Skip to main content

Kajian Alfiyyah 42 | Metode Al Bidayah | Kh. Abdul Haris Jember | Bait 113 -116

Pembahasan Alfiyyah Ibnu Malik ke 42 oleh Kh. Abdul Haris Jember, dengan Metode Al Bidayah. Semoga catatan ini bisa memberikan bekas terhadap tersebarnya apa yang pak kyai sampaikan lewat video2 beliau mengenai materi2 bahasa arab. Tulisan ini merupakan transkrip dari video beliau, semoga bermanfaat juga, untuk kita semua. BAB Ibtida '


مبتدأ زيد وعاذر خبر ... إن قلت زيد عاذر من اعتذر

وأول مبتدأ والثاني ... فاعل اغنى في أسارٍ ذان

وقس وكاستفهامٍ النفي وقد ... يجوز نحو فائز أولو الرشد

والثان مبتدأ وذا الوصف خبر ... إن في سوى الإفراد طبقًا استقر


Bait Nadzom 113

مبتدأ زيد وعاذر خبر ... إن قلت زيد عاذر من اعتذر

مبتدأ زيد وعاذر خبر

Mubtada-un (adalah menjadi mubtada) dijadikan khobar muqoddam, karena itu pendekatanya adalah 'ainal a'rof, mana yang lebih ma'rifat diantara keduanya. 

Zaidun (bermula lafadz zaidun)
wa 'adzirun (adalah lafadz 'adzirun)
adalah

Khobarun (dijadikan khobar)


إن قلت زيد عاذر من اعتذر

in qulta (jika berkata siapa? kamu)
Maqulul qouli dari qulta
zaidun 'adirun mani'tadzar
Akan lafadz 
Zaidun 'Adzirun Mani'tadzar

Zaidun bermula zaid, adalah 'adzirun (orang yang memberi maaf)
man (akan orang)
i'tadzaro (yang meminta maaf, siapa? man)


مبتدأ زيد وعاذر خبر ... إن قلت زيد عاذر من اعتذر

Seperti yang sering saya katakan, dalam konteks mana yang harus kita tentukan sebagai mubtada, Apakah tidak memungkinkan? lafadz mubtadaun dijadikan sebagai mubtada'? sedangkan zaidun sebagai khobar, apakah tidak memungkinkan diberikan posisi semacam itu? Kenapa kita kok lebih memilih

Khobar: Mubtada-un
Mubtada: Zaidun

Itu lebih disebabkan, sering saya katakan pendekatan yang harus kita gunakan adalah 'ainal a'rof. Mana yang lebih ma'rifat diantara keduanya? Kalau seandainya kita pakai pendekatan yang kasat mata, mubtada-un bukan isim ma'rifat,

  • Dia tidak ada AL nya
  • bukan Isim Dhomir
  • bukan berupa Isim Isyaroh
  • bukan berupa Isim Maushul
  • juga bukan berupa Isim 'Alam
  • dan bukan Al Mudhof ilal ma'rifah

Sedangkan zaidun ini merupakan isim 'alam. Misalnya pendekatan lafdzi seperti itu, meskipun ini hikayah. Jadi... Pendekatan yang lebih kita kedepankan untuk menjadikan misalnya sebuah kalimat itu menjadi mubtada adalah 'ainal a'rof. Mana yang lebih ma'rifat diantara keduanya. Kalau seandainya kita bandingkan, antara lafadz mubtada-un dan lafadz zaidun, tentunya, zaidun lebih ma'rifat dibandingkan dengan mubtada'un. Inilah alasan, kenapa kok kemudian bacaanya adalah? mubtada-un adalah... kodenya adalah (menjadi khobar muqoddam). Bermula zaidun wa 'adzirun dan bermula lafadz 'adzirun adalah inqulta zaidun 'adzirun mani'tadzar apabila kamu mengatakan? zaidun 'adzirun mani'tadzar. 

زيد عاذر من اعتذر

zaidun bermula zaid
'adzirun adalah orang yang memberi maaf. 
man (akan orang) maf'ul bih
maf'ul bih darimana ini ustadz? maf'ul bih dari adzirun yang beramal sebagaimana fi'ilnya. Seperti yang sering saya katakan, kita pada akhirnya terpaksa (tidak bisa tidak) harus kenal dengan apa yang kita sebut sebagai konsep?  

الاسماء العاملة عمل الفعل

Isim2 yang beramal sebagaimana fi'ilnya. Asumsi dasarnya bagaimana ustadz? Asumsi dasarnya adalah 

  • yang punya fa'il itu adalah fi'il
  • yang punya naibul fa'il itu adalah fi'il
  • yang punya maf'ul bih itu adalah fi'il
Jadi benar, ketika seseorang bertanya, ini fa'il dari fi'il yang mana? itu benar pertanyaan itu. Karena memang fa'il punya fi'il. Ini naibul fa'il dari fi'il yang mana? Itu pertanyaan benar. Ini maf'ul bih dari fi'il yang mana? itu pertanyaan benar, kenapa? karena asumsi dasarnya adalah memang.... yang punya fa'il, naibul fa'il, maf'ul bih itu fi'il. Sebenarnya konsep dasarnya ANEH kok ada isim punya fa'il, kok punya naibul fa'il, kok punya maf'ul bih. KENAPA ANEH? karena konsep dasarnya yang punya itu semua dalah fi'il. Sekarang kita naikkan fikiran kita, kita naik tingkatkan fikiran kita. Ketika ada realitas, dimana? 
  • ada isim punya fa'il 
  • ada isim punya naibul fa'il, 
  • ada isim punya  maf'ul bih, 
Itu kan aneh? maka isim inilah yang disebut sebagai 
الاسماء العاملة عمل الفعل
Isim2 yang beramal sebagaimana fi'ilnya. 'Adzirun termasuk diantara konsep ini. Sehingga ketika ditanya. 

زيد عاذر من اعتذر
Zaidun bermula zaid
'adzirun adalah orang yang memberi maaf
man (akan orang) kodenya mim fa مف 
maf'ul bih, kalau dalam penyebutan penerjemahan itu pakai akan. Kalau akan itu adalah maf'ul bih. Bahasa itu bisa beda2. Yang paling penting ada kesepatakan antara guru dan murid. Kalau saya menyebutkan akan, itu berarti? maf'ul bih. Gitu aja.. gak usah diseragamkan, masalahnya beda2 memang. Penerjemahan bahasa jawa yang agak seragam. 
Utawi mesti mubtada- kalau bahasa Indonesia ada yang pakai bermula, ada yang pakai ADAPUN yasudah silahkan. Tidak usah terlalu dipermasalahkan, itu hanya kode i'rob, dan itu baik menurut saya. Kita tidak usah menjelaskan kepada murid kita bahwa ini mubtada dan alasanya begini, itu tidak usah, ketika kita Sebagai seorang ustadz, sebagai seorang guru, mengatakan bermula, maka secara otomatis akan ada kesimpulan dari murid2 kita, oh ini mubtada, alasanya belakangan. Itu hebatnya penerjemahan jawa. Itu hebatnya penerjemahan pakai kode i'rob. Oleh sebab itu harus ditegaskan tingkat kesuksesan pondok pesantren, Saya ulangi, saya bertanggung jawab ini tingkat kesuksesan Pondok pesantren dalam konteks menjadikan anak faham nahwu shorof, itu lebih besar daripada pendidikan formal. Kalau gak percaya disurvei. Tingkat keberhasilan pondok pesantren itu lebih bagus daripada pendidikan formal. Padahal dari aspek dana fasilitas macem2 itu minim. Salah satu yang kita lirik kenapa? mungkin dari aspek KODE PENERJEMAHAN, yang secara otomatis, murid2 kita, santri2 kita, peserta didik kita, langsung menyimpulkan o ini maf'ul bih. Kenapa? karena ustadz saya sedang membacanya dengan? kode akan. Karena ustadz saya membacanya dengan kode ADALAH ini adalah khobar. 

زيد عاذر من اعتذر

Ketika kita menyebutkan
Zaidun bermula zaid
'adzirun adalah orang yang memberi maaf
man (akan orang) 
i'tadzaro (meminta maaf, siapa? man)

Kalau misalnya ada pertanyaan, terkait dengan contoh ini kenapa kok kemudian man dijadikan sebagai maf'ul bih? Man ini dijadikan maf'ul bih dari kata yang mana? dari adzirun, ustadz adzirun itu adalah isim, kenapa kok isim? karena realitasnya ditanwin disini. ISIM kok PUNYA maf'ul bih? 
itulah yang pada akhirnya, terpaksa kita harus berkenalan dengan konsep? 
الاسماء العاملة عمل الفعل

Isim2 yang berpengamalan sebagaimana fi'ilnya. Kenapa kok disebut sebagai berpengamalan sebagaimana fi'ilnya? Karena pada akhirnya isim ini punya
  • fa'il
  • naibul fa'il
  • maf'ul bih

Seperti yang sering kita tegaskan, secara umum al asma' al 'amilah amalal fi'li itu dibagi menjadi dua.  Nah di buku saya ini sudah saya tulis kesimpulan, penting buku ini. Kalau kemudian tingkat pemula sudah sudah bisa, buku berikutnya adalah metode al bidayah teori dasar ilmu nahwu dan shorof tingkat lanjut. Penting untuk menjadi pintu masuk, menjadi jembatan. Saya tidak akan menggantikan posisi jurmiyah, tidak akan menggantikan posisi misalnya mutammimah, tidak akan menggantikan posisi misalnya alfiyyah ibnu malik, misalnya, Apa yang kita tulis tidak lain hanya sekedar jembatan. Yang kalau sudah dilewati ya ditinggal (filosofi jembatan). Nanti temen2 itu kita harapkan mengkaji kitab induk langsung, mungkin alfiyyah ibnu malik, mungkin ibnu 'aqil, mungkin Qodhil Qudhoot, mungkin misalnya hudhori, dan seterusnya itu yang kita harapkan. Itu penting untuk kemudian para pemula ini dikenalkan pada konsep2 yang mungkin diperkenalkan dengan konsep2 yang tertulis dalam bahasa Indonesia, karena pada akhirnya ketergantungan pada ustadz itu tidak terlalu kuat. Jadi ada unsur otodidaknya. 

Secara umum itu dibedakan menjadi dua, ada yang masuk ke dalam isim sifat, ada yang masuk ke dalam mashdar dan isim mashdar. 

Untuk yang termasuk dalam isim sifat itu persyaratanya adalah

وَوَلِيَ اسْتِفْهَامًا أَوْ حَرْفَ نِدَا -- أَوْ نَفْيًا أَوْ جَاصِفَةً أَوْ مُسْنَادَا

Untuk yang masuk dalam kategori mashdar itu persyaratanya adalahْ

بِفِعْلِهِ الْمَصْدَرَ أَلْحِقْ فِي الْعَمَلْ -- مُضَافًا أَوْ مُجَرَّدًا أَوْ مَعَ أل
إِنْ كَانَ فِعْلٌ مَعَ أَنْ أَوْ مَا يَحُلْ -- مَحَلَّهُ وَلِاسْمِ مَصْدَرٍ عَمَل

Jadi memang persyaratanya beda, kenapa kok kemudian kita bedakan. Kesimpulanya adalah dibagi menjadi dua itu. Untuk 'adzirun disini yang memenuhi persyaratan, adzirun itu berarti isim fail, termasuk dalam kategori isim sifat, dia bisa beramal kalau memenuhi persyaratan?

وَوَلِيَ اسْتِفْهَامًا أَوْ حَرْفَ نِدَا -- أَوْ نَفْيًا أَوْ جَاصِفَةً أَوْ مُسْنَادَا

Dalam konteks persyaratan di atas adalah menjadi khobar (musnada). Karena 'adzirun disini berasal dari fi'il muta'addi, karena fi'il muta'addi itu ketika beramal butuh maf'ul bih, Maka...

زيد عاذر من اعتذر
Man di atas adalah maf'ulun bihi dari 'adzirun. Itu maksudnya seperti itu
Zaidun (bermula zaid)
adalah
'Adzirun (Adalah orang yang memberi maaf)
Man (akan orang)
I'tadzaro yang meminta maaf siapa?
Man. 

Jadi kalau seandainya kita tentukan
Zaidun sebagai mubtada
'adzirun ditentukan sebagai khobar. 



Bait Nadzom 114
وأول مبتدأ والثاني ... فاعل اغنى في أسارٍ ذان

Apa yang kedua?? (bait nadzom berikutnya? )
wa awwalun mubtada-un wats sanii
fa'ilun aghna fi asaarin dzaani

وأول مبتدأ والثاني
Wa Awwalun bermula yang pertama
Adalah mubtada-un (ditentukan sebagai mubtada)
watsaani
Sedangkan bermula yang kedua
adalah

فاعل اغنى في أسارٍ ذان
Fa'ilun ditentukan sebagai fa'il
Aghnaa (menjadi na'at dari fa'ilun)
yang mencukupi apa? fa'il
mencukupi dalam konteks apa? mencukupi maksudnya dia tidak lagi butuh khobar. Yang pertama ditentukan sebagai mubtada, yang kedua ditentukan sebagai fa'il? sadda maa saddal khobar dalam contoh?
fiii ( dalam contoh)
A (adakah)
Saarin
(orang yang berjalan pada waktu malam)
siapa?? fa'il dari saarin
dzaani (dua orang laki2 itu)
Perhatikan....
Ada realitas tidak bisa kita tolak itu, bahwa yang namanya mubtada dalam dua bait ini. Itu dijelaskan bahwa mubtada itu ada dua. 

Ada yang mubtada lahu khobarun contohnya adalah
زيد عاذر من اعتذر
Ada yang mubtada lahu marfu'un sadda maa saddal khobar
Maksudnya yang pertama mubtada, berikutnya fa'il. Ada mubtada punya fa'il, ini kan aneh. Mubtada itu ya punya khobar, ini gak? mubtada tapi punya fa'il. Contohnya seperti apa?

أسارٍ ذان
A (adakah)
Saarin (orang yang berjalan pada waktu malam)
siapa? 
Dzaani (dua orang laki2)

haadzaani,

Mana mubtada-nya? Saarin, loh mubtada kok diwoco jer ustadz? Perhatikan kata2 saarin

saarin ini asalnya adalah 
السارى - سرى
Isim failnya as sariyu asalnya begitu. Ini adalah membentuk isim manqush, kenapa kok membentuk isim manqush? Huruf sebelum akhir itu adalah berharokat kasroh. Sedangkan huruf terakhir ini berupa ya lazimah. Bagaimana kalau seandainya ini adalah dalam kategori isim manqush? tentunya dalam konteks isim manqush kita diberi pelajaran bahwa ketika isim manqush itu tertulis tanpa AL, ketika tidak dimudhofkan, ketika dia tidak berkedudukan nashob, maka huruf terakhir yang berupa ya lazimah itu harus dihilangkan. inilah alasan kenapa? kok tulisanya adalah 

A Saarin
ro di Saarin ini bukan huruf yang terakhir. Huruf yang terakhir adalah ya lazimah yang terbuang. Kenapa ya lazimah ini terbuang? karena saarin yang merupakan isim manqush tertulis tanpa AL tertulis tidak dimudhofkan, tertulis tidak berkedudukan nashob, otomatis isim manqush itu ya lazimahnya akan terbuang. Kasroh disitu bukan huruf akhir, huruf akhirnya adalah terbuang, berupa ya lazimahnya itu terbuang. kenapa kok terbuang karena sarin ini asalnya adala as saariyu. Berarti kalau as saariyu harokat sebelum akhir itu adalah kasroh, berarti ini sudah memenuhi persyaratan, untuk kemudian disebut sebagai? isim manqush. Bagaimana kalau seandainya isim manqush? kalau seandainya tertulis tanpa AL, tidak dimudhofkan dan tidak berkedudukan nashob, maka ya lazimahnya dibuang, sehingga A Saariyun menjadi? a saarin. A adakah, Saarin bermula orang yang berjalan, pada waktu malam, siapa? dzaani (dua orang laki2 ini). 
Jadi saarin itu mubtada, tapi punya fa'il? inilah kemudian yang disebut sebagai fa'ilun agna, kalau dalam konteks yang lain fa'ilun sadda maa saddal khobar. Fa'ilun agna itu.. dalam bahasa lain, dalam bahasa yang sangat terkenal adalah fa'ilun atau marfu'un sadda maa saddal khobar. 

Ada mubtada lahu marfu'un ( memiliki isim yang dibaca rofa')
sadda yang menempati (apa? isim yang dibaca rofa)
masaddal khobar (yang ditempati khobar)
Yang dalam tataran selanjutnya disebut dengan fa'il atau naibul fa'il. 


مبتدأ زيد وعاذر خبر ... إن قلت زيد عاذر من اعتذر

وأول مبتدأ والثاني ... فاعل اغنى في أسارٍ ذان


Jadi dalam dua bait di atas, bercerita bahwa bahwa kategorisasi mubtada itu ada dua. Yaitu:
Mubtada yang lahu khobarun
Mubtada yang lahu marfu'un sadda maa saddal khobar. 

Mubtada lahu khobarun adalah mubtada yang memiliki khobar, sedangkan mubtada lahu marfu'un adalah mubtada yang memiliki isim yang dibaca rofa', yang menempati posisi khobar. 

Contoh untuk mubtada yang memiliki khobar itu adalah 
 زيد عاذر 
Sedangkan contoh mubtada yang memiliki fa'il yang sadda maa saddal khobar, adalah
 أسارٍ ذان
Saarin disini ditentukan sebagai mubtada' dzani disini ditentukan sebagai fa'il. Loh ustadz, ini mubtada kok tapi punya fa'il? kok gak punya khobar? 
ya memang mubtada sejak awal dibagi menjadi dua, ada yang disebut sebagai mubtada 
  • lahu khobarun
  • lahu marfu'un sadda maa saddal khobar. 
Mubtada yang lahu marfu'un sadda maa saddal khobar itu biasa disebut sebagai mubtada sifat. Perhatikan, a saarin ini disebut sebagai mubtada sifat. Karena demikian, tidak mungkin panjenengan menemukan mubtada yang lahu marfu'un sadda maa saddal khobar, kecuali dia berupa isim sifat. Kalau sudah berupa isim alam zaidun amarun dan seterusnya, fa'ilun atau marfu'un sadda maa saddal khobar. Mesti berupa isim sifat. Contohnya A saarin, sarin ini adalah isim fa'il, berarti isim sifat dia. Saarin ini adalah isim fa'il, gak mungkin mubtada shifat itu terbuat dari selain isim sifat. Pasti berupa isim sifat. 
A saarin dzaani

A adakah
Saarin bermula orang yang berjalan pada waktu malam
siapa?
dzaani dua orang laki2 ini. Jadi dzani disini dijadikan sebagai? fa'il. Kok ditentukan sebagai fa'il ustadz? iya.... jadi pilihanya antara fa'il dan naibul fa'il. Tergantung kepada apakah shighotnya itu isim fa'il atau isim maf'ul. 

A Naashirun
A adakah
Naashirun (bermula orang yang menolong)
siapa?
Ahmadu (fa'il)


Contoh yang lain
A Adakah
Manshurun (bermula orang yang ditolong)
siapa?
Ahmadu (naibul fa'il)

Bagaimanakah secara konseptual kita bisa menentukan bahwa yang jatuh setelah mubtada itu fa'il atau naibul fa'il? bagaimana kita pastikan itu?

Yaitu ketika mubtada sifatnya adalah isim fa'il, maka isim fa'il ini sama dengan isim ma'lum, maka dia punya? fa'il. Jika yang ada itu adalah isim maf'ul, maka isim maf'ul itu pengamalanya sama dengan isim majhul, maka yang dibaca rofa' itu adalah naibul fail. Kenapa yang menjadi isim rofa' yang mengikuti mubtada adalah fa'il atau naibul fail. Karena isim shifat yang jadi mubtada itu memiliki shighot yang berbeda. Karena isim fa'il, maka pengamalanya sama persis dengan fi'il ma'lum, maka dia punya fa'il. Karena manshurun itu mengikuti wazan maf'ulun, karena maf'ulun maka dia adalah isim maf'ul. Karena isim maf'ul maka dia adalah sama dengan fi'il majhul. Karena isim majhul, dia memiliki naibul fail. 

Kenapa ahmadu kok dibaca rofa'? iya karena jadi fa'il, fa'il darimana? fa'il dari naashirun. Ini lagi2, kita tidak bisa kalau tidak bersentuhan dengan konsep? al asma al amilah amalal fi'li. Jadi saya tegaskan, konsep2 dimana kemudian kita memahami itu, karena analisis teks itu sangat banyak. Itu harus kita kenalkan kepada murid2 kita. Itulah alasan kenapa kok dalam buku2 kami, meskipun itu untuk yang pemula, itu konsep al asma al amilah amalal fi'li itu kita kenalkan. Saya termasuk orang yang memiliki pandangan, tidak ada materi sulit. Sekali lagi, tidak ada materi sulit, kalau itu dijelaskan secara sitematis. Tidak ada materi sulit kalau seandainya itu dijelaskan secara sistematis. Materi itu menjadi sulit, karena dijelaskanya tidak sistematis. Kalau misalnya kepingin menjelaskan al asma al amilah amalal fi'li misalnya, ya harus ngerti, apa itu isim sifat, kalau temen2 kita itu masih belum ngerti apa itu isim fa'il, apa itu isim maf'ul, apa itu sifatun musyabahatun bismil fa'il, apakah itu isim mansub dan seterusnya, belum paham tentang itu ya akhirnya akan ada lompatan berfikir. 

Lompatan berfikir inilah yang pada akhirnya adanya kesimpulan dari peserta didik kita, bahwa materi ini sulit dan tidak bisa difahami. Kenapa? karena ada lompatan berfikir. Tapi kalau materi itu dijelaskan secara sistematis meskipun, masih kecil akan paham dia. Oleh sebab itu seperti yang sering saya katakan, yang diurung dari metode Al bidayah adalah SISTEMATISASI bukan simplifikasi. Bagaimana mengupayakan yang namanya materi ilmu nahwu shorof itu diajarkan secara sistematis, materi prasyarat harus di dahulukan. Materi2 yang untuk masuk materi inti itu harus dijelaskan terlebih dahulu. Baru nanti materi intinya dijelaskan. Insyaalloh, kalau konsepnya seperti itu, murid kita tidak akan lama mengalami kesulitan. Bahkan akan ada kesimpulan bahwa materi ini akan sangat mudah untuk ditundukkan. Kenapa? karena dijelaskanya secara sitematis. 

Ada kode bermula, tapi punya siapa? berarti mubtada itu punya marfu'un sadda masaddal khobar. Punya isim yang dibaca rofa' yang menempati posisi khobar. 



Bait Nadzom 115

وقس وكاستفهامٍ النفي وقد ... يجوز نحو فائز أولو الرشد

وقس وكاستفهامٍ النفي وقد
wa qis, dan mengqiyaskanlah siapa? kamu (pada contoh)
wa kastifhaamin (dan adalah seperti istifham)
an nafyu bermula nafi. tidak harus istifham saja, tapi nafi juga boleh. 


يجوز نحو فائز أولو الرشد
bahkan waqod yajuzu dan terkadang boleh, apa? 
nahwu faizun ululr rosyad. 
Faizun ulur rosyad, dianggap sebagai contoh mubtada yang memiliki fa'il


berasal dari qoosa yaqiisu. 
قاس - يقيس

قس - fi'il amr

mengqiyaskanlah, yang serupa denganya serupa dengan asaarin dzaani
wa kastifhaamin (dan adalah seperti istifham) - khobar muqoddam disini
mana mubtada nya? 
an nafyu bermula naafi

misalnya: maa qoimun muhammadun

Dalam konteks mubtada shifat, dalam konteks mubtada yang memiliki fail, yang memiliki naibul fail, atau secara umum dalam konteks mubtada yang memiliki marfu'un sadda maa saddal khobar, yang dalam konteks ini disebut sebagai fa'ilun agna.. jadi didahului oleh nafi itu adalah persyaratan, di dahului istifham itu adalah persyaratan. Secara umum begitu. Wa qod yajuuzu (dan terkadang boleh) qod kalau seandainya masuk ke dalam fi'il mudhore', itu memiliki fungsi taqlil, artinya terkadang. 

Dan terkadang boleh, tidak didahului oleh Naafi atau istifham seperti contoh...
 فائز أولو الرشد

Faizun (bermula orang yang beruntung)
siapa? uluur rosyad (orang yang memiliki petunjuk)
Faizun adalah isim fa'il, Ulur Rosyad, bukan uli, berarti disini dhilalatul lafdzi, petunjuk lafadz, ini karena mulhaq bi jam'i mudzakkaris salim, ada uluu ada ulil, ulil abshor misalnya. uluu ini adalah mulhaq bi jam'i mudzakkaris salim, karena tidak memiliki bentuk mufrod. Ini dhilalatul lafdzi, pakai wawu itu adalah menunjukkan rofa'. Rofa'nya jadi apa? jadi fa'il, fa'il darimana? dari mubtada faizun. Loh faizun jadi mubtada, iya... mubtada apa namanya? mubtada sifat, karena kebetulan berupa isim fa'il, fa'ilun. Tapi tidak didahului oleh maa, tidak didahului oleh istifham? 

boleh juga... ada ulama yang memperbolehkan, meskipun misalnya mubtada sifat itu tidak didahului oleh nafi, meskipun misalnya tidak didahului oleh istifham. Itu ada ulama yang memperbolehkan. Kata2 faizun ulur rosyad, itu tetep diterjemahkan atau dii'robi
faizun ditentukan sebagai mubtada, ulur rosyad ditentukan sebagai fa'il. Meskipun tidak didahului hamzah istifham dulu atau tidak didahului oleh nafi dulu. Tapi yang umum itu didahului oleh istifham, yang umum itu didahului oleh nafi. 

Semoga bermanfaat


Comments