Skip to main content

KH. Abdul Haris Jember | Pembelajaran Nahwu Shorof 34 | Maf'ul Mutlak

 

Bismillahirrohmanirrohim

Assalamu’alaikum warohmatullohi wa barokatuh

Bismillah
Alhamdulillah


Washsholatu wassalamu ‘ala Rosulillah sayyidinaa Muhammadin wa’ala alihi wa shohbihi wa man wa laahu.

Robbisy rohlii shodri, wa yassirly amri, wahlul uqdatan min lisaani, yafqohuu qouli..



Amma ba’du


Ini ada penggalan dari ayat Al Quran, surat Al Maidah 115


قال الله إني منزلها عليكم 

فمن يكفر بعد منكم فإني أعذبه عذابا لا أعذبه أحدا من العالمين


Yang nanti jadi fokus kita adalah kata2 adzaban, yang nanti jadi maf'ulun mutlaqun. Seperti yang sering kita tegaskan bahwa ketika kita menganalisis teks arab. Yang pertama kali kita lakukan adalah melakukan identifikasi. Melakukan identifikasi itu maksudnya apa? Mengelompok2 kan kira2 identitas kalimah (kata) yang menyusun sebuah teks (kalimat) apakah termasuk dalam kategori 
  • isim
  • fi'il
  • huruf
Jadi yang pertama kali itu adalah identifikasi. Yang selanjutnya sudah diidentifikasi, sudah diketahui ini isim fi'il atau huruf. 
Yang kedua kira2 hukum i'robnya seperti apa, dan yang ketiga ketika i'robnya sudah diketahui, murod atau pengertian dari teks itu kira2 seperti apa? 

Yang pertema kali kita tegaskan itu adalah man. Man itu memungkinkan ditentukan sebagai 
  • syarat, 
  • maushul,
  • istifham

Kita tegaskan bahwa man disini adalah syarat. Karena syarat, disamping dia membutuhkan fi'il syarat dan jawab syarat, juga ketika man itu adalah syarthiyah, dia memiliki fungsi jazim. Karena demikian fi'il mudhore' yang kebetulan disini mu'rob, 

didahului oleh huruf mudhoro'ah, sehingga ini disebut sebagai fi'il mudhore'. Kebetulan fi'il mudhore' ini tidak bertemu dengan nun taukid dan nun niswah, karena dia hukumnya mu'rob, karena mu'rob maka dia memungkinkan dibaca
  • rofa
  • nashob
  • jazm
Kira2 untuk yakfuru ini dibaca rofa' nashob atau jazm? karena man termasuk dalam kategori jazim, syarat ini masuk dalam kategori jazim, maka fi'il mudhore' disini berhukum majzum, atau dibaca jazm. Inilah alasan kok di dalam al quran itu dibaca sukun. Lebih disebabkan karena man disini adalah man syarthiyah, karena man syarthiyah maka dia memiliki fungsi jazim, menjazmkan fi'il mudhore' yang dimasukinya. Karena kebetulan fi'il mudhore' ini berkategori mu'rob, lebih disebabkan karena tidak bertemu dengan nun taukid dan nun niswah, bisa jadi berhukum rofa' nashob, bisa jadi berhukum jazm. Dalam konteks ini, hukumnya ini adalah jazm. Kenapa? karena dimasuki amil jazm. Amil jazmnya berupa apa? man. Ini analisis sederhananya, seperti yang kita tegaskan, man ketika anggap ini sebagai kalimat isim, setiap kalimat isim yang kita jumpai, pasti memiliki hukum. Kalau tidak dibaca rofa' ya nashob, kalau tidak dibaca nashob, ya jar. Man disini termasuk dibaca rofa' sebagai mubtada. Kemarin ketika kita menjelaskan man ro-a minkum munkaron, itu sudah kita jelaskan. Kok ditentukan sebagai mubtada? ini diulang lagi. Bukankah yang namanya mubtada itu harus terbuat dari isim ma'rifat? misalnya.. oh iya.. konsep awalnya memang begitu, sebuah mubtada' harus terbuat dari isim ma'rifat. Akan tetapi isim nakiroh pun dalam konteks tertentu, yang dalam ilmu nahwu disebut sebagai mushowwighot, ketika ada mushowwighotnya, ketika ada hal2 yang berdampak pada isim nakiroh, menjadi naik tingkat menjadi nakiroh mufidah, maka isim nakiroh pun memungkinkan ditentukan sebagai mubtada. 

Syarat, termasuk dalam kategori hal2 yang akhirnya menjadikan isim nakiroh, bisa naik tingkat menjadi nakiroh mufidah, sehingga memungkinkan ditentukan sebagai mubtada. Karena mubtada maka harus dibaca rofa', kan begitu kan? tanda rofa'nya disini tidak ada, kenapa kok tidak ada? karena termasuk kategori i'rob yang mahalli. Jadi kudu faham itu, i'rob mahalli itu kapan terjadi? i'rob mahalli itu terjadi apabila yang sedang kita i'robi itu termasuk dalam kategori 
  • al asma' al mabniyah
  • jumal
  • hikayah

Karena man disini disebut sebagai syarat, dan syarat disini termasuk dalam kategori mabni, maka ketika kita hukumi i'robnya, ketika menanyakan hukum i'robnya, maka dia pasti tidak memiliki tanda i'rob, lebih disebabkan ini masuk dalam kawasan mahalli. Jadi petanya sudah jelas, wo saya sekarang sedang menghukumi i'rob, lafadz2 yang masuk dalam kategori isim mabni. Sehingga jangan dituntut ada tanda i'robnya, karena pasti tidak ada. 

Mana Khobarnya? Setiap mubtada memang harus ada khobar. Khobar itu ada dua, ada yang masuk dalam kategori khobar mufrod, dan ghoiru mufrod. 
Yang berupa ghoiru mufrod, ada yang berupa jumlah, ada yang berupa syibhul jumlah. Yang berupa jumlah ada yang berupa jumlah fi'liyah ada yang berupa jumlah ismiyah. Yang syibhul jumlah ada yang berupa dzorof, ada yang berupa jar majrur. Disini yang menjadi khobar adalah yakfur, ini adalah jumlah fi'liyah. Saya tegaskan, setiap panjenengan bertemu dengan kalimat fi'il, dimanapun tempatnya, apakah ada di awal, apakah ada di akhir, apakah ada di tengah, fi'il itu pasti mampu membentuk jumlah. Sehingga ketika khobarnya dimulai dari fi'il, pasti itu adalah khobar jumlah. Jumlahnya adalah jumlah fi'liyah. Yakfur + huwa yang tersimpan di dalamnya, yang kembalinya kepada man inilah yang kemudian ditentukan sebagai khobar. Karena yang menjadi khobar termasuk jumlah, khobar itu dibaca apa rek? rofa'. Loh nek kene kok sukun? khobar itu dibaca apa? rofa'. Loh disini kok sukun? Iya, karena yang menjadi khobar bukan semata2 yakfur, tetapi jumlah yang dibentuk oleh yakfur, plus huwa sebagai fa'il, yang terdapat di dalamnya. Karena yang menjadi khobar adalah jumlah, maka masuk dalam kawasan mahalli. Karena masuk dalam kawasan mahalli, maka jangan tanya tanda i'robnya apa? karena pasti tidak ada. 

Fa man (mongko utawi sapane wong)
iku yakfur ( kafir, sopo? man)

Diperhatikan, yang menjadi khobar bukan kata yakfur, tetapi jumlah yang dibentuk oleh yakfur, yang tersimpan, yang mustatir di dalamnya. Sehingga jangan kemudian (bingung) kenapa disini kok dibaca sukun ustadz? katanya khobar? yang menjadi khobar bukan yakfur, yang menjadi khobar adalah jumlah yang terbuat dari yakfur plus huwa yang tersimpan di dalamnya. 



Lafadz Ba'du dan Lafadz Qoblu
Perlu diperhatikan, bahwa lafadz Ba'da dan Qobla, itu adalah lafadz yang memiliki hukum tersendiri.  Yang jelas adalah ba'du dan qoblu itu 
  • Ba'du = Sesudah
  • Qoblu = Sebelum 

Lafadz Ba'du dan Qoblu, dalam bahasa apapun, pasti dimudhofkan. Pasti disandarkan, pasti digabungkan dengan kalimat yang lain, tidak.
Masak ada kata2
Saya sebelum
Sesudah,
mesti ada terusanya, ada sandaranya sesudah makan. Sesudah tidur, sesudah sholat, itu mesti ada terusanya. Oleh sebab itu, lafadz Ba'du dan  Qoblu adalah lafadz yang wajib dimudhofkan. Ketika kenyataanya tidak dimudhofkan, ketika kenyataanya dalam konteks ini adalah yang jatuh sesudahnya adalah jarun wa majrurun, ini pasti bukan mudhof ilaih. Kondisi inilah dalam ilmu nahwu disebut dengan istilah inqitho' anil idhofah. 

Saya ulangi lagi, ba'du dan qoblu adalah lafadz yang wajib dimudhofkan. Dan itu dalam konteks bahasa apapun, memang demikian. Kata2 sebelum, harus ada kelanjutan, kata2 sesudah harus ada kelanjutan. Gak mungkin kata2 sesudah, titik. Mesti ada (lanjutanya) sesudah makan, sesudah tidur, sebelum makan dan seterusnya. Intinya adalah qoblu dan ba'du, yang terjemahanya adalah sebelum dan sesudah, itu adalah lafadz yang wajib dimudhofkan. Ketika realitasnya, tidak ada mudhof ilaihnya, dalam konteks ayat di atas, tidak mungkin minkum ditentukan sebagai mudhof ilaih. Kalau dalam hal ini disebut dengan inqitho' anil idhofah (terputus, dari idhofah). Dan pada saat qoblu dan ba'du, maka dia dimabnikan alad dhommi. Inilah alasan, kenapa di dalam al quran bacaanya adalah fa man yakfur ba'dhu. Kenapa kok didhommah disini? adala inqitho' anil idhofah. Apa maksudnya inqitho' anil idhofah? terputus dari idhofah. Lebih jelasnya lagi bagaimana? mudhof ilaihnya tidak ada. Karena yang jatuh sesudahnya itu adalah huruf jar majrur. Ketika begitu kondisinya, maka ba'du disini adalah dimabnikan alad dhommi. 

  • من بعدِه
  • أما بعدَه - karena ba'du disini ditentukan sebagai dzorof, maka dibaca nashob, pakai fathah. 
  • من بعدُ - ada min disini, tapi tetep dibaca ba'du disini. Karena ba'du disini kalau tidak ada kelanjutanya, disebut sebagai inqitho' anil idhofah. 

Ketika inqitho' anil idhofah, maka ba'da ini harus dimabnikan alad dhommi. Inilah alasan, kenapa di dalam ayat al quran, 
fa man yakfur ba'du minkum. 
bacanya ba'du, tidak ba'da tidak ba'di, kenapa? harus mabniyyun alad dhommi. Kenapa kok mabniyun alad dhommi? karena ba'du disitu kebetulan tidak memiliki mudhof ilaih. Tidak memiliki mudhof ilaih itu di dalam bahasa nahwu disebut inqitho' anil idhofah

Fa man (mongko utawi sapane wong)
iku yakfur ( kafir, sopo? man)
ba'du (ing ndalem sak wuse) 
(turunya hidangan) kalau dalam kontes almaidah
ada daging, ada hidangan macem2, 
kok sik kafir, kok sik gak percoyo ning Gusti Alloh? 

Minkum adalah susunan jar majrur, min ini huruf jar, kum ini adalah majrur, yang berupa isim dhomir. Man itu adalah merupakan syarat, karena syarat dia butuh jawab syarat, disamping juga butuh fi'il syarat yang tadi sudah kita tetapkan, fi'il syaratnya adalah yakfur. Mana jawab syaratnya? 
Jawab syaratnya adalah..
fa inni u'addzibu adzaaban laa u'adzibuhu ahadan minal alamiin.  
Jawab syaratnya ada fa' jawab. Jawab syarat itu memang tidak wajib harus diberi fa. Jawab syarat itu ada yang diberi fa', ada juga yang tidak diberi fa. Akan tetapi dalam konteks ayat ini, almaidah 115. Keberadaan fa dalam ayat ini itu hukumnya wajib. Kenapa? karena jawab syaratnya berupa ismiyah (jumlah ismiyah). 

Gimana nadzomnya? 

ِإِسْمِيَّة طَلَبِيَّةٌ وَبِجَامِدِ -- وَبِمَا وَقَدْ وَبِلَنْ وَبِالتَّنْفِيْس

Karena yang menjadi jawab syarat adalah jumlah ismiyah, keberadaan fa disini adalah wajib. 

Inna
Setelah itu jumlah ismiyah itu didahului oleh inna. Apa saja inna itu kategorinya? 
yang pertama huruf taukid. yang kedua adalah huruf nashob. Dalam konteks huruf nashob ini bahwa inna itu masuk pada jumlah ismiyyah, yang memiliki pengamalan tanshibul isma wa tarfa'ul khobar. Sehingga kita butuh, kira2 isimnya inna itu mana? khobarnya inna itu mana? 

Saya ulangi lagi, ternyata fa inni u'addzibuhu itu menjadi jawab, ternyata jawabnya adalah jumlah ismiyyah. Jumlah ismiyah yang didahului oleh huruf inna. Kenapa kalau inna? kalau inna itu memiliki pengamalan tanshibul isma wa tarfa'ul khobar. Sehingga kita butuh tahu, mana kira2 isimnya inna, dan mana kira2 khobarnya inna. Isimnya inna disini adalah ya mutakallim. 

Ya mutakallim itu kategorinya adalah isim. Memang ya itu banyak kategorinya dalam bahasa arab. Itu bisa dicek di dalam buku2 yang sudah kita tulis ini. Ada ya yang disebut sebagai
  • ya lazimah - ini masuknya pada isim manqush - huruf
  • ya nisbah - ini masuknya pada isim mansub - huruf
  • ya mutakallim - adalah dhommir. (isim dhomir)
Karena isim, maka dia akan berkedudukan rofa' nashob atau jar. Karena dimasuki inna, inna memiliki pengertian / pengamalan tanshibul isma wa tarfa'ul khobar. Maka ya disini berkategori nashob, sebagai isim inna. Jangan ditanyakan tanda nashobnya apa? o tanda nashobnya gak ada ini. Kenapa kok gak ada ini? karena termasuk dalam isim dhomir yang al asma al mabniyah. Karena isim2 yang mabni, wilayah i'robnya adalah mahalli. Karena mahalli, maka jangan ditanya tanda i'robnya apa? karena pasti tidak ada. Kita sudah memberi isimnya inna yang mana? Yang dalam konteksnya fa'il ini, isimnya inna adalah berupa ya mutakallim. Fa inni, maka sesungguhnya Saya (Gusti Alloh maksudnya). Disamping butuh isim, maka juga butuh khobar. Sama karakternya dengan khobar biasa, disamping ada yang disebut khobar mufrod, ada juga disebut dengan khobar ghoiru mufrod. Yang ghoiru mufrod bisa jadi jumlah, bisa jadi syibhul jumlah. 
Yang jumlah bisa jadi fi'liyah, bisa jadi ismiyah.  
Yang dzorof bisa jadi dzorof atau bisa jadi jar majrur. 

Dalam konteks fa inni u'addzibuhu ini yang menjadi dzorof adalah jumlah fi'liyah, yang terdiri dari u'adzibuhu. Adz dzaba - yu'adzibu. 

Hayo bareng2 ditashrif. 

U'adzibuhu itulah yang kemudian yang menjadi khobar dari inna. Karena menjadi khobarnya inna, maka u'addzibuhu (jumlah ini) berkedudukan rofa', karena pengamalanya inna itu adalah tanshibul isma wa tarfa'ul khobar. Karena yang berkedudukan i'rob itu adalah berupa jumlah, maka dia tidak memiliki tanda i'robnya. 

Perubahan akhirn dalam sebuah kalimat itu, ada yang ada tanda i'robnya, ada yang tidak ada tanda i'robnya. 
yang tanda i'robnya muncul, itulah yang kemudian kita sebut sebagai lafdzi
ada yang sebenarnya ada tanda i'robnya, akan tetapi tanda i'robnya tidak bisa dimunculkan karena alasan2 tertentu. Itulah kemudian kita sebut sebagai i'rob taqdiri
ada yang perubahan huruf akhir itu tidak ada tandanya, itulah yang kita sebut sebagai mahalli

Kapan mahalli? kapan taqdiri? kapan lafdzi? nah itu sudah kita jelaskan. Nah kebetulan yang sedang kita hadapi ini i'robnya banyak yang mahalli. 

  • Fa inni (maka sesungguhnya saya)
  • adalah 
  • u'addzibu (menyiksa siapa? saya)
  • hu (akan orang itu) - ini menjadi maf'ul bih. 



Yang penting yang menjadi tujuan kita (fokus belajar kita) adalah kata2 adzaban. 'Adzaban disini adalah mashdar, atau lebih tepatnya disebut sebagai isim mashdar. Yang hurufnya sama persis dengan fi'ilnya. Kalau ditanya tentang maf'ul mutlak... adalah isim yang dibaca nashob, yang terbentuk dari mashdar fi'ilnya. 

Ada mashdar, tepatnya ini (adzaban) adalah isim mashdar, karena ada perbedaan antara isim mashdar dan mashdar. Kenyataanya dibaca nashob, ini adalah ciri2 maf'ul mutlak. Ada fi'il, setelah itu ada mashdar / isim mashdar, yang jenis hurufnya itu serupa. Maka ketika mashdar atau isim mashdar itu dibaca nashob, ini pasti atas nama maf'ul mutlak. Fungsinya apa? nah pertanyaannya begitu kan? adzaban ini memang bener menjadi maf'ul mutlak, fungsinya apa? Kemarin sudah kita jelaskan, fungsi maf'ul mutlak itu ada...
kadang2 berupa taukid, 
kadang2 berupa adad
kadang berupa nau'

Kapan berupa taukid? ketika munakkaron ghoira mudhofin, wa laa maushufin. Berupa isim nakiroh yang tidak dimudhofkan dan juga tidak disifati. 

Kita tetapkan, adzaban kedudukanya adalah maf'ul mutlak, karena itu adalah mashdar, tepatnya adalah isim mashdar yang terbentuk dari fi'ilnya. Mana fi'ilhya? u'adzibu. Adzaban disini adala maf'ul mutlak. Karena maf'ul mutlak, maka dia dibaca nashob (cara bacanya) adzaban. Masalahnya maf'ul mutlak ini apakah dia memiliki fungsi taukid, apakah memiliki fungsi adad? ataukah memiliki fungsi nau', itu tertentu. Yang jelas adalah.. ketika dia memiliki fungsi taukid, harus berupa isim nakiroh dan tidak dimudhofkan, serta tidak disifati. 


'adzaban ini juga berupa isim nakiroh. Kita tetapkan adzaban ini sebagai maf'ul mutlak. Karena itu adalah mashdar, tepatnya dari isim mashdar, yang terbentuk dari fi'ilnya, mana fi'ilnya? u'adzdzibu. 
'adzaban disini adalah maf'ul mutlak, karena maf'ul mutlak maka dia itu dibaca nashob. 

Tapi masalahnya, maf'ul mutlak ini, apakah dia memiliki fungsi
  • taukid
  • adad
  • nau'
itu tergantung. Yang jelas standarnya adalah ketika memiliki fungsi taukid, harus berupa isim nakiroh dan tidak dimudhofkan serta tidak disifati. 


Fa inni (mongko sak temene insun)
u'addzibu (nyikso, sopo? insun)
hu (ing man)
nyikso...
adzaban (kelawan adzab)
dijadikan maf'ul mutlak. 

Kira2 maf'ul mutlak ini fungsinya apa? Kalau dilihat setelahnya, disini ada na'at (na'tul jumlah) na'at yang terbuat dari jumlah. Kaidahnya adalah
SETIAP jumlah, yang jatuh setelah isim nakiroh? MAKA dia dihukumi sebagai na'tul jumlah. Berarti adzaban memang berupa isim nakiroh, tetapi disini disifati. Karena demikian adzaban disini adalah merupakan maf'ul mutlak yang memiliki fungsi nau'. Karena kemarin saya tegaskan, untuk bisa memiliki fungsi nau', 
  • diikutkan pada wazan fi'lah
  • atau dimudhofkan
  • atau disifati
Disini kenyataanya disifati. Begitu kalau seandainya kita coba praktek. 

فمن يكفر بعد منكم فإني أعذبه عذابا لا أعذبه أحدا من العالمين

Laa u'addzibuhu adalah jumlah, jumlahnya adalah jumlah fi'liyah. Jumlah fi'liyah jatuh setelah adzaban. Yang merupakan isim nakiroh, berarti jumlah fi'liyah ini berhukum na'at. Karena 'adzaban dina'ati, maka ketika kita kaitkan dengan fungsi maf'ul mutlak, ini fungsinya bukan fungsi taukid, karena untuk mengikuti fungsi taukid, syaratnya harus
  • Munakkaron
  • Ghoiro Mudhofin
  • wa laa maushufin

'adzaban memang munakkaron, tapi maushufan. Karena demikian disini fungsinya adalah fungsi nau'. Kalau mau disebut sebagai fungsi taukid, yang harus dipenuhi yaitu
munakkaron ghoiro mudhofin wa laa maushufin. 
kalau mengikuti fungsi adad harus mengikuti wazan fa'latan, ditatsniyahkan atau dijamakkan. 
kalau untuk mengikuti fungsi nau', maka dia harus mengikuti wazan fi'lah, atau dina'ati, atau dia dimudhofkan. 

Perhatikan, jadi ini adalah praktek kalau di dalam alquran, adzaban disini, karena kebetulan terdiri dari a'in dzal dan ba. sama dengan fi'il u'addzibu, unsurnya unsur 'ain dzal dan ba.  Adzaban kenyataanya ini dibaca nashob, maka ini adalah contoh di dalam alquran, bahwa disini menjadi maf'ul mutlak. 

Maf'ul mutlak disini fungsinya apa? standarnya ya yang kemarin kita jelaskan. Kalau seandainya munakkaron ghoiro mudhofin wa laa maushufin, berarti taukid. 
seandainya mengikuti wazan fa'latan, ditatsniyahkan atau dijamakkan, ya berarti menunjukkan 'adad. 
seandainya dina'ati, atau dimudhofkan, berarti menunjukkan nau'. 
Karena kenyataanya 'adzaban ini dina'ati oleh jumlah yang jatuh sesudahnya, 

لا أعذبه

maka 'adzaban yang berkedudukan sebagai maf'ul mutlak, fungsinya adalah nau'. 

Mungkin itu yang bisa saya sampaikan, kurang lebihnya mohon maaf
wa billahit taufiq wal hidayah
Wassalamu'alaikum warohmatullohi wa barokatuh. 




Comments