: عنى بذلك عبادة بن الصامت
وعبد الله بن أبي ابن سلول
في براءة عُبَادة من حلف اليهود
وفي تمسك عبد الله بن أبي ابن سلول بحلف اليهود
بعد ما ظهرت عداوتهم لله ولرسوله ﷺ
وأخبره الله أنه إذا تولاهم وتمسَّك بحلفهم
أنه منهم في براءته من الله ورسوله كَبرَاءتهم منهما



Pendapat pertama mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan dua orang tokoh di masa Rasululloh Saw. Yang satu sahabat RasulullohSaw bernama Ubadah bin Shamit, dan yang kedua gembong kaum munafik Madinah, Abdulloh bin Ubay bin SalulKedua orang ini sama-sama punya sekutu dan teman dekat dari kalangan Yahudi. 

١٢١٥٧ - حدثنا هناد قال، حدثنا يونس بن بكير
قال حدثني عثمان بن عبد الرحمن، عن الزهري
قال: لما انهزم أهلُ بدر،
قال المسلمون لأوليائهم من يهود:
آمنوا قبل أن يصيبكم الله بيوٍم مثل يوم بدر
فقال مالك بن صيف: غرَّكم أن أصبتم رهطًا من قريش
لا علم لهم بالقتال
أما لو أمْرَرْنَا العزيمة أن نستجمع عليكم
لم يكن لكم يدٌ أن تقاتلونا


Ketika orang-orang kafir Quraisy mengalami kekalahan di perang Badar, beberapa orang muslim yang punya kedekatan dengan orang-orang Yahudi berkata kepada teman-teman Yahudi mereka:
Cepatlah masuk Islam sebelum kalian juga akan mengalami nasib yang sama dengan orang-orang Quraisy di perang Badar.”

Mendengar ajakan yang bijaksana dan mulia itu, ada seorang Yahudi bernama Malik bin Shaif berkata: 
“Baru mengalahkan orang-orang Quraisy yang tidak pandai berperang saja kalian sudah sombong. Sungguh, kalau kami mau, kami bisa saja membinasakan kalian dan kalian pasti tidak akan bisa mengalahkan kami.”


! فقال عبادة: يا رسول الله
إن أوليائي من اليهود كانت شديدةً أنفسهم، كثيًرا سلاحهم
شديدةً شَوْكتُهم
وإني أبرأ إلى الله وإلى رسوله من وَلايتهم
ولا مولى لي إلا الله ورسوله.

Komentar itu pun tersebar. Dalam kondisi seperti di masa itu, komentar-komentar seperti ini tidak bisa dianggap sepele bak angin lalu. Apalagi kalau komentar itu keluar dari seseorang yang dianggap tokoh dan punya pengaruh. Komentar seperti ini bisa diartikan sebagai sebuah ancaman dari orang-orang Yahudi terhadap kaum muslimin di Madinah.

Seorang sahabat Nabi yang bernama Ubadah bin Shamit langsung menemui Rasululloh Saw dan berkata: 
“Ya Rasululloh, sekutu-sekutuku dari kalangan Yahudi adalah orang-orang yang keras. Senjata mereka banyak dan mereka juga ahli berperang. Tapi aku berlepas diri dari mereka semua. Aku umumkan bahwa mawla-ku hanya Allah dan Rosul-Nya.”



فقال عبد الله بن أبيّ: لكني لا أبرأ من ولاء يهود
إنّي رجل لا بدَّ لي منهم

فقال رسول الله ﷺ:"يا أبا حُباب
أرأيت الذي نَفِست به من ولاء يهود على عبادة
فهو لك دونه؟
قال: إذًا أقبلُ! فأنزل الله تعالى ذكره:
"يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء بعض أولياء بعض"
إلى أن بلغ إلى قوله:"والله يعصمك من الناس



Di saat yang sama Abdullah bin Ubay bin Salul juga hadir. Setelah mendengar komentar Ubadah bin Shamit, ia pun ikut berkomentar: 
Kalau aku tidak akan berlepas diri dari sekutu-sekutuku orang-orang Yahudi. Aku butuh mereka.” 

Akhirnya Rasululloh Saw bersabda: 
“Wahai Abu Hubab (gelar Abdullah bin Ubay), persekutuanmu dengan orang-orang Yahudi -yang oleh Ubadah dilepaskan- hanya berlaku untukmu saja.”
 
Abdullah bin Ubay berkata: 
“Baik, aku terima.” 
Kemudian turunlah ayat surat Al-Maidah ayat 51




وقال آخرون:
بل عُني بذلك قومٌ من المؤمنين كانوا هَمُّوا حين نالهم بأحُدٍ
من أعدائهم من المشركين ما نالهم
أن يأخذوا من اليهود عِصَمًا(٥)
فنهاهم الله عن ذلك،
وأعلمهم أنّ من فعل ذلك منهم فهو منهم

"العصم" جمع"عصمة"
وهي الحبال والعهود، تعصمهم وتمنعهم من الضياع


Pendapat kedua mengatakan ayat ini turun berkaitan dengan sebab lain. Yaitu, setelah kekalahan kaum muslimin di perang Uhud, ada beberapa orang yang lemah iman menjadi sangat ketakutan. Takut kalau-kalau orang-orang kafir Quraisy benar-benar bisa menghancurkan Islam dan mereka akan ikut dibinasakan


فقال رجل لصاحبه
أمَّا أنا فألحق بدهلك اليهوديّ
فآخذ منه أمانًا وأتهَوّد معه
(٧) فإني أخاف أن تُدال علينا اليهود.

وقال الآخر: أمَّا أنا فألحق بفلانٍ النصراني ببعض أرض الشأم،
فآخذ منه أمانًا وأتنصَّر معه،
فأنزل الله تعالى ذكره ينهاهما
يا آيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهودَ والنصارَى أولياءَ
بعضهم أولياء بعض ومن يتولهم منكم فإنه منهم
إن الله لا يهدي القوم الظالمين

"دهلك اليهودي" لم أجد له ذكرًا فيما بين يدي من الكتب. وأخشى أن يكون اسمه تحريف

Sampai-sampai ada yang berkata sesama mereka: 
“Aku akan minta perlindungan pada temanku orang Yahudi, dan menjadi Yahudi sepertinya.” 

Ada lagi yang berkomentar: 
“Kalau aku akan minta perlindungan pada temanku orang Nasrani di negeri Syam, dan menjadi Nasrani seperti dirinya.” 

Akhirnya Alloh swt menurunkan QS. Al-Maidah ayat 51.




وقال آخرون
بل عُني بذلك أبو لبابة بن عبد المنذر
في إعلامه بني قريظة إذ رَضُوا بحكم سعدٍ:
أنه الذَّبح


١٢١٦٠ - حدثنا القاسم قال، حدثنا الحسين قال، حدثني حجاج، عن ابن جريج، عن عكرمة قوله:
"يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء بعضهم أولياء بعض ومن يتولهم منكم فإنه منهم"،
قال: بعث رسول الله ﷺ أبا لُبابة بن عبد المنذر،
من الأوس= وهو من بني عمرو بن عوف=
فبعثه إلى قريظة حين نَقَضت العهد،
فلما أطاعوا له بالنزول،
(٨) أشار إلى حلقه: الذَّبْحَ الذَّبْحَ

Pendapat ketiga mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Abu Lubabah bin Abdul Mundzir. Kisahnya, ketika Yahudi Bani Quraizhah mengkhianati perjanjian dengan Rasululloh Saw, mereka kemudian dikepung. Akhirnya mereka mohon untuk diberikan pengampunan. Rasululloh Saw mengutus Sa’d bin Mu’adz untuk menjadi hakim guna memutuskan apa hukuman terbaik bagi mereka. Karena Abu Lubabah memiliki sahabat dari kalangan Yahudi, maka ia memberi sinyal pada mereka bahwa kalau Sa’d yang ditunjuk sebagai hakim ia pasti akan memutuskan untuk membunuh mereka semua. Kemudian turunlah ayat ini.

Itulah tiga kisah yang dinilai menjadi penyebab turunnya ayat 51 surat Al-Maidah. Seperti kebiasaannya, pada bagian akhir, 



فإذْ كان ذلك كذلك
فالصواب أن يحكم لظاهر التنزيل بالعموم على ما عمَّ
ويجوز ما قاله أهل التأويل فيه من القول الذي لا علم عندنا بخلافه
غير أنه لا شك أن الآية نزلت في منافق كان يوالي يهودًا
أو نصارى خوفًا على نفسه من دوائر الدهر،
لأن الآية التي بعد هذه تدلّ على ذلك، وذلك قوله

Imam Thabari selalu memberikan kesimpulan dan memilih pendapat yang dianggapnya paling kuat. Ia mengatakan bahwa ayat 51 surat Al-Maidah ini merupakan larangan bagi seluruh orang beriman untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai penolong dan sekutu untuk melawan orang-orang beriman.

Beliau melanjutkan: 
Ayat ini diterapkan secara zhahir (maksudnya terlepas dari apa sebenarnya yang menjadi sebab turunnya). Namun yang pasti adalah ayat ini turun berkenaan dengan orang munafik yang bersekutu dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani karena takut dirinya akan terancam.”








Tafsir Imam Rosyid Ridho
Sekarang kita akan lihat pendapat seorang ahli tafsir mu’ashir (kontemporer); Imam Rosyid Ridho yang menulis Tafsir al-Manar. Sebuah tafsir yang berjasa besar menghidupkan ruh pembaharuan di berbagai pelosok dunia, dan sampai saat ini masih tetap menjadi rujukan banyak pakar. Beliau mengawali tafsir ayat 51 surat Al-Maidah ini dengan menampilkan kilas balik kondisi kehidupan bernegara di Madinah setelah Rasululloh saw hijrah ke sana. Sesampainya Rasululloh saw di Madinah, beliau membuat perjanjian dengan kaum Yahudi di sana; Bani Qainuqa’, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah. 

من المعلوم في السيرة النبوية الشريفة أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم 
وادع اليهود حين قدم المدينة وأقرهم على دينهم وأموالهم



Kemudian ia menukil pendapat Imam Ibnu Qayyim dalam kitab Zadul Ma’ad yang menjelaskan bahwa saat itu orang-orang kafir di Madinah terbagi menjadi tiga kelompok.

Kelompok pertama yang membuat kesepakatan damai dengan Rasululloh saw. Kelompok ini, meskipun kafir, tapi tetap terjamin keamanannya. Kelompok kedua yang terang-terangan menampakkan permusuhan dengan Rasulullah saw. Kelompok ketiga yang berada di antara dua kelompok tadi; tidak membuat perjanjian damai dengan Rasulullah saw dan tidak pula terang-terangan memusuhinya. Mereka hanya melihat kemana angin kencang bertiup.

قال
ابن القيم في الهدي النبوي
ولما قدم النبي صلى الله عليه وآله وسلم المدينة صار الكفار معه ثلاثة أقسام



Kemudian Syekh Rasyid Ridha menjelaskan bahwa semua suku Yahudi yang telah mengadakan perjanjian dengan Rasululloh saw mengkhianati beliau. Maka terjadilah beberapa peperangan antara kaum muslimin dengan orang-orang Yahudi tersebut. Ini kondisi yang terjadi di masa itu. 


Lalu Syekh Rasyid berkata: 
“Inilah sebab secara global munculnya larangan untuk menjadikan Ahli Kitab sebagai أولياء  dalam ayat-ayat ini. Apalagi di saat yang sama, orang-orang Nasrani di seluruh penjuru Arab, demikian juga dengan orang-orang Romawi, seperti halnya Yahudi, semua satu kata untuk memerangi Rasululloh saw.”


Kemudian Syekh Rasyid menjelaskan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat ini seperti yang juga dijelaskan oleh Imam Thabari di atas. Lalu ia berkata:


ومعناها عام في كل حال كالحال التي نزلت فيها
“Makna ayat ini berlaku umum dalam setiap kondisi seperti kondisi ketika ayat ini turun.”



علم مما سبق أن المراد بالولاية ولاية التناصر 
والمحالفة وقيده بعضهم بكونها على المؤمنين

Lalu Syekh Rasyid melanjutkan:

“Yang dimaksud dengan الولاية di sini adalah ولاية التناصر (saling membantu) dan المحالفة (bersekutu). Ada sebagian ahli tafsir yang mengaitkannya dengan bantuan atau persekutuan untuk menghancurkan orang-orang beriman.


Ada juga yang berpendapat bahwa larangan dalam ayat ini hanya berlaku untuk beberapa individu muslim yang hatinya berpenyakit ketika ia rela meminta bantuan kepada non muslim karena ia tidak yakin bahwa Islam akan kekal dan umat Islam akan selalu ditolong oleh Alloh swt. 

Tapi ada kemungkinan larangannya berlaku untuk seluruh individu muslim. Bukan karena larangan bersekutu dengan non-muslim termasuk pokok agama (ushuluddin) –karena Nabi saw sendiri menjalin muhalafah (persekutuan atau perjanjian) dengan orang-orang Yahudi di Madinah ketika beliau hijrah-, namun karena orang-orang non-muslim di saat itu memang sangat benci terhadap Islam, sehingga janji mereka tidak lagi bisa dipegang setelah berbagai pengkhianatan yang mereka tampakkan secara nyata.”



Tapi kemudian Syekh Rasyid menimpali: “Tapi bukan ini yang dimaksud oleh ayat. Konteksnya lebih mengarah pada pendapat yang pertama, yaitu bahwa larangan ini hanya untuk beberapa individu atau komunitas muslim yang menjalin perjanjian dan kesepakatan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang memusuhi Nabi saw dan orang-orang beriman, kemudian bersepakat untuk saling bahu-membahu dalam berbagai kondisi. Hal ini mereka lakukan agar ketika ternyata umat Islam kalah melawan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu, mereka tetap aman dan tidak ikut jadi korban.

Kenapa digunakan lafaz اليهود والنصارى (Yahudi dan Nasrani) bukan lafaz أهل الكتاب (Ahli Kitab)? Hal ini karena sebenarnya permusuhan mereka dengan Nabi dan orang-orang beriman lebih disebabkan oleh loyalitas politik mereka, bukan karena kitab mereka yang menyuruh untuk itu.

Larangan untuk menjadikan ahli kitab sebagai الولي dalam ayat ini sama dengan larangan menjadikan orang-orang musyrik sebagai الولي dalam surat Al-Mumtahanah ayat 1.



Kemudian Syekh Rasyid menutup uraiannya pada bagian ini dengan kalimat pamungkas:


فهذه الآيات نص صريح في كون النهي عن الولاية لأجل العداوة، وكون القوم حربا، لا لأجل الخلاف في الدين لذاته، فإن النبي صلى الله عليه وسلم لما حالف اليهود كتب في كتابه "لليهود دينهم، وللمسلمين دينهم" كما أمره الله أن يقول لجميع المخالفين: (لكم دينكم ولي دين)

Ayat-ayat ini (Al-Maidah ayat 51 dan Al-Mumtahanah ayat 1) adalah nash-nash yang tegas menyatakan bahwa larangan untuk menjadikan ahli kitab sebagai الولي  adalah karena faktor permusuhan, dan karena orang-orang itu sedang memerangi Islam dan pemeluknya, bukan hanya semata-mata karena perbedaan agama, karena Nabi saw sendiri ketika membuat perjanjian dengan orang-orang Yahudi beliau menulis: “Untuk orang Yahudi agama mereka dan untuk orang Islam agama mereka,” sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadanya untuk mengatakan pada semua orang yang berbeda agama dengannya: “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”


Selanjutnya Syekh Rosyid melancarkan kritik terhadap beberapa tafsir klasik dalam memahami ayat ini, khususnya tafsir Zamakhsyari dan tafsir Baidhawi. Beliau berkata: “Beberapa ahli tafsir muta`akhkhirin seperti Zamakhsyari, Baidhawi dan mufassir lain yang sependapat dengan mereka berdua, memahami kata-kata الولاية   dengan pengertian rasa suka, interaksi yang baik dan memperkejakan orang-orang ahli kitab. Mereka berdalilkan dengan hadits:
لا تتراءى ناراهما

“Tidak boleh saling tampak api dari keduanya (muslim dan kafir).”

Pendapat ini mereka perkuat dengan perintah Umar bin Khattab kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk memecat juru tulisnya yang merupakan seorang Nasrani. Akan tetap konteks ayat tidak mendukung tafsir seperti ini. Sebagian ahli tafsir mutaqaddimin bahkan memahami sebaliknya. Mereka mengatakan bahwa ayat ini berlaku khusus hanya untuk orang-orang yang tentang mereka ia diturunkan, dan mereka memahami الولاية  dengan pengertian memberi bantuan. Alangkah jauhnya perbedaan pemahaman kedua kelompok ini.

Larangan untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam ayat ini juga ditafsirkan Baidhawi dengan: “Jangan bertopang pada mereka...” “Jangan bergaul dengan mereka seperti sahabat dekat...” dan sebagainya, karena mereka telah sepakat untuk menentang kalian orang-orang beriman.



Lalu Syekh Rasyid mengatakan: “Pemahaman ini keliru dan jauh dari bahasa dan konteks ayat. Lebih dari itu, ia juga jauh dari asbabun nuzul dan kondisi orang-orang Islam dan orang-orang ahli kitab pada saat ayat ini diturunkan. Yang membuat Baidhawi jatuh dalam kekeliruan seperti ini adalah karena ia terlalu berpegang kepada tafsir al-Kasysyaf karya Zamakhsyari dan tidak merujuk kepada tafsir para ulama salaf.”

Syekh Rasyid melanjutkan: “Adapun hadits yang dijadikannya sebagai dalil tentang tidak boleh bergaul dengan orang-orang non-muslim, sebenarnya hadits tersebut terkait dengan perintah untuk hijrah (pindah) dari negeri musyrik atau negeri kafir menuju Nabi saw untuk membantu Nabi saw (jadi tidak ada kaitan dengan hubungan muslim dengan ahli kitab). Apalagi sebagian ulama hadits menjelaskan bahwa hadits ini mursal, dan terjadi perdebatan panjang di kalangan ulama tentang apakah boleh atau tidak beramal dengan hadits mursal.”



Kemudian Syekh Rasyid menutup tafsirnya dengan sebuah kisah yang dialaminya langsung yang ada kaitannya dengan tafsir ayat ini.


وقد اتفق أنني لما زرت مدرسة دار الفنون في الأستانة سنة ١٣٢٨ وطفت على حجرات المدرسين ألفيت مدرس التفسير يفسر هذه الآية، فلما قرر ما قاله البيضاوي قام أحد طلاب العلم من الترك وقال إذا كان الأمر كذلك فلماذا جعلت الدولة بعض الوزراء والأعيان والمبعوثين والموظفين من النصارى واليهود.. ؟

“Pada tahun 1328 H saya berkunjung ke Astanah (Turki). Saya sempat menghadiri kajian tafsir yang disampaikan oleh seorang guru di sana. Sang guru sedang menafsirkan ayat tentang larangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Rujukan yang dipakainya adalah tafsir Baidhowi. Tiba-tiba seorang pelajar bertanya dengan penuh berani: “Kalau begitu (maksudnya kalau memang haram menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin, sahabat dan sebagainya), kenapa negara (Turki Utsmani) mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai menteri, pejabat-pejabat umum, duta besar, pegawai dan sebagainya?” Sang guru terdiam dan tak bisa menjawab. Keringat dinginnya bercucuran. Ia tahu apa akibat bagi orang yang mengkritik undang-undang negara.

فارتج على المدرس وعرق جبينه – وناهيك بعقاب الحكومة العرفية العسكرية هنالك لمن يطعن في دستورها ! – فقلت للمدرس أتأذن لي أن أجيب هذا السائل ؟

Akhirnya saya tampil. Saya berkata pada sang guru: “Apakah Anda izinkan saya untuk menjawab pertanyaan itu?” Ia mengangguk. Saya lalu menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata-kata الولاية dalam ayat itu adalah  ولاية النصرة  seperti yang saya jelaskan dalam tafsir ayat di atas. 

Jadi tidak berarti kita atau negara dilarang mengangkat pejabat, pegawai dan sebagainya dari kalangan agama lain yang tidak dalam kondisi memerangi kita. Dan memang konteks ayat tidak mengarah pada tafsir yang disampaikan tuan guru tadi. Sang guru dan penanya itupun merasa puas dengan jawaban tersebut. Kejadian ini sampai diketahui oleh Kepala Sekolah. Kemudian Kepala Sekolah memutuskan bahwa untuk pelajaran tafsir mesti disampaikan dalam bahasa Arab (bukan bahasa Turki) dan saya langsung diminta untuk menjadi gurunya.”

Sebenarnya masih banyak yang bisa disampaikan terkait dengan makna ayat ini. Diantara tafsir yang juga mesti dirujuk untuk memahami ayat ini secara tepat adalah tafsir Tahrir wa Tanwir karya Imam Thahih Ibnu ‘Asyur.

Comments