Skip to main content

KH. Abdul Haris Jember | Pembelajaran Nahwu Shorof 10 | Naibul Fa'il

 
Assalamu’alaikum warohmatullohi wa barokatuh
Bismillah
Alhamdulillah


Washsholatu wassalamu ‘ala Rosulillah sayyidinaa Muhammadin wa’ala alihi wa shohbihi wa man wa laahu.

Robbisy rohlii shodri, wa yassirly amri, wahlul uqdatan min lisaani, yafqohuu qouli..




Amma ba’du


Pada kesempatan siang hari ini kita melanjutkan kajian kita tentang problematika pembelajaran kitab kuning, ini adalah kegiatan yang ke sepuluh pertemuan yang lalu kita sudah sampai pada pembahasan tentang fa'il jadi kita sudah tatbiq, sudah mencoba melakukan aplikasi, menganalisis teks2 yang ada. Seperti yang saya tegaskan, bahwa tahapan aplikasi itu memungkinkan bisa kita amalkan apabila tahapan dan amalan kita tentang nahwu shorof sudah bagus, mufrodat kita sudah banyak. 


Kalau kita masih belum hafal nahwu shorofnya, maka tidak memungkinkan sebenarnya untuk melakukan tahapan aplikasi. Meskipun tahapan aplikasi yang akan kita lakukan itu, adalah per bab Kemarin kita sudah masuk pada fa'il. Seperti yang kemarin kita tegaskan, yang dimaksud dengan fa'il itu  adalah isim yang dibaca rofa', yang jatuh setelah fi'il mabni ma'lum, atau diserupakan dengan fi'il mabni ma'lum. 

Definisi menjadi penting untuk terus dikritisi, karena apa? karena ini akan memunculkan materi prasyarat. Kalau definisi dari fa'il itu adalah isim yang dibaca rofa' setelah fi'il mabni ma'lum, atau yang diserupakan dengan fi'il mabni ma'lum, berarti sebelum kita belajar tentang fa'il, kita murid2 kita, peserta didik harus dipahamkan tentang konsep fi'il ma'lum dan fi'il majhul. Itu penting... urung ngerti kajian tentang fi'il ma'lum majhul, langsung masuk kajian tentang fa'il. 

Masio yo opo yo opo ora kiro faham...


Jadi fa'il itu isim yang jatuh setelah fi'il ma'lum,  maka fi'il ma'lum itu menjadi materi prasyarat untuk masuk kajian tentang fa'il. Sekarang kita masuk pada pembahasan tentang naibul fa'il. Selalu saya tegaskan, untuk menguasai sebuah konsep/ sebuah bab dalam ilmu nahwu, yang penting (untuk diketahui) adalah ta'rif. Opo definisi dari naibul fa'il? apa definisi dari mubtada, apa definisi dari khobar, apa definisi dari .. dst.  Ta'rifnya kudu ngerti disek. Kalau seandainya memungkinkan, nanti aqsamnya (pembagianya). Setelah itu baru al amtsilah contoh2nya itu apa? Ini aja contohnya, karena ternyata kalau kita masuk pada teks itu tidak terlalu berat2 amat. 

Naibul Fa'il
Apa yang dimaksud dengan naibul fa'il? 
Isim yang dibaca rofa' setelah fi'il yang mabni majhul, atau diserupakan dengan fi'il yang mabni majhul. 

Misalnya seperti lafadz

كتب الدرس
kutiba (den tulis)
opo?
nun fa disini (artinya naibul fa'il)
ad darsu (pelajaran)

Kenapa ini kok kemudian disebut sebagai naibul fa'il? 



Ceritanya adalah.. awalnya kutiba ad darsu itu adalah
كتب محمد الدرس
kataba (wis nulis)
sopo sing nulis?
fa'il...
sopo? muhammadun
ad darsa (ing pelajaran)
sebagai maf'ul bih


Disini pakai fi'il ma'lum? kenapa kok pakai fi'il ma'lum? karena cara bacanya tidak diikutkan pada kaidah majhul. Tidak diikutkan pada kaidah dhumma awwaluhu wa kussiro maa qoblal akhir.  Setelah kataba itu diubah, dari ma'lum, kemudian di majhulkan..diikutkan pada kaidah dhumma awwaluhu wa kussiro maa qoblal akhir, sehingga menjadi kutiba misalnya, Perubahan dari ma'lum ke majhul itu ternyata memiliki konsekuensi, memiliki pengaruh ada akibatnya. Apa itu akibatnya? muhammadun disini sebagai fa'il, itu harus dibuang.  Ketika sebuah fi'il itu diubah, dari ma'lum menjadi majhul, konsekuensinya adalah fa'ilnya itu harus dibuang. Padahal yang namanya fa'il itu adalah subjek. Fa'il itu adalah musnad ilaih, kalau dalam bahasa yang lebih umum. Semua kalimat itu tidak mungkin disebut sebagai kalimat kalau seandainya tidak ada subjeknya. Kalimat itu tidak akan menjadi kalimat kalau tidak ada subjeknya. Subjek yang ada dalam jumlah fi'il itu harus dibuang kenapa kok harus dibuang? karena ada perubahan fi'il dari ma'lum menjadi majhul.
 

Kan tidak mungkin kalau seandainya tidak ada fa'ilnya tidak mungkin kan? Sebuah jumlah tidak mungkin kalau tidak ada fa'ilnya. Kenapa disini kok tidak ada fa'ilnya? disini tidak ada fa'ilnya lebih disebabkan karena harus dibuang fa'ilnya, kenapa harus dibuang? akibat dari perubahan, dari fi'il ma'lum menjadi fi'il majhul. Inilah alasan, ad darsa sebagai maf'ul bih ini kemudian digeser, fa'il yang sebagai subjek itu dibuang, padahal fa'il itu sebagai subjek, Keberadaan sebuah subjek di dalam sebuah kalimat itu HARUS. Karena ini dibuang, akibat dimajhulkanya sebuah fi'il ma'lum, maka yang dibuang ini harus ada yang menggantikan. Fa'il yang dibuang itu harus ada yang menggantikan.
Ad darsa sebagai maf'ul bih 
awalnya itu, karena bergeser, menempati posisi fa'il, maka ad darsa disini disebut sebagai pengganti dari fa'il


Pengganti dari fa'il itu kalau dalam bahasa arabnya disebut sebagai naibul fa'il


Jadi cerita kenapa naibul fa'il itu disebut sebagai naibul fa'il? 
Pengganti dari fa'il itu awalnya itu wajar2 saja.
كتب محمد الدرس

Kataba muhammadun ad darsa (awalnya seperti itu). Fi'ilnya dengan menggunakan fi'il ma'lum (aktif) tidak diikutkan dengan kaidah dhumma awwaluhu wa kussiro maa qoblal akhir.  Akan tetapi ini diubah dari fa'il menjadi majhul, ketika ada perubahan dari fi'il ma'lum menjadi fi'il majhul, ada konsekuensi, ada akibat, ada pengaruhnya, apa pengaruhnya? fa'il yang sebagai subjek disini, fa'il yang sebagai musnad ilaih disini,  harus dibuang, padahal subjek itu keberadaanya dalam sebuah kalimat itu wajib. Inilah alasan, kenapa kok kemudian maf'ul ini digeser, harus ada yang menggantikan fa'il ini yang kemudian dibuang maf'ul bih disini, yang awalnya dibaca nashob ini, kemudian digeser, harus menggantikan posisi fa'il yang dibuang yang kemudian dalam tataran selanjutnya disebut sebagai naibul fa'il. Pada awalnya yang berhak menempati posisi fa'il itu adalah maf'ul bih. Oleh sebab itu tidak mungkin kalau fi'ilnya itu tidak muta'addi. Yang memungkinkan untuk kemudian dimajhulkan, yang memungkinkan kemudian untuk dimajhulkan yang memungkinkan fi'ilnya itu adalah fi'il muta'addi.

Kenapa? karena ketika fi'ilnya itu adalah fi'il lazim misalnya, 
قام محمد 
misalnya, diubah menjadi Qiima misalnya, maka konsekuensinya subjeknya dibuang. Maka pada saat subjeknya dibuang, itu tidak ada yang digeser untuk menggantikan fa'il yang dibuang. Kenapa? karena dia tidak memiliki maf'ul bih. Ini perlu ditegaskan, Bahwa awalnya yang menempati posisi dari fa'il itu itu adalah maf'ul bih. Karena demikian, tidak memungkinkan kalau seandainya fi'il itu tidak muta'addi, dimajhulkan, kenapa? karena kalau fi'ilnya lazim kemudian fa'ilnya harus dibuang akibat dimajhulkan, maka yang menggantikan posisi fa'il yang dibuang itu tidak ada. Inilah alasan, kenapa kok kemudian ada semacam ketegasan, bahwa yang memungkinkan untuk dimajhulkan itu adalah fi'il muta'addi. Lebih disebabkan, karena kalau fi'ilnya itu adalah fi'il muta'addi, 
misalnya

شرح محمد الدرس
كتب محمد الرسالة

Kalau seandainya muhammadun sebagai fa'il ini kemudian dibuang, akibat syaroha dan kataba itu dari ma'lum menjadi majhul, 
menjadi syuriha, menjadi kutiba

Posisi muhammadun yang sebagai fa'il, subjek, posisi muhammadun yang sebagai musnad ilaih. Posisi muhammadun yang sebagai subjek itu, kalau dibuang, pada akhirnya akan ada yang menggantikan. Yaitu adalah maf'ul bih. 


Jadi kalau seandainya ditanya ceritanya, kenapa ustadz? kok disebut dengan naibul fa'il? Ceritanya awalnya susunan jumlah fi'liyah itu wajar2 saja, fi'il, fa'il, maf'ul bih. Fi'ilnya ma'lum, tidak diikutkan pada kaidah majhul. Setelah itu yang namanya fi'il ma'lum itu diubah, diubah menjadi majhul. Akibat dari perubahan itu ada dampak ada pengaruh, ada akibatnya... Apa pengaruhnya? fa'il yang sebagai subjek ini harus dibuang. Padahal keberadaanya fa'il ini wajib ada di dalam sebuah kalimat. Kalimat itu tidak memungkinkan disebut sebagai kalimat, kalau seandainya tidak ada subjeknya. Yang namanya kalimat itu ya SPOK, SP yang paling penting, ini subjeknya tidak ada, tidak mungkin disebut sebagai kalimat. Ini subjeknya harus dibuang, kenapa harus dibuang? karena perubahan fi'il dari ma'lum menjadi majhul. Karena dibuang harus ada yang menggantikan. Yang menggantikan siapa? yang menggantikan itu adalah maf'ul bih. Inilah alasan, kenapa maf'ul bih itu kok berubah nama menjadi naibul fa'il. 

Jadi naibul fa'il itu apa? naibul fa'il itu adalah isim yang dibaca rofa', yang jatuh setelah fi'il yang mabni majhul, atau yang diserupakan dengan fi'il yang mabni majhul. Contoh misalnya

Kutiba Ad darsu

كتب الدرس

Ad darsu adalah naibul fa'il. Kutiba itu adalah fi'il ad darsu itu adalah isim. Identifikasi terlebih dahulu. Setelah selesai melakukan identifikasi, bagaimana bertanya tentang fi'il? bagaimana bertanya tentang isim? itu sudah paten itu. 

Karena kutiba itu adalah fi'il maka pertanyaanya selanjutnya adalah
apakah fi'il kutiba ini termasuk dalam madhi mudhore' atau amar
yang ketdua apakah termasuk dalam kategori mabni atau mu'rob. 
yang ketiga apakah termasuk dalam kategori ma'lum atau majhul?
yang keempat apakah termasuk dalam kategori lazim atau muta'addi?

Empat pertanyaan yang tidak boleh ditinggal, ketika kita melakukan analisis teks. Menjadi bermasalah apabila, apa itu fi'il madhi, apa itu fi'il mudhore' apa itu fi'il amr, gak faham. Menjadi bermasalah apabila, apa itu fi'il mabni, apa itu fi'il mu'rob? tidak faham. 
Menjadi bermasalah apabila, tentang ma'lum dan majhul itu tidak faham
Menjadi bermasalah apabila, tentang lazim dan muta'addi itu tidak faham

Setelah kita pastikan kutiba itu masuk dalam kategori fi'il, itu termasuk dalam kategori madhi mudhore' atau amr? TERMASUK dalam kategori fi'il madhi. Karena madhi, ini mesti mutlak mabni. MABNI nya ini adalah alal fathi. Kenapa kok alal fathi? lebih disebabkan karena kutiba yang merupakan alal fathi itu tidak bertemu dengan dhomir rofa' mutaharrik dan wawu jamak. Jadi alasanya, kenapa kok kemudian dibaca kutiba dengan fathah, lebih disebabkan karena kutiba ini adalah fi'il. Fi'ilnya ini fi'il madhi, karena fi'il madhi mutlak mabni, mabninya disini alal fathi. Lebih disebabkan karena kutiba disini tidak bertemu dengan dhomir rofa' mutaharrik dan wawu jamak. 

Selanjutnya, kutiba ini termasuk dalam kategori ma'lum atau majhul? Ini kira2 apa ini? majhul. Seperti penegasan2 yang kita jelaskan dalam pertemuan kemarin2 itu, bahwa fi'il itu disebut sebagai ma'lum atau majhul itu tergantung bagaimana melafadzkan. Kaf ta- ba- ini memungkinkan dibaca kataba, memungkinkan dibaca kutiba. Kapan harus kita eksekusi? harus dibaca kataba? atau harus dibaca kutiba? Tergantung pada tuntutan murod, tergantung maksud yang dikehendaki itu seperti apa? Kira2 lek pelajaran itu ditulis? apa menulis? kira2? Pelajaran itu ditulis atau menulis? jelas DITULIS. Karena pemahaman menuntut ini harus dipasifkan, yang namanya pelajaran itu ya ditulis, bukan menulis. Kalau menulis ya orang. Muhammad menulis pelajaran misalnya. Maka pelajaran itu pasti DITULIS. Pertimbangan dan analisis seperti inilah yang kemudian harus kita putuskan, harus kita jadikan sebagai standar, bahwa yang namanya kutiba, yang tidak berharokat itu harus dibaca dengan kaidah

Dhumma awwaluhu wa kussiro maa qoblal akhir, karena apa? karena tuntutan murod. Yang dikehendaki oleh maksud itu ya ini, pelajaran itu ditulis, bukan menulis. Karena kutiba itu dimajhulkan, dibaca dengan kaidah dhumma awwaluhu wa kussiro maa qoblal akhir, maka konsekuensinya adalah kalimat isim yang jatuh sesudahnya, dalam hal ini adalah ad darsu, itu ditentukan sebagai naibul fa'il. Naibul fa'il harus dibaca rofa'. Coba sekarang, siapa yang maju ini?

coba danial..

Sekarang kita akan praktek tentang naibul fa'il. Contohnya adalah kutiba ad darsu. Hayo dijawab danial.. Kutiba itu isim fi'il atau huruf? 
Fi'il, karena kutiba adalah fi'il maka pertanyaan selanjutnya itu bagaimana kira2? danial?
yang pertama madhi mudhore' amar. 
yang kedua mabni mu'rob
yang ketiga ma'lum majhul
yang keempat lazim atau muta'addi.

Sehingga sampeyan kalau bertemu dengan fi'il, pertanyaan wajib yang harus dikembangkan adalah itu. Kira2 kutiba itu termasuk dalam kategori fi'il madhi mudhore' atau amar? Fi'il madhi. Karena fi'il madhi, itu kira2 termasuk dalam kategori yang mabni atau yang mu'rob itu? Mutlak mabni, mabninya alal apa itu? alal fathi. Kenapa disebut dengan alal fathi? karena tidak bertemu dengan dhomir mutaharik dan wawu jamak.  Jadi ini kenapa dibaca kutiba, tidak kutibuu misalnya karena lebih disebabkan karena kutiba itu adalah fi'il madhi, karena fi'il madhi mutlak mabni, mabninya disitu alal fathi, lebih disebabkan karena disitu itu tidak bertemu dengan dhomir rofa' mutaharrik dan wawu jamak. Kira2 kutiba itu masuk dalam kategori ma'lum atau majhul? majhul, kenapa kok majhul itu? Karena diikutkan dengan kaidah majhul. Apa kaidah majhul? Dhumma awwaluhu wa kussiro maa qoblal akhir. Apa maksudnya? dhumma awwaluhu wa kussiro maa qoblal akhir? Di dhommah awalnya dan dikasroh huruf sebelum akhir. Kira2 ad darsu itu isim fi'il atau huruf? Isim, kenapa kok isim? karena ada ciri2 isim. Karena isim pertanyaan selanjutnya bagaimana? dibaca rofa' nashob atau jar. Kira2 untuk ad darsu itu dibaca rofa' nashob atau jar danial? dibaca rofa'. Kenapa kok dibaca rofa'? Karena menjadi naibul fa'il. Kenapa yang dipilih kok naibul fa'il? bukan fa'il, bukan mubtada, bukan khobar? 
karena naibul fa'il itu isim yang dibaca rofa' yang jatuh setelah fi'il mabni majhul atau diserupakan dengan fi'il mabni majhul. Karena ad darsu itu adalah isim yang dibaca rofa' yang jatuh setelah fi'il yang mabni majhul. Oleh sebab itu namanya bukan fa'il, akan tetapi naibul fa'il. 

Jadi carana analisisnya itu seperti itu, yang pertama harus diketahui dulu, kira2 ta'rif atau definisinya bagaimana? Setelah itu masuk pada contoh, atau pembagian dan seterusnya.  Ya selanjutnya, coba dihapuskan...

Selanjutnya sekarang, masalah pembagian naibul fa'il. Seperti tadi dikatakan, atau contohnya itu adalah kutiba ad darsu. Atau misalnya lafadznya Dhuribtu. Perhatikan. 
ulima annaka maahirun. Kata2 kutiba, kata2 ulima, dhuriba, itu merupakan fi'il yang mabni majhul. Kenapa kalau fi'il ini mabni majhul? maka bisa dipastikan kalau kalimat isim yang jatuh sesudahnya itu disebut sebagai naibul fa'il

كتب الدرس
ضربت
علم أنك ماهر

Jadi ad darsu ini adalah naibul fa'il, tu - isim dhomir ini adalah naibul fa'il. Annaka maahirun, ini merupakan mashdar muawwal, ini juga menjadi naibul fa'il. Jadi naibul fa'il itu ragamnya banyak. Dalam kondisi normal naibul fa'il itu ada yang berupa isim dzohir. 

كتب الدرس

ada yang berupa isim dhomir
ضربت

ada yang berupa mashdar muawwal

علم أنك ماهر

Apakah naibul fa'il itu berupa isim dzohir, berupa isim dhomir, berupa mashdar muawwal, itu semuanya tetep dalam kelompok yang dibaca rofa'. Inilah pentingnya, seperti yang (pernah) saya katakan. Jangan sampai sampeyan memiliki pemahaman, bahwa i'rob itu, rofa' itu nashob itu, jar itu, selalu ada tanda i'robnya, selalu ada alamatul i'robnya. Jangan sampai memiliki pemahaman seperti itu. Bisa jadi rofa' itu tidak memiliki tanda, lebih disebabkan karena yang berkedudukan rofa' itu yang termasuk dalam kategori i'rob mahalli. Misalnya karena dia termasuk al asma al mabniyah. Misalnya karena jumal, misalnya karena hikayah. Jadi penting untuk kemudian ditegaskan. 

Jadi seperti lafadz ad darsu kebetulan ini jadi naibul fa'il, naibul fa'ilnya berupa isim dzohir, sehingga dhommah disini nampak. Akan tetapi dalam kasus dhuribtu misalnya, jangan memiliki pemahaman bahwa dhommah disini itu merupakan alamatul i'rob. Inilah yang kemudian disebut sebagai harokatul bina'. Bukan harokatul i'rob. Karena apa? yang menjadi naibul fa'il disini adalah isim mabni, isim mabni itu tidak memiliki tanda i'rob, oleh sebab itu masuk dalam kategori mahalli. Pun juga demikian, 


علم أنك ماهر

'ulima den kaweruhi, (diketahui)
na'ibul fa'ilnya? 
opo? 
Annaka Maahirun,
Anna ini merupakan huruf mashdariyah, disamping merupakan huruf nashob, disamping merupakan huruf taukid. Jadi anna itu ada tiga status. Dia disamping huruf taukid, dia juga merupakan huruf nashob, yang memiliki pengamalan tanshibul isma wa tarfa'ul khobar, Yang paling penting dalam konteks kajian kita ini, yang namanya inna ini merupakan huruf mashdariyah. Sehingga kalau seperti itu, maka anna... plus isimnya, plus khobarnya itu semuanya adalah fi takwilil mashdar. Atau kita sebut sebagai mashdar muawwal. Mashdar muawwal itu hukumnya sama persis dengan mashdar shorih (mashdar yang sungguhan). Akan tetapi, karena mashdar muawwal itu pasti mengandung jumlah, maka ini diserupakan dengan i'rob yang mahalli. Sehingga tidak memiliki tanda i'rob. Alamatul i'robnya tidak ada disini. 

Jadi sederhananya adalah yang namanya naibul fa'il itu adalah isim yang dibaca rofa' yang jatuh setelah fi'il mabni majhul, atau yang diserupakan dengan fi'il yang mabni majhul. Naibul fa'il itu dibaca rofa' jatuhnya setelah fi'il yang mabni majhul. Atau diserupakan dengan fi'il mabni majhul. Karena demikian, kalau kita mau mengajari teman2 kita, murid2 kita, peserta didik, tentang naibul fa'il, kuatkan dulu tentang konsep majhul dan ma'lum. Karena isim yang dibaca rofa' setelah fi'il itu bisa jadi fa'il atau bisa jadi naibul fa'il, tergantung pada status kalimat fi'ilnya (yang sebelumnya itu). Kalau seandainya fi'ilnya itu ma'lum maka disebut dengan fa'il, kalau yang sebelumnya adalah majhul maka disebut dengan naibul fa'il. Mungkin itu yang bisa saya sampaikan dalam kajian kali ini, kurang lebihnya mohon maaf, 

wa billahit taufiq wal hidayah
wassalamu 'alaikum warohmatullohi wa barokatuh. 


















 

Comments