Kemarin kita sudah mencoba mengurai bait yang pertama. Kenapa kok kemudian
- Qola disebutkan dengan fi'il madhi
- Bagaimana Analisis Lafadz Ibnun
- Kenapa Lafadz Malik kok kemudian Tidak ditanwin?
- Kemudian Robbi tidak disebut sebagai maf'ulun bihi. Karena maf'ulun bihi, konotasinya kalah. Maf'ulun bihi itu dalam tanda petik itu negatif. Robbi disebut Manshubun alat ta-dzim. Kenapa Khoiro maliki posisinya kok tidak sama dengan Robbi? Posisinya kok tidak sama dengan lafadz Alloh, itu sudah kita uraikan kemarin.
قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ ابْنُ مَالِكِ أَحْمَدُ رَبِّي اللهَ خَيْرَ مَالِكِ
مُصَلِّياً عَلَى النَّبيِّ الْمُصْطفَى وآلِهِ المُسْتكْمِلِينَ الشَّرَفَا
وَأَسْتعِينُ اللهَ فِي ألْفِيَّهْ مَقَاصِدُ النَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ
تُقَرِّبُ الأقْصى بِلَفْظٍ مُوجَزِ وَتَبْسُطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ
وَتَقْتَضي رِضاً بِغَيرِ سُخْطِ فَائِقَةً ألْفِيَّةَ ابْنِ مُعْطِي
Kita akan mulai lagi dari bait kedua. Sebagaimana sudah saya tegaskan kemarin, para ulama ada yang membaca syurofa, bukan syarofa. Dan yang terkenal adalah Asy Syarofa, bukan Syurofa.
Kalau Syurofa itu adalah bentuk jamak dari Syarifun, Syarifaani, Syurofaa-un. Begitu.
Kata2 Musholliyan sekarang, pentingnya shighot itu disini. Kenapa kita kok harus faham tentang shighot? bahwa musholliyan itu adalah bentuk isim fa'il, Yang kalau diasalkan, itu asalnya dari fi'il maadhi sholla.
فهو مصل
kenapa disini kok dibaca musholliyan?
مُصَلِّياً
Ketika kita mengetahui ada isim sifat,
- isim fa'il
- isim maf'ul
- ....
المصلى
الْمُصْطفَى
- ya lazimah?
- alif maqshuroh?
- Kalau harokat huruf terakhirnya (sebelum akhirnya) itu adalah kasroh, maka itu atas nama ya lazimah.
- Kalau huruf sebelum akhirnya itu adalah fat-hah, maka itu adalah alif layyinah.
- isim manqush - المصلى
- isim maqsur - الْمُصْطفَى
Isim manqush itu huruf terakhirnya berupa ya lazimah, isim maqsur itu huruf akhirnya berupa alif layyinah. Kadang2 kita juga tidak tuntas membahas, apa alif lazimah itu? Saya menuliskan di dalam buku saya ini, apa yang dimaksud dengan lazimah. Kalau ya lazimah, alif lazimah, itu saya sebutkan. Intinya adalah alif yang tetap, ya yang tetap. Yang tidak mengalami perubahan baik ketika
- rofa'
- nashob
- jar
Itu lazimah namanya, tetap itu begitu. Tidak mengalami perubahan, baik waktu rofa'nya nashobnya atau jarnya. Beda dengan Alif tatsniyah misalnya..
- rofa' rojulaani
- nashob berubah jadi ya rojulaini
- Jar berubah jadi ya juga rojulaini
Beda dengan alif yang ada pada al asma'ul khomsah misalnya, kalau
- rofa' abuuka
- nashob abaaka
- jar abiika
المصلى - kenapa disebut sebagai ya? karena harokat sebelumnya adalah kasroh
الْمُصْطفَى - kenapa disebut alif, karena harokat sebelumnya adalah fat-hah
مُصَلِّياً عَلَى النَّبيِّ الْمُصْطفَى
وآلِهِ المُسْتكْمِلِينَ الشَّرَفَا
Yang dijelaskan keadaan? atau benda? Dan yang paling bisa mengkonfirmasi, bahwa ini sedang menjelaskan tentang keadaan, ini menjelaskan benda.
- Karena ini menjelaskan keadaan, maka disebut sebagai hal.
- Karena menjelaskan tentang dzat, maka disebut sebagai tamyiz.
Yang bisa mengkonfirmasi itu adalah shighot. Shighot menjadi sangat penting, sampeyan harus faham.
- ini isim fa'il ustadz....
- ini isim maf'ul
- ini shifah musyabahah bismil fa'il
- ini mashdar ini, itu harus faham. Oleh sebab itu, karena kita sedang membaca alfiyah ya harus diperhatikan itu.
Kadang2 kita tidak boleh ngawur atau sembrono ketika kita menulis huruf jar. Dalam konteks kita menganalisis kalimat, seperti yang sering saya katakan, bahwa kalau huruf jar itu asli, itu memiliki apa yang kita sebut sebagai muta'allaq. Alan nabi yang merupakan jarun wa majrurun itu memiliki kaitan. Ada fi'il2 tertentu, ini yang sering saya tegaskan. Fi'il2 tertentu itu muta'allaqnya dengan menggunakan huruf jar tertentu. Tidak boleh kemudian kita ngawur. Misalnya
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَـٰۤىِٕكَتَهُۥ یُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِیِّۚ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ صَلُّوا۟ عَلَیۡهِ وَسَلِّمُوا۟ تَسۡلِیمًا
Surat Al Ahzab 56
dibaca rofa' , nashob? atau jar? Kaidahnya, tidak ada kalimat isim yang tidak berhukum salah satu dari ini. Isim itu pasti, kalau tidak dibaca rofa' ya nashob, kalau tidak dibaca nashob, ya jar, tidak ada isim yang tidak ada hukumnya.
Kalau fi'il, ada yang tidak punya hukum. Fi'il madhi ini (dibaca) rofa nashob atau jazm, tidak relevan. Tidak relevan pertanyaan itu, Fi'il amr itu dibaca rofa' nashob atau jazm, tidak relevan. Kalau fi'il mudhore', baru pertanyaan itu muncul. Fi'il mudhore' yang mu'rob ini, kira2 dibaca rofa' nashob atau jazm. Fi'il mudhore ini mu'rob, kira2 dibaca
- rofa' - karena fi'il mudhore ini tajarrud anin nawaashibi wal jawaazim
- nashob - karena dimasuki amil nashob
- atau jazm - karena dimasuki amil jazm
Tapi kalau kita ngomong dalam konteks isim, apakah isim itu dalam kategori yang mu'rob, ataukah dalam kategori yang mabni, itu semua kalimah isim, pasti memiliki hukum i'rob.
Pertanyaan yang sama, kita munculkan pada Al Musthofa, karena Al Musthofa ini adalah isim, maka ada pertanyaan, kira2, isim ini dibaca rofa' nashob atau jar? Oh ini dibaca jar ini, oh iya, karena termasuk dalam majrurotul asma. Jawabanya mesti begitu. Tidak ada alasan yang lain.
- Isim Fa'il
- Isim Maf'ul
- Sifatun musyabahatun bismil fa'il
- Shighot Mubalaghoh
- Isim Tafdhil
- Isim Adad
- Isim Maushul
- Isim Isyaroh
Itu kok kemudian tidak faham, maka anak didik kita tidak siap untuk berbicara tentang na'at. Al Musthofa ini isim sifat yang mana? ini isim maf'ul. Kok tahu ustadz? bahwa al musthofa ini adalah isim maf'ul? Lebih disebabkan didahului oleh mim yang di dhommah, dan harokat sebelum akhir difat-hah.
Berasal dari fi'il madhi Isthofa. Bareng2 rek.
Tashrif Isthilahi fi'il isthofa |
Al Mushthofa isim maf'ul, karena isim maf'ul masuk dalam kategori isim sifat. Karena isim sifat, memungkinkan dan patut kita curigai sebagai na'at. Apakah kecurigaan itu dinaik tingkatkan menjadi na'at, ini bener2 na'at ini. Bukan hanya dicurigai sebagai na'at, tergantung kesesuaianya dengan calon man'utya. Tapi pintu masuknya adalah isim sifat. Setiap kita bertemu dengan isim sifat, maka kita harus curiga, woh ini na'at. Karena mushthofa ini isim maf'ul, kenapa? karena didahului oleh mim yang di dhommah, dan huruf sebelumnya? difat-hah. Ini isim maf'ul ini. Karena isim maf'ul, maka patut kita curigai sebagai na'at.
Apakah kecurigaan itu kita tingkatkan menjadi keputusan, ini bener2 na'at, bukan sekedar dicurigai sebagai na'at. Tergantung pada apa? Ada kesesuaian dengan calon man'utnya atau tidak? Kesesuaian itu ada dua, kesesuaian dalam konteks na'at haqiqi, kesesuaian dalam konteks na'at sababi. Karena demikian, kalau seandainya kita mau menganalisis teks arab, tidak bisa tidak, kecuali kita secara umum untuk teori dasar ilmu nahwu, itu sudah difahami.
Tentang na'at misalnya, tidak bisa kita hanya na'at haqiqi saja, na'at sababi harus bisa juga. Apa ustadz? na'at haqiqi itu? na'at haqiqi itu adalah na'at yang menjelaskan man'utnya secara langsung. Na'at yang merofa'kan isim dhomir. Na'at haqiqi. Al Mushthofa (yang dipilih) yang dipilih itu siapa? di al mushthofa ada huwa, yang kembalinya kepada an nabiy. Dalam konteks bait ini..
مُصَلِّياً عَلَى النَّبيِّ الْمُصْطفَى
Musholliyan, dalam keadaan membaca sholawat siapa? Imam Ibnu Malik, Alan Nabiyi (atas Gusti Kanjeng Nabi) Al Mushthofa (yang dipilih, siapa? Gusti Kanjeng Nabi). Di dalam al Mushthofa ini ada dhomir huwa, yang kembali kepada an nabiy. Karena Al Mushthofa ini adalah isim maf'ul, karena isim maf'ul itu kalau seandainya beramal, itu sebagai fi'il majhul, maka itu dijadikan sebagai naibul fa'il (huwa yang ada di dalam al mushthofa). Ternyata kalau kita bandingkan an nabiy dan al musthofa itu sama.
An Nabi Mufrod, Al Mushthofa juga mufrod.
An Nabi Mudzakkar karena kebetulan tidak ada alamatut ta-nis nya.
Alamat ta-nits
- tidak ada ta marbuthohnya
- tidak ada alif maqshurohnya
- tidak ada alif mamdudahnya
Al Mushthofa juga seperti itu, mudzakkar juga.
An Nabi ini ma'rifat karena ada AL nya, begitu juga Al Mushthofa ini adalah Ma'rifat, karena ada AL nya juga. Karena demikian, dari sisi mufrod tatsniyah jam'nya, mudzakkar muannatsnya, ma'rifat nakirohnya, an nabi yang kita curigai sebagai man'ut dengan al mushthofa yang kita curigai sebagai na'at, itu cocok, itu pas. Karena pas... cocok. Karena sebagai na'at maka hukum i'robnya mengikuti man'utnya. Mana man'utnya? an nabi. An Nabi jadi majrur, karena dimasuki huruf jar ala.
Pertanyaan selanjutnya, kalangan pemula. Karena yang kita sasar dalam konteks ini adalah pemula. Kenapa ustadz? kok tidak dibaca al mushthofayi? Saya tegaskan dalam kesempatan ini, anwa-ul i'rob menjadi sangat penting untuk kita ajarkan, kita tegaskan kepada murid2 kita. Agar murid2 kita, tidak selalu menuntut, bahwa perubahan i'rob itu harus selalu dibuktikan dengan tanda i'rob. Perubahan I'rob, kadang ada tandanya, kadang tidak ada tandanya. Ketika ada tandanya, tandanya memungkinkan untuk dimunculkan. Itulah yang kemudian disebut sebagai i'rob lafdzi, memungkinkan kemudian tidak bisa dimunculkan karena ada alasan tertentu. Yang kalau kita simpulkan alasanya dua, bisa jadi ta'adzur bisa jadi tsiqol. Tapi perubahan i'rob bisa jadi memang tidak ada tandanya. Dalam konteks inilah anwa-ul i'rob menjadi sangat penting. Dalam buku2 kami semuanya, buku yang ini, buku yang itu, kita sudah punya tujuh buku, itu kita sebutkan. Saya tegaskan, saya membedakan Aqsamul i'rob dan Anwa-ul i'rob. Itu paradigma berfikir kita akan nyaman, kalau seandainya kita berfikir konsep seperti itu.
Al Musthofa
الْمُصْطفَى
Disebut sebagai alif lazimah, kenapa ustadz? ya karena huruf sebelum akhirnya adalah fat-hah. Isim Maqshur. Karena namanya alif, dimanapun tempatnya itu tidak bisa menerima harokat. Sebenarnya ada kasroh disitu, Karena diakhiri alif, maka tidak bisa kasroh itu masuk pada alif. Alif itu tidak bisa didhommah, tidak bisa difat-hah, tidak bisa dikasroh. Selama2nya musa ya musa, tidak akan musayu, musaya, atau musayi. Alif itu memang tidak bisa dibunyikan. Karena Al Mushthofa termasuk dalam kategori isim maqshur, isim yang diakhiri oleh alif lazimah. Harokat sebelumnya difat-hah. Maka disini i'robnya adalah taqdiri. Wilayahnya adalah taqdiri. Itu seperti itu.
Karena penjelasan ini direkam, dan memungkinkan untuk didownload, apa yang kemudian muncul disini, kita upayakan untuk kemudian dijelaskan, meskipun misalnya kalau seandainya didengar pertama, itu terasa sulit. Tapi kalau diulang2, bisa jadi tidak sulit.
مُصْطفَى
اصطفى
افتعل
kalau seandainya kita asalkan fi'il madhinya adalah ishthofa. Mengikuti wazan apa? mengikuti wazan ifta'ala. Ada masalah? ada... ternyata ada huruf ziyadah ta disini. Bukan tho. Selalu saya katakan bahwa, antara wazan dan mauzun, itu harus ada kesesuaian. Ini tidak sesuai, disini pakai tho, disini pakai tha. Karena demikian, kalau seandainya kita belajar tentang NADZOM maqshud,
Bisa baca syarahnya di
Hallul Ma’qud min Nazhmil Maqshud karya Muhammad Ulaish Al-Maliki. Aunul Ma’bud Syarah Nazhmil Maqshud karya Abdurrohman Ibrahim Al-Suraihi. Fathul Wadud Syarah Al-Lu’lu’ Al-Mandhud karya Ahmad Jabir Jabran.
ada kaidah nadzom, itu penting. Karena itu simple. Nadzom ke 61.
57- بالهَمْزِ وَ التَّضْعِيْفِ عَـدِّ مَالَـزِمْ ** وَ حَرْفِ جَــرٍّ إِنْ ثُلاَثِـيـًّا وُسِمْ
58- وَ غَيْـرُه عَـدِّ بِمَا تَـأَخَّـرَا ** وَ إِنْ حَذَفْـتَهَا فَـلاَزِمـًا يُــرَى
59- لِصَادِرٍ مِنِ امْرَأَينِ فَاعَـــلاَ ** وَقَـلَّ كَالإِلَـهُ زَيْـدَاً قَـاتَــلاَ
60- وَلَهُـمَا أَوْ زَائِـدٍ تَفَاعَــلاَ ** وَقَـدْ أَتَى لِـغَـيْرِ وَاقِـعٍ جَـلاَ
61- وَ ابْـدِلْ لِتَاءِ الِافْتِعَالِ طَـاءً انْ ** فَـاءٌ مِنَ احْرُفٍ لإِطْـبَاقٍ تَـبِنْ
62- كَمَا تَصِيْرُ دَاَلاً إِنْ زَايًا تَـكُنْ ** أَوْ ذَالاً اوْ دَالاً كَـالاِزْدِجَارِ صُـنْ
63- وَ إِنْ تَكُنْ فَالاِفْتَعَالِ يًا سَـكَنْ ** أَوْ وَاوًا اوْ ثَا صَـيِّرَنْ تَا وَ ادْغِمَنْ
64- وَ احْكُمْ بِزَيْدٍ مِنْ أُوَيْسًا هَلْ تَنَمْ ** فَوْقَ الثَّـلاَثِ إِنْ بِذِي المَرَامُ تَـمْ
65- وَ غَالِبَ الـرُّبـَاعِ عَدِّ مَاعَدَا ** فَـعْـلَلَ فَاعْكِسنْ كَدَرْبَخَ اهْتَدَى
66- كُل ُّ الخُمَاسِي لاَزِمٌ إِلاَّ افْـتَعَلْ ** تَـفَـعَّلَ اوْ تَـفَاعَلاَ قَدِ احْـتَمَلْ
67- كَذَا السُّدَاسِي غَيْرَ بَابِ اسْتَفْعَلاَ ** وَاسْرَنْدَى وَ اغْرَنْدَى بِمَفْـعُوْلٍ صِلاَ
68- لِهَمْزِ إِفْـعَالٍ مَعَانٍ سَـبْعَـةُ ** تَعْـدِيَـةٌ صَـيْرُوْرَةٌ وَ كَـثْـرَةُ
69- حَيْـنُونَـةٌ إِزَالَـةٌ وِجْـدَانُ ** كَـذَاكَ تَـعْرِيضٌ فَـذَا البَـيَانُ
70- لِسِينِ الِاسْـتِفْعَالِ جَا مَـعَانِي ** لِـطَـلَبٍ صَـيْرُورَةٍ وِجْــدَانِ
71- كَذَا اعْتِـقَادٌ بَعْدَهُ التَّـسْلِيْمُ ** سُـؤَالُـهُمْ كَـاسْـتَخْـيَرَ الكَرِيمُ
apa yang diganti? maf'ul bih dari ibdil,
Tho (huruf tho) Ta itu diganti dengan tho.
huruf ithbaq.
dhoroba kalau diikutkan pada wazan ifta'ala menjadi idhtaroba, tetapi idhthoroba
thola'a bukan ithtala'a, tapi menjadi iththola'a.
shofaa. Jernih artinya, fa fi'ilnya berupa shod, yang itu merupakan huruf ithbaq. Karena fa fi'ilnya itu menggunakan huruf itbaq, kalau diikutkan pada wazan ifta'ala, maka ta pada lafadz ifta'ala diganti dengan tho. Kaidahnya adalah
61- وَ ابْـدِلْ لِتَاءِ الِافْتِعَالِ طَـاءً انْ ** فَـاءٌ مِنَ احْرُفٍ لإِطْـبَاقٍ تَـبِنْ
وآلِهِ المُسْتكْمِلِينَ الشَّرَفَا
wawunya wawu athof, yang jatuh setelah huruf athof namanya ma'thuf. Ma'thuf cara bacanya disesuaikan dengan ma'thufun 'alaihi. Kenapa kok disini dibaca Ali? Kok tidak Alu, kok tidak Ala. Ma'thuf cara bacanya diikutkan pada ma'thuf alaih. Mana ma'thuf 'alaihnya? ma'thuf 'alaihnya adalah an nabiy. An Nabi disini berkedudukan apa? berkedudukan jar, karena dimasuki oleh huruf jar. Inilah alasan, kenapa kok kemudian bacaanya wa alihi.
Al Mustakmiliina jadi apa?
Kalau kita lihat al mustakmiliina yang diakhir oleh ya- dan nun. Itu pasti berkedudukan, kalau tidak nashob ya jar. Ini dibaca jar, kenapa? karena menjadi na'at. Na'at darimana? dari Ali. Saya tegaskan kata2 alun, yang memungkinkan diterjemahkan dalam konteks nasab, itu ya keluarganya Gusti Kanjeng Nabi. Tapi para ulama menerjemahkan wa alihi ini, kullu mukminin, setiap mukminin. Walau fusod, meskipun berbuat maksiat. Ini namanya kalau tidak ada alif, ada istilah Alun, itu ada istilah beda. Ini pokoknya yang saya ingat itu, akan saya jelaskan. Karena ini memang tidak tergesa2, pokoknya setiap jum'at dan sabtu, ini memang sudah saya rencakan, semoga istiqomah begitu.
Jamak dan Isim Jamak
ٌال
Kata2 Alun itu rek, namanya keluarga. Tidak memungkinkan kita bayangkan itu bentuk mufrod. Kata2 qomun itu misalnya itu tidak bisa dibayangkan bentuknya mufrod. Kaum itu mesti terdiri dari orang2 yang berkumpul dalam satu komunitas, itu namanya qoum. Pun demikian keluarga. Itu tidak mungkin satu orang, ada anak, ada istri, ada kakek, ada macem2 itu baru keluarga namanya. Dalam konteks inilah kita mengenal, apa itu jamak, apa itu isim jamak. Beda antara jamak dan isim jamak. Jadi pengistilahan di dalam ilmu nahwu itu harus rigid, harus detail. Ada perbedaan pengertian antara jamak dan isim jamak.
Kalau jamak itu apa ustadz? lahu mufrodun. Kalau isim jamak itu? tidak memiliki bentuk mufrod (laisa lahu mufrodun). Yang penting kita terus mengenal begitu saja. Karena ini targetnya adalah pemula. Pemula itu hafalan hafalan hafalan. Kaidah dihafalkan, sudah begitu. Sudah jangan bertanya kapan saya bisanya ustadz? Insyalloh suatu saat. Kalau seandainya koleksi pemahaman qowaid kita, itu banyak, hafalan kita banyak. Kalau seandainya koleksi mufrodat kita, insyaalloh kita akan menjadi faham. Itu penting untuk kemudian kita tegaskan. Pokoknya dihafalkan saja.
Oh ternyata ada perbedaan ustadz? antara istilah jamak dengan istilah isim jamak? iya... Jamak merujuk pada sesuatu yang punya bentuk mufrod. Kalau seandainya kita ditanya rijalun itu jamak atau isim jamak? jamak. Kenapa? karena memiliki bentuk mufrod, rojulun. Rojulun Rojulaani Rijalun. Muslimuuna itu jamak atau isim jamak? Ini adalah jamak, jamak mudzakkar salim. Kenapa? karena disitu adalah memiliki bentuk mufrod, apa? Muslimun. Alun, tidak bisa kita bayangkan, bahwa disitu itu adalah satu orang. Keluarga, keluarga itu banyak. Qoumun, juga gitu, kumpulan dari orang, mesti banyak. Kumpulan dari orang, itu namanya qoumun. Tapi tidak memiliki bentuk mufrod, itu namanya isim jamak.
وآلِهِ المُسْتكْمِلِينَ الشَّرَفَا
Karena demikian, ketika diberi na'at, ini berhukum jamak. Kenapa kok tidak wa alihil mustakmili? Tapi kok mustakmiliina, itu berarti imam ibnu malik, sedang...menghukumi, lafadz alun itu adalah jamak. Memang bentuknya jamak, kalau seandainya misalnya disini bukan jamak, akan berbunyi,
المستكمل
tanpa ya dan nun. Wa alihil mustakmiliina syarofa. Realitas disini ada ya nun, yang tidak bisa kita fahami lain kecuali disini adalah jamak mudzakkar salim. Itu mencerminkan bahwa alun sedang diterjemahkan? dengan? atau dianggap sebagai bentuk jamak. Begitu... ketika saya mengucapkan, terus aja dihafalkan. Ada beda antara jamak, dan isim jamak. Itu semacam itu.
الشَّرَفَا
Yang dikomentarkan oleh para ulama, memungkinkan dibaca syarofa, memungkinkan dibaca syurofa. Kalau syarofa bagaimana? seperti kemarin kita tegaskan. Kita mengenal alif. Boleh / memungkinkan disebut sebagai
aliful isyba'
ألف الاشباع
memungkinkan juga disebut sebagai
Aliful Ithlaq
الف الاطلاق
Sama posisinya, dalam konteks penyesuaian nadzom, itu nanti akan ketemu....dan itu jangan dianggap seperti misalnya? alif tatsniyah misalnya, jangan.... Itu namanya aliful isyba'. Ada istilah itu muncul ketika kita berbicara tentang? nadzom, tentang ba'it.... begitu...
وآلِهِ المُسْتكْمِلِينَ الشَّرَفَا
الشَّرَفَا
Syarofa disitu berkedudukan nashob, jadi apa? jadi maf'ulun bihi. Dari maf'ulun bihi dari yang mana ustadz? dari al mustakmilii. Loh... al mustakmili kan isim? itu kan isim? al mustakmili isim kok punya maf'ul bih?
PADAHAL
- yang biasanya punya maf'ul bih itu adalah fi'il
- yang punya naibul fa'il itu adalah fi'il,
- yang punya naibul fa'il itu adalah fi'il,
Dalam konteks ini, sampeyan akan masuk dalam konteks al asma- al 'amilah 'amalal fi'li. Isim2 yang beramal sebagaimana fi'ilnya.
Perhatikan, asy syarofa jadi apa? jadi maf'ul bih. Loh maf'ul bih darimana? dari al mustakmiliina. Al mustakmiliina kan isim ustadz?
- Yang punya fa'il.
- yang punya naibul fa'il
- yang punya maf'ul bih
- fa'il bukan hanya monopoli fi'il.
- Na'ibul fa'il bukan hanya monopoli fi'il.
- Maf'ul bih bukan hanya monopoli fi'il.
- fa'il
- naibul fa'il
- maf'ul bih
Isim2 yang punya fa'il,
ayo ditashrif....
fahuwa mustakmilun
wa dzaka mustakmalun
Kapan isim fa'il, isim maf'ul, termasuk isim sifat itu beramal sebagaimana fi'ilnya? Kalau seandainya memenuhi persyaratan, apa yang ditegaskan dalam nadzom alfiyah...
diambil dari nadzom Alfiyyah Ibnu Malik 429
وَوَلِيَ اسْتِفْهَامًا أَوْ حَرْفَ نِدَا -- أَوْ نَفْيًا أَوْ جَاصِفَةً أَوْ مُسْنَادَا
kapan mashdar itu beramal sebagaimana fi'ilnya?
diambil dari nadzom Alfiyyah Ibnu Malik 424, 425
ْبِفِعْلِهِ الْمَصْدَرَ أَلْحِقْ فِي الْعَمَلْ -- مُضَافًا أَوْ مُجَرَّدًا أَوْ مَعَ أل
ْإِنْ كَانَ فِعْلٌ مَعَ أَنْ أَوْ مَا يَحُلْ -- مَحَلَّهُ وَلِاسْمِ مَصْدَرٍ عَمَل
Sudah ada ketentuan kapan isim fa'il isim maf'ul dan seterusnya itu beramal sebagaimana fi'ilnya... Isim fa'il isim maf'ul beramal sebagaimana fi'ilnya, itu akan terjadi ketika
didahului istifham, huruf nida, atau didahului nafi
atau datang menjadi na'at= nah ini menjadi na'at... (al mustakmilina)
au musnada (atau menjadi musnad, ata menjadi khobar)
karena kenyataanya menjadi na'at maka dia memungkinkan untuk beramal sebagaimana fi'ilnya. Karena mustakmili itu adalah istakmala yang merupakan fi'il muta'addi. Fi'il muta'addi butuh yang namanya maf'ul bih. Maka ketika beramal, dia butuh maf'ul bih. Ini alasan, kenapa kok kemudian asy syarofa, dibaca nashob, lebih disebabkan karena dia menjadi maf'ul bih. Darimana? Al mustakmiliina, yang beramal sebagaimana fi'ilnya. Kenapa kok al mustakmiliina beramal sebagaimana fi'ilnya? Karena memenuhi persyaratan. Apa persyaratanya? disitu..?
وَوَلِيَ اسْتِفْهَامًا أَوْ حَرْفَ نِدَا -- أَوْ نَفْيًا أَوْ جَاصِفَةً أَوْ مُسْنَادَا
Jadi begitu, ini menjadi penting bagi sampeyan. Jadi memang secara ekstrim, dalam buku2 saya selalu saya katakan begitu. Al Asma amalal fi'li itu nyata terjadi. Itu real itu... Kita tidak bisa menghindarkan itu di dalam sebuah teks ini. Karena demikian, murid kita sebenarnya, tidak siap untuk melakukan analisis teks, misalnya baca kitab taqrib, baca kitab safinah, itu belum siap, kalau seandainya tidak secara tuntas, teori dasar yang kita istilahkan disini, itu adalah diselesaikan. Diantara teori dasar yang pasti akan kita temukan. Atau ditemui oleh anak didik kita adalah konsep al asma' al amilah amalal fi'li. Isim2 yang beramal, sebagaimana pengamalanya fi'il. Yang secara umum dibagi menjadi dua...ada yang termasuk dalam kategori isim sifat, yang pengamalanya itu adalah
وَوَلِيَ اسْتِفْهَامًا أَوْ حَرْفَ نِدَا -- أَوْ نَفْيًا أَوْ جَاصِفَةً أَوْ مُسْنَادَا
Pengamalan Mashdar
Dan mashdar, ketika pengamalanya itu beda persyaratanya. Ketika posisinya memungkinkan digantikan oleh mashdar muawwal, maka memungkinkan dia beramal sebagaimana fi'ilnya.
ْبِفِعْلِهِ الْمَصْدَرَ أَلْحِقْ فِي الْعَمَلْ -- مُضَافًا أَوْ مُجَرَّدًا أَوْ مَعَ أل
ْإِنْ كَانَ فِعْلٌ مَعَ أَنْ أَوْ مَا يَحُلْ -- مَحَلَّهُ وَلِاسْمِ مَصْدَرٍ عَمَل
Alhiq, menyamakanlah siapa kamu
Al Mashdaro akan mashdar
bi fi'lihi (dengan fi'ilnya mashdar)
Penyamaan dalam hal apa?
fil 'amali ( dari sisi pengamalan)
- kalau fi'il punya fa'il, mashdar punya fa'il juga, gitu (maksudnya).
- kalau fi'il punya naibul fa'il, mashdar punya naibul fa'il juga, gitu lho (maksudnya).
- kalau fi'il punya maf'ul bih, mashdar punya maf'ul bih juga, gitu lho (maksudnya).
Apakah itu mudhofan, dalam kondisi dimudhofkan,
atau mujarrodan atau disepikan dari mudhof dan AL
atau ma'a AL atau beserta AL
kapan itu?
إِنْ كَانَ فِعْلٌ مَعَ أَنْ أَوْ مَا يَحُلْ
Apabila posisinya memungkinkan digantikan dengan
- An dan fi'il
- atau maa dan fi'il
Apakah mashdar saja? bukan... isim mashdar juga. Jadi sampeyan begitu, ada istilah isim mashdar. Ada istilah mashdar. Ya kan? jadi terus berkembang. Yang paling penting adalah? panjenengan istiqomah. Karena ilmu itu tidak bisa langsung disok.... bek... banyak kelemahan2 juga. Yang paling penting adalah kita tetep belajar. Bisa saja saya salah, biasa2 saja itu. Bisa jadi itu. Mungkin itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan ini, semoga bermanfaat.
Comments
Post a Comment