Skip to main content

Kajian Alfiyyah 1 | Metode Al Bidayah | Kh. Abdul Haris Jember | Bait 1-2


Setiap hari jum'at dan sabtu, kita akan mengistiqomahkan untuk mengkaji nadzom alfiyyah. Kita akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengungkap analisis murod dan seterusnya dibalik nadzom2 alfiyyah. Akan tetapi bagaimanapun juga, yang namanya manusia punya KETERBATASAN2. Jadi bisa jadi lepas dari analisis, upayakan waktunya satu jam, setengah delapan nanti kita berakhir. Diupayakan itu setiap kali pertemuan itu menadzomkan nadzom alfiyyah, sehingga sampeyan memungkinkan untuk sambil menghafalkan. Karena kalau seandainya didalami, ya agak berat juga untuk kemudian mendalami, alfiyyah. Butuh refferensi yang cukup luar biasa, kalau kita mau serius tidak hanya hafal, tapi faham.

Jadi kita mohon do'a kepada pemirsa juga, agar kita diberi kekuatan untuk istiqomah, karena lagi2 harus saya tegaskan, kata kunci dari belajar itu kata kuncinya adalah ISTIQOMAH. Kalau kita sudah istiqomah kemungkinanya kita akan berhasil, kalau seandainya tidak istiqomah, sulit untuk kemudian berhasil. Sekarang kita baca nadzom bait dulu, sama2..


قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ ابْنُ مَالِكِ      أَحْمَدُ رَبِّي اللهَ خَيْرَ مَالِكِ

مُصَلِّياً عَلَى النَّبيِّ الْمُصْطفَى      وآلِهِ المُسْتكْمِلِينَ الشَّرَفَا

وَأَسْتعِينُ اللهَ فِي ألْفِيَّهْ      مَقَاصِدُ النَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ

تُقَرِّبُ الأقْصى بِلَفْظٍ مُوجَزِ      وَتَبْسُطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ

وَتَقْتَضي رِضاً بِغَيرِ سُخْطِ        فَائِقَةً ألْفِيَّةَ ابْنِ مُعْطِي



Bait Alfiyah 1


قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ ابْنُ مَالِكِ      أَحْمَدُ رَبِّي اللهَ خَيْرَ مَالِكِ

qola (telah berkata)
siapa? yang berkata? fa'il dari qola -KODE Fa'il
Muhammadun (Muhammad)
huwa (bermula muhammad) - dijadikan MUBTADA
KHOBAR dari huwa
adalah -KODE KHOBAR
ibnu maaliki (anak laki2 dari malik)


Maqulul Qouli

Maqulul Qouli, atau maqulu qoulin, merupakan istilah Objek dari fi'il Qola - bisa disederhanakan disebut sebagai isi pembicaraan. Setiap kita mengucapkan qoola, pasti ada maqulul qouli. Mana maqulul qouli? isi dari ucapan qola itu yang mana? 

أَحْمَدُ رَبِّي اللهَ خَيْرَ مَالِكِ
ahmadu robbillaaha khoiru maaliki


Jadi maqulul qouli, atau maf'ul bih dari qola adalah ahmadu. 
ahmadu (muji, sopo? insun)
ahmadu (memuji siapa? saya) - Siapa? KODE SUBJEK
maf'ul bih dari ahmadu? 


حمد - يحمد
حمد -  نحمد
حمد - أحمد - pakai hamzah mudhoro'ah, artinya saya
حمد - يحمد


Maf'ul bih dari ahmadu?
robbii (akan tuhan saya) - AKAN Kode Objek
rupanya? KODE BADAL
Alloha (Gusti Alloh)

Cuplikan Video bisa kalian saksikan disini, temen2.. 



Lafadz Khoiro Maaliki

Kaidah na'at dan man'ut itu mesti ada muthobaqoh, kesesuian baik itu 

  • Nakiroh Ma'rifah nya
  • Mudzakkar Muannatsnya
  • Mufrod Tatsniyah Jama'nya


Perhatikan....

 أَحْمَدُ رَبِّي اللهَ خَيْرَ مَالِكِ

Ada lafadz khoiro maliki, yang karakternya beda dengan robbiy

  • Robbiy adalah isim ma'rifat
  • Alloh juga isim Ma'rifat. 

Tapi khoiro maliki itu BUKAN merupakan isim ma'rifat. 

Karena demikian tidak bisa ini kita jadikan sebagai na'at, YANG paling baiknya pemilik, atau YANG sebaik2 pemilik. 

YANG - KODE Na'at

Jadi akhirnya, ANALISIS itu menjadi sangat penting, untuk misalnya mendeteksi, ini isim ma'rifat, atau ini isim nakiroh. Tawaranya para ulama apa ustadz? tentang khoiro maliki

  • Memungkinkan ditentukan sebagai hal. 
  • Memungkinkan ditentukan sebagai isim yang dibaca nashob, dengan membuang fi'il. Amdahu

khoiro maaliki dalam kedaan sebaik2 pemilik. 

dalam keadaan - KODE HAL

Cuplikan Video bisa kalian saksikan disini, temen2.. 



Tentang Fi'il Maadhi - QOLA

قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ ابْنُ مَالِكِ      أَحْمَدُ رَبِّي اللهَ خَيْرَ مَالِكِ

Mungkin kalau seandainya tidak kita fikirkan, tidak kita renungkan mungkin bahasa bait satu ini tidak masalah. Tapi kalau seandainya kita lihat, ini ada masalah, kenapa kok ada masalah? qola dengan menggunakan fi'il maadhi

Padahal ketika baru menulis ini, ibnu malik itu belum sama sekali menyelesaikan seribu bait. Asumsinya ketika qola ditulis pertama, seharusnya seribu bait itu sudah selesai. 

Kenapa kok tidak yaquulu? (sedang/akan berkata)

Jadi kalau seandainya kita fikirkan, ternyata ADA MASALAH. Kenapa kok pakai qola, kenapa kok pakai fi'il madhi misalnya, kok tidak pakai yaqulu (akan berkata). Ini dibahas secara panjang lebar juga oleh para ulama. 

Ada istilah auqi'al madhi, mauqi'al istiqbal (mustaqbal). 

أوقع الماضى موقع المستقبل

أوقع الماضى موقع الإستقبال

Menempatkan fi'il madhi, pada isyarat tempat/waktu istiqbal

Cuplikan Video bisa kalian saksikan disini, temen2.. 


Kenapa ini kok menjadi penting untuk ditegaskan? karena kenyataan seperti ini ada di dalam Al Qur-an. 


أَتَىٰۤ أَمۡرُ ٱللَّهِ فَلَا تَسۡتَعۡجِلُوهُۚ سُبۡحَـٰنَهُۥ وَتَعَـٰلَىٰ عَمَّا یُشۡرِكُونَ

أتى - يأتي - إتيانا

Kalau seandainya kita menggunakan 

ataa fi'il madhi, harusnya telah datang. 

Amrulloh (urusan Alloh). Amrullohi maksudnya As saa'ah (hari kiamat). 


Sampai sekarang belum ada hari kiamat....., kenapa kok kemudian dengan menggunakan fi'il maadhi? Apa fungsi kalau seandainya sesuatu belum terjadi, tapi kita menggunakan fi'il madhi? Inilah yang kemudian dipakai oleh Imam Ibnu Malik misalnya, kenapa kok pakai qoola, kok tidak yaquulu misalnya. 


Itu sama persis dengan...... dibandingkan oleh para ulama, dengan ayat

أَتَىٰۤ أَمۡرُ ٱللَّهِ

Tidak ya-ti amrullohi, tapi ataa amrullohi

(Surat An Nahl: 1)

أوقع الماضى موقع الاستقبل

Menempatkan fi'il madhi, pada tempat istiqbal. 

Cuplikan Video bisa kalian saksikan disini, temen2.. 


Kenapa? alasanya kalau yang saya lihat istilahnya beda2, tetapi maksudnya sama. 

تحقق الحصول 

مظنون الوقوع 

تحقق الوقوع

Jadi kita memungkinkan menggunakan fi'il madhi, untuk zaman yang akan datang, kalau seandainya kita yakin bahwa, yang terjadi di masa yang akan datang itu tahaqququl hushul (bahasa sederhananya adalah, diyakini mampu kita lakukan). 

أَتَىٰۤ أَمۡرُ ٱللَّهِ

Bagi orang beriman, as sa-ah, itu pasti terjadi bagi orang yang beriman. Kita percaya pada itu, bagian dari hal yang ghoib yang kita percaya pada itu. 

Cuplikan Video bisa kalian saksikan disini, temen2.. 


  • tahaqququl hushuul
  • madznuunul wuquuq
  • tahaqququl wuquuq (sesuatu yang nyata2 pada akhirnya akan terjadi).

Meskipun belum terjadi. Jadi memungkinkan konteks istiqbal, itu menggunakan fi'il maadhi, itu memungkinkan APABILA itu adalah tahaqququl hushul, apabila madzhnunul wuquq, apabila tahaququl wuqu'. Jadi apabila panjenengan ditanya, kenapa kok kemudian pakai fi'il madhi? Padahal Imam Ibnu Malik itu pada waktu menuliskan qoola itu belum sama sekali menulis yang seribu bait itu, belum. Kalau seandainya ditanya kenapa kok pakai fi'il madhi? alasanya adalah 

تحقق الحصول 

مظنون الوقوع 

تحقق الوقوع

Jadi ini yang saya katakan, penting. Ngaji alfiyah ini penting. Kalau bisa fanatik. Karena saya kemudian mencoba untuk mengelaborasi, sejauh yang saya mampu. 

Cuplikan Video bisa kalian saksikan disini, temen2.. 



Lafadz IBNUN

قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ ابْنُ مَالِكِ      أَحْمَدُ رَبِّي اللهَ خَيْرَ مَالِكِ

Saya sekarang berbicara tentang lafadz Ibnun. Ibnun termasuk  dalam kategori lafadz yang dikomentari oleh para ulama karena asalnya ini, haknya dia adalah na'tan (dijadikan sebagai na'at). 


Yang biasa/umum itu.. 

قال محمد بن مالك


bukan 

قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ ابْنُ مَالِكِ

yang umum begitu, Jadi tidak pakai huwa. Seperti yang kita sering tegaskan, bahwa kalau lafadz IBNUN ini kita tentukan sebagai na'at, diapit oleh dua 'alamiyah (isim nama), Muhammad dan Maalik, misalnya. Kalau misalnya huwa ini dibuang (pembahasanya begitu). Karena ibnun dan ibnatun itu kalau seandainya 
  • dia diapit oleh dua isim 'alam, 
  • dan tidak dimaksudkan susunan jumlah ismiyah, 
maka disitu kedudukan i'robnya, semua ulama yang kita baca, di Jami'ud durus al 'arobiyah. itu itu ditegaskan washfan SEBAGAI NA'AT, ini dipersiapkan sebagai Na'at. 
Yasudah ini dipersiapkan sebagai na'at, dan dimudhofkan. 
Yasudah kita anggap sebagai na'at saja. 



Ini termasuk dalam kategori perkecualian, kata ghoiru, itu kan juga begitu. 

Jadi konsep dasarnya kalau yang namanya na'at itu harus terbuat dari isim sifat, tapi kalau seandainya ada informasi dari para ulama, bahwa ibnun itu menempati isim musytaq, meskipun itu jamid, yasudah pokoknya kalau seandainya itu bertemu lafadz ibnun, 
  • dan diapit oleh dua isim alam, 
  • dan disitu tidak dimaksudkan sebagai susunan jumlah mubtada khobar (jumlah ismiyah)
maka disitu langsung ditentukan sebagai na'at. Ini bisa dicek di jami'ud durus al arobiyah dan lain lain. 

قال محمد ابن مالك

Apa konsekuensinya kalau seandainya huwa itu dibuang, kalau seandainya ibnun itu diapit oleh dua isim alam, dan kemudian, disitu tidak dimaksudkan jumlah mubtada khobar (jumlah ismiyah) 
  • disamping hamzahnya ini dibuang, 
  • juga disini tidak boleh ditanwin ( pada lafadz muhammadun). 

Ini yang penting yang tidak pernah saya informasikan. 
Muhammadun itu kalau seandainya tidak ada huwa, itu langsung, 
qoola muhammadubnu maaliki. 
Ini tidak ditanwin, kalau seandainya bacaanya seperti itu. Bukan dibaca qola muhammadunibni
tapi
qola muhammadubnu maaliki


Isim 'alam yang awalnya ditanwin, terus yang jatuh sesudahnya adalah lafadz ibnun, dan ibnun itu diapit oleh dua isim alam, maka konsekuensinya ada dua, 
  • yang pertama hamzahnya itu dibuang, 
  • yang kedua itu adalah tanwin pada isim alam sebelumnya itu dibuang. 
Ini menjadi penting untuk menjadi catatan. Jadi pertimbangan sampeyan itu akhirnya, ada kaidah yang mengatakan begitu. Konsekuensi dari ibnun ketika diapit oleh dua isim alam, tidak dimaksudkan jumlah mubtada khobar, maka disamping dia itu dimudhofkan pada kata selanjutnya, hamzahnya dibuang, dan tanwin yang jatuh sebelumnya itu, tanwin dari isim alam yang jatuh sebelumnya itu harus dibuang. Sehingga bacaanya langsung, qoola muhammadubnu maaliki

Ada wacana itu, pada saat kita membahas tentang bait ini. 


Karena memang ibnun ini dimaksudkan untuk na'at, maka para ulama mengganggapnya ini bukan sebagai hal. Konsekuensi huwa ibnu maaliki yang jatuh setelah isim ma'rifat muhammadun, Ketika kita menemukan jumlah yang jatuh setelah isim ma'rifat, maka itu ditentukan sebagai halul jumlah yang berkedudukan sebagai nashob. Ini tidak seperti itu, ini para ulama umumnya mengatakan ini adalah jumlatun mu'taridhotun (Jumlah sisipan). 

Itu kemudian yang perlu ditegaskan. Pokoknya yang paling penting sampeyan terus saja menghafal, kalau seandainya menghafal. Saya sendiri tidak hafal. Nanti kalau seandainya sampeyan mengalami kesulitan memahami bait2nya, nah itu kita bantu analisisnya. Eman2, ada yang masih golden age, yang kalau seandainya hafalan itu iso ceket. Mari kita seriusi, belajar ini. 




TANDA TANWIN

قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ ابْنُ مَالِكِ      أَحْمَدُ رَبِّي اللهَ خَيْرَ مَالِكِ

Ada masalah disitu, kalau seandainya sampeyan mau lebih detail. Malik kok tidak ditanwin, maalikin? Ada masalah disitu. Saya kepingin, kita yang pemula, membaca ini itu masalah, dan butuh penjelasan secara ilmiyah. Ya kalau kita mengatakan, qoola muhammadun huwa ibnu maliki tidak ada masalah. Tidak mentanwin kata2 malikin, itu tidak ada masalah, ya biasa saja. Padahal sebuah isim tidak ditanwin kalau? 
  • Harus ada AL nya
  • Harus karena dia itu isim ghoiru munshorif
  • Harus dimudhofkan
  • Harus dalam konteks mabni. 

Maliki ini bukan isim ghoiru munshorif. Maliki ini tidak ada AL nya. Malik ini tidak dimudhofkan. dan bukan termasuk dalam kategori isim mabni. Tapi kenapa? kok kemudian tidak ditanwin? Ini kalau sampeyan melacak, ini dalam bab waqof, tapi harus ada tambahan li dhorurotisy syi'ri. Dalam bab waqof, bagaimana mewaqofkan. Tapi harus ada tambahan, li dhorurotisy syi'ri. Karena ada? dhorurot syi'ir, keterpaksaan, yang itu dituntut oleh bait2 nadzom. 



Belajar ADAB

أَحْمَدُ رَبِّي اللهَ خَيْرَ مَالِكِ

Ini adalah jumlah, ini menjadi maqulul qouli dari fi'il qola. 
Ahmadu disini adalah fi'il + fa'il
robbiiy disini adalah manshubun 'alat ta'dzim. Jangan dianggap sebagai maf'ulun bihi.  Tapi manshubun 'alat ta'dzim. Ketika yang dibaca nashob itu adalah Lafadz Alloh. Ketika yang dibaca nashob itu adalah Robbiy. Tuhan saya, Tuhan panjenengan, Tuhan kita, maka tidak boleh disebut sebagai maf'ul bih, akan tetapi manshubun alat ta'dzim. Karena demikian, muroatul adab itu sangat penting. Ini masalah ta'adduban, masalah etika. Kata2 Robbiy, karena jatuh setelah fi'il muta'addi, kalau bukan kata2 Robbiy ini atas nama maf'ul bih. Kalau bukan atas nama lafadz Alloh, itu namanya adalah maf'ul bih. Tapi kalau seandainya Robbiy, kalau seandainya Lafadz Alloh, itu bukan maf'ulun bihi, tapi manshubun 'alat ta'dzim. Karena demikian menjadi penting, orang2 yang berilmu harus beradab. Bahkan dalam kasus2 tertentu, kita menemukan data sejarah, adab sangat diperhatikan, bahkan kadang itu sampai menabrak hal2 yang sifatnya furu'iyah. 

Dijelaskan di dalam banyak kitab, yang kita baca misalnya di dalam kitab Tahqiqul mathlab

تحقيق المطلب بتعريف مصطلح المذهب 
(مذهب الإمام الشافعي)

Tempat khutbahnya Nabi itu ada tiga tingkatan. Ini masalah Adab, ya kalau kita mengikuti Nabi ya harusnya ada ditingkatan yang disitu ditempati oleh Gusti Kanjeng Nabi. Ya kalau kita mengikuti Nabi ya harusnya ada pada tingkatan yang disitu ditempati oleh Gusti Kanjeng Nabi. Tapi apa yang terjadi? Abu Bakar, ketika menjadi kholifah, dan harus berkhutbah itu tidak menempati tingkat ketiga, tapi menempati tingkat kedua. Muroatul adab (peduli, memperhatikan etika). Tapi Abu Bakar ketika menjadi kholifah, tidak berani di tingkat ketiga. Harusnya kalau kita ibarotun ya di tingkat ketiga saja. Bagaimana Umar, Umar tidak berani disini (di tempat Abu Bakar), melainkan Umar itu di tingkat pertama. Nyata, ada refferensinya. Di dalam kitab tahqiqul mathlab, itu ada. Muroatul adab, itu bahkan harus diperhitungkan, harus didahulukan, dalam konteks hukum yang sifatnya furu'iyah seperti itu. Jadi panjenengan kalau jadi ilmuwan, yang namanya etika, yang namanya sopan santun, yang namanya adab, itu harus didahulukan. Bahkan dari hukum yang sifatnya furu', misalnya begitu. 

Di dalam kitab itu juga dijelaskan bahwa, Imam Asy Syafi'i, itu ketika harus berziarah ke makamnya Abu Hanifah, imam Asy Syafi'i memiliki pandangan bahwa yang namanya Qunut, pada waktu sholat shubuh, itu adalah sunnat ab'ad. Yang kalau seandainya ditinggalkan, itu pakai sujud sahwi. Tapi apa yang terjadi? yang terjadi adalah ketika ada di lokasi maqbaroh, Imam Asy Syafi'i tidak pakai qunut. Para Ulama kemudian memberikan pandangan, kenapa kok kemudian seperti itu, lebih disebabkan karena hukum bisa jadi terjadi perbedaan pendapat. Tapi kalau masalah adab, itu mesti mutafaq alaih. Ini sopan, ini tidak sopan. Oleh sebab itu, saya tegaskan kepada panjenengan. Kalau seandainya panjenengan misalnya berilmu, kata2 sopan santun, kata2 etika, itu menjadi sangat penting, untuk kemudian diperhatikan.  

Di dalam ayat Al Quran ada kata2 begini misalnya. Wa idza maridtu, fahuwa yasyfiini. Apabila saya sakit, Alloh yang menyembuhkan saya. Siapa yang menyakitkan orang? yang buat sakit siapa? ya Alloh. Paham maksud saya? yang menyembuhkan Alloh, yang membuat sakit apa kita? ta adduban kepada Alloh. Ketika hal2 itu menurut pandangan manusia itu adalah negatif, itu dinisbahkan kepada kita. Dan ketika itu sifatnya positif, itu dinisbahkan kepada Alloh. Wa idza maridhtu, fahuwa yasyfiini. 

Jadi penting saya tegaskan dalam konteks ini, kita mengambil ahmadu robbillaha khoiro maliki. Ahmadu, memuji siapa? saya. Robbiiy akan Tuhan saya, (rupanya) Alloha, Gusti Alloh. Khoiro Maaliki, Gusti Alloh itu adalah Khoiro Maaliki. 



A'roful Ma'arif

Maaliki disini tidak memungkinkan disamakan dengan lafadz Alloh, tidak memungkinkan disamakan dengan lafadz Robb, karena Alloh dan Robb merupakan isim ma'rifat, sedangkan Maaliki merupakan isim Nakiroh. Seperti kemarin yang pernah kita jelaskan, bahwa lafadz Alloh itu adalah a'roful ma'arif (paling ma'rifatnya isim ma'rifat). Khoiro maaliki bagaimanapun juga, harus difahami bahwasanya lafadz ini  merupakan isim nakiroh. Karena dia dimudhofkan bukan pada isim ma'rifat. 

Robb disini substansinya adalah maf'ul bih, tapi disini disebutkan manshubun 'alat ta'dzim, dibaca nashob, alat ta'dzim. Bukan disebut sebagai maf'ul bih. 

Ahmadu memuji siapa? saya
Robby akan Tuhan saya, 
Kenapa Ustadz? kok tidak Robba? ini adalah al mudhof ila ya-il mutakallim. Kalau seandainya Al Mudhof ila ya-il mutakallim, wilayahnya adalah taqdiri. Inilah pentinya misalnya, pentingnya tentang anwa-ul i'rob (jenis2 dari i'rob). I'rob itu ada yang
  • Lafdzi
  • Taqdiri
  • Mahalli
Lafdzi maksudnya disitu ada perubahan i'rob, dan ada tanda i'robnya, serta tanda i'robnya memungkinkan untuk kemudian dideteksi secara kasat mata. 

Taqdiri maksudnya sebenarnya ada tanda i'rob, tapi karena alasan2 tertentu, maka tanda i'robnya menjadi tidak bisa dilihat. Kapan itu terjadi? apa bila yang kita i'robi secara umum adalah 
Isim Manqush
Isim Maqshur
dan Al Mudhof ilal yaa-i mutakallim

Robbiy termasuk dalam kategori Al Mudhof ilal yaa-il mutakallim. Karena demikian, wilayahnya disini adalah wilayah taqdiri. Fathah yang ada pada robby disini adalah muqoddarotan. 

Ini yang harus saya tekankan kepada panjenengan, kalau panjenengan punya ilmu, maka merunduklah sampeyan. Kalau seandainya dikit2 nyalahkan orang, dikit2 nyalahkan orang. Berpendapatlah seperti ulama2 dulu,  

Ro-yii shohihun yahtamilul khotho'
wa Ro-yu ghoiri khotho-un yahtamilus showab.

Ro-yii pendapatku, adalah shohihun benar. Tapi yahtamilul khotho' mengandung kemungkinan salah. Karena atas nama pendapat manusia. 
Wa ro-yu ghoiri khotho-un, pendapat selainku adalah salah. Tapi yahtamilus showab, mengandung kemungkinan benar. Jangan memonopoli kebenaran, kalau seandainya itu mukhtalaf fihi ( ada perbedaan pendapat di dalamnya). Kalau kita menyadari disitu ada perbedaan pendapat, yang kemudian tidak mungkin diselesaikan oleh kita, karena itu masuk dalam kategori mukhtalaf fih. Karena disitu dalilnya adalah dzonniyun dilalalah, yasudah, sehingga kita bisa fokus pada ekonomi ummat, pada kesejahteraan ummat.  Jadi energi kita tidak habis, untuk bagaimana memaksakan pendapat kita kepada orang lain yang sifatnya mukhtalaf fih. 

Ahmadu Robbillaha khoiro Maaliki. 

Lafadz Alloh jadi apa ustadz? Memungkinkan ditentukan sebagai badal, memungkinkan juga ditentukan sebagai athful bayan. Posisinya itu sama, Robbi itu adalah Alloh, Alloh itu adalah Robbi. Seperti yang sering saya katakan, bahwa sebuah lafadz, bisa dan memungkinkan kita tentukan sebagai badal, ketika lafadz itu adalah 
  • sejenis dengan mubdal minhu nya, 
  • merupakan sebagian dari mubdal minhu nya
  • atau lafadz itu merupakan sesuatu yang terkandung dalam mubdal minhunya. 
Baru kemudian itu memungkinkan untuk ditentukan sebagai BADAL. Lafadz Alloh sama persis dengan Robbi, Robbi adalah Alloh, Alloh adalah Robbi. Meskipun ketika kita tentukan lafadz Alloh sebagai badal, maka disitu adalah al maqsud bil hukmi. Yang dimaksud itu adalah lafadz Allohnya. Ketika Athof BAYAN, yang substansi adalah Robbi nya. Al Maqsud bil Hukmi dalam athof bayan yaitu adalah matbu' nya (lafadz yang diikutinya).  Al Maqsud bil hukmi dalam konteks badal, itu adalah tabi'nya. 

Al Maqsud bil Hukmi kalau dalam konteks badal, adalah tabi'nya. 
Al Maqsud bil Hukmi dalam konteks ATHOF bayan adalah matbu'nya

Antara Robbi dan Alloh posisinya sama, bisa ditentukan sebagai athof bayan, memungkinkan juga ditentukan sebagai badal. Badal yang dimaksud kalau seandainya kita ngomong athof bayan adalah badal yang kul min kul. Kesetaraan athof bayan dan Badal itu adalah ketika badalnya adalah kul min kul. Bukan ba'dun min kul, bukan isytimal, kalau itu tidak masuk dalam kategori athof bayan. Athof bayan itu adalah seperti yang saya katakan pada panjenengan semuanya, adalah tabi'un jamidun, yusybihun na'ta, menyerupai na'at. Kalau seandainya kita menemui kata

من ماء صديد

Shodid itu artinya nanah, bukan isim shifat. Mengapa kok sepertinya na'at man'ut, bukan na'at man'ut ini. Ini athof bayan namanya. Tabi'un jaamidun. Kalau dalam teori dasar kan jelas, kalau dalam buku2 kita, athof bayan kapan terjadi? 
  • Al Laqob ba'dal ismi, kalau seandainya ada laqob jatuh setelah isim, Aliyun Zainul Abidin, itu namanya athof bayan. 
  • Al Ismu ba'dal Kunyah, kunyah itu apa? Kunyah itu adalah lafadz yang didahului abun dan ummun. Abu Hafsin Umaru, umaru disini jadi athof bayan. Kenapa? Umaru itu isim yang jatuh setelah Abu Hafsin yang merupakan kunyah. 
  • Kemudian adz dzohir ba'da isyaroti. Apabila ada isim dzohir yang jatuh setelah isim isyaroh. Haadzat tilmidzu jamiilun
  • Apalagi? Al Maushuf ba'dah shifah. Kalau ada maushuf, yang disifati man'ut, ba'da shifah, jatuh setelah na'atnya. Jadi justru dibalik. 
  • Ja-a Al Mahiru Muhammadun, itu namanya maushuf ba'da shifah.  Awalnya adalah ja-a muhammadun al maahiru, menjadi ja-a al mahiru muhammadun. Itu namanya al maushuf ba'da shifah. 
  • At Tafsir Ba'da Mufassar. 

Jadi ada lima posisi, kapan kita menentukan athof bayan. Athof bayan itu apa? pengathofan yang tidak menggunakan huruf athof. 

Khoiro Maliki, kenapa ini kok dibaca Maliki? , ini tidak memungkinkan untuk disamakan dengan Robbilaaha, karena Maaliki disini statusnya adalah isim nakiroh. Robbi dimudhofkan kepada ya mutakallim, ini namanya isim ma'rifat, lafadz Alloh, juga a'roful ma'arif. Jadi Robbi dan Alloh disini adalah merupakan isim ma'rifat. Khoiro maliki tidak memungkina dijadikan sebagai na'at dari Robbillah. Yang memungkinkan ini ditentukan sebagai hal. Atau dibaca nashob dengan pembuangan fi'il amdahu. Yang kemarin yang sederhana, A'ni khoiro maaliki





Bait Alfiyah 2


مُصَلِّياً عَلَى النَّبيِّ الْمُصْطفَى      وآلِهِ المُسْتكْمِلِينَ الشَّرَفَا

Dalam nadzom, itu juga kita kenal Alif. Yang penting sampeyan paham, meskipun para pemula. Yang kita sasar itu dalam konteks ini adalah para pemula. Tapi, setidak-tidaknya faham. Alif yang ada pada lafadz Syarofa, itu adalah

Aliful Isyba'
ada juga yang mengatakan Aliful Ithlaq

Alif yang ada pada lafadz syarofa, asalnya begini

الشرف
menjadi maf'ul bih, dari mustakmilina. Tapi ada alifnya disini, 

الشرفا
Ini namanya kalau seandainya ditulis begini, itu adalah aliful isyba'. Agar sama dengan Al Musthofa, untuk menyesuaikan dengan bait2 nadzom disini. Maka agar keduanya sama, didatangkan alif disini, alif yang ada di nadzom ini namanya adalah aliful isyba', atau ada yang menyebut aliful ithlaq. Jadi jangan kemudian itu dianggap sebagai alif tatsniayah. 

misalnya lagi, 

الحمد لله الذي قد وفقا

وفقا 

waffaqo disitu merupakan aliful isyba', jangan kemudian ditashrif, 
waffaqo waffaqoo waffaquu 

Tidak sama sekali itu menunjukkan isim tatsniyah meskipun, disini ada fi'il ada alifnya. Ada aliful isyba' aliful ithlaq, itu sama posisinya. Di dalam syarah, banyak juga yang menjelaskan, ini kalau dibaca syurofa juga bisa. Kalau syurofa, ini berarti bentuk jamak dari syarifun syurofaa. 

الشُرَفَاء - dijadikan na'at dari Aali. Boleh jika dianggap demikian juga. 

Musholliyan, kalau seandainya kita ngerti shighot. Hale moco sholawat, sinten? Ibnu Malik, (dalam keadaan membaca sholawat), siapa? Ibnu Malik 

Alan nabiyi ing ngatase kanjeng Nabi, (atas Gusti Kanjeng Nabi)

Al Musthofa (yang dipilih)
apa hanya pada Gusti Kanjeng Nabi? 
tidak, wa aalihi, dan atas keluarganya Gusti Kanjeng Nabi, al mustakmiliina yang menyempurnakan, siapa? 
menyempurnakan? akan 
asy syarofa (akan .... ) kalau dibaca asy syarofa menjadi maf'ul bih. 
Kalau dibaca asy syurofa menjadi na'at, maf'ul bihnya? dibuang.

أنواء الفضاءل

misalnya. 


wa aalihi (dan keluarganya Gusti Kanjeng Nabi)
al mustakmiliina (yang menyempurnakan)
menyempurnakan? asy syarofa ( akan kemuliaan)

Dalam konteks Musholliyan ada diskusi. Apa maksudnya diskusi? disini? kenapa ya? kok tidak ada taslim disini? Musholliyan wa musalliman, karena di dalam al quran begitu, shollu 'alaihi wa sallimu, ada diskusi juga, dipermasalahkan. Kenapa kok kyai mushonnif tidak menyertakan wa musallima. Itu ada diskusi juga, yang paling penting ada penyadaran. Ada yang menghukumi tidak makruh, hanya mengucapkan sholawat saja, tidak mengucapkan salam kepada Gusti Kanjeng Nabi. Yang baik itu adalah disamping kita mengucapkan sholawat, juga mengucapkan salam. Jadi Allohumma Sholli wa Sallim, yang enak itu begitu. Jumhur yang menganjurkan itu disamping kita bersholawat juga bersalam, karena di dalam Al Quran begitu, 

إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَـٰۤىِٕكَتَهُۥ یُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِیِّۚ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ صَلُّوا۟ عَلَیۡهِ وَسَلِّمُوا۟ تَسۡلِیمًا


Karena demikian, kalau bersholawat yang lengkap. Itu ada diskusi semacam itu. Ini adalah pintu masuk, untuk kemudian kita faham, hukum bersholawat tanpa salam. Ada ikhtilaf, ada yang mengatakan tidak makruh, ada yang mengatakan makruh. Yang paling penting, ini adalah pintu masuk untuk menambah pemahaman kita, bahwa disamping kita harus bersholawat, kita harus bersalam.

Musholliyan Alan nabiyil mushtofa 
Musholliyan dalam keadaan bersholawat. 

Pentingnya mengenal shighot
Musholliyan

fa huwa mushollin. 
ٍفهو مصل

Inilah yang kemudian kita sebut sebagai tanwinul iwadh. Ini masuk dalam kategori isim manqush. Apabila tertulis tanpa AL, tidak dimudhofkan, dan tidak berkedudukan nashob, harus dibuang ya lazimahnya. Karena disini (di dalam bait ini berkedudukan nashob, karena menjadi hal, maka disini harus di tulis. 

Saya minta kepada temen2 fanatik, karena saya sedang serius mengkaji itu. Oleh2 yang kemudian saya tulis, atau saya analisis, bisa di dengar oleh sampeyan. Kalau seandainya sampeyan membaca dewe, agak kesulitan. Jadi ada perdebatan, jadi misalnya memungkinkan dibaca syarofa, memungkinkan dibaca syurofa, kenapa kok ada alifnya, alif apa itu? Lah kita kalau gak ngaji, gak ngerti mungkin bahwa itu adalah aliful isyba'. Itu adalah aliful ithlaq. Pokoknya setiap jum'at sabtu, itu akan kita kaji masalah ini. Mungkin itu yang bisa saya sampaikan, kurang lebihnya mohon maaf. 

Wabillahit taufiq wal hidayah
Wassalamu'alaikum warohmatullohi wa barokatuh. 





Comments