Skip to main content

Milad UII 79 | Ngaji Tafsir Al Quran | Catatan Ngaji Gus Baha

Jadi saking pentingnya untuk bahagia Alloh itu sampek ngendikan yang "gak penting", tapi menjadi penting, karena untuk bahagia. Jadi ketika Alloh tanya Nabi Musa ketika ketemu dipanggil, 


wa maa tilka bi yamiinika yaa musa, yang kamu bawa itu apa? Padahal ketika dipanggil itu kagetnya bukan main

Misalnya pegawai UII dipanggi rektornya itu kagetnya bukan main. Soalnya rektor itu mesti nyalahkan. Itu fikiranya orang itu mesti, ketua bagian wakaf yo sama. Mesti mau negur, atau apalah. Nah bawaan orang dipanggil atasan itu grogi, maka Alloh ngendikan yang rilex, Saa.. kamu bawa apa? yang (kamu) pegang tangan kanan kamu itu apa? Masak Alloh tanya sekedar gitu? kan karuan? wong kita manusia saja tahu yang dibawa Nabi Musa itu tongkat. Kok Alloh malah tanya...?? Banyak analis, banyak mufassir, banyak ahli hakikat yang berpendapat, Alloh itu menghilangkan groginya Nabi Musa. Sehingga tanya yang ringan2. 

Jadi saya mohon disini, pimpinan disini kalau tanya anak buah yang ringan2. Wes sarapan? empun... Jadi kalau sok2an disiplin, itu bukan sunnatulloh, saya jamin. Apalagi lagi tanya saya, kenapa gus? terlambat? muleh saya.. pulang.
Alloh yang Tuhan saja sebaik itu kok,
Rektor sama badan wakaf kok sekeras itu? Ini bukan gojlok, supaya jadi orang yang dekat Alloh. Jadi ditanya....


wa maa tilka bi yamiinika yaa musa? 

Kamu bawa apa? yang di tangan kanan kamu itu apa? Nabi Musa jawabnya ya sederhana, ini tongkat Gusti... tak pakai menggembala kambing, tak pakai ini itu, masih bilang dan lain2. Kayak laporan keungan itu, kalau susah nerangkan, itu dan lain2. Terakhir ditutup (dengan ayat)

wa liya fiiha ma'aaribu ukhro...

dan masih ada lagi yang lain2, (di depan) Alloh.

Kamu laporan audit, di badan waqaf, diterima gak? laporan lain2..? 

Ini temen saya lama ini, Saya di UII itu sudah lama, cuma inginya dikenal Alloh, tapi malah sekarang dikenal REKTOR, repot... haduh, repot.... Saya dulu nderekno Professor Zaini itu tahun 2000, dekat sekali, sering kerumah saya, ke kontrakan saya, karena diskusi tafsir. Dan saya ikhlas sekali gak ingin dikenal REKTOR, badan WAKAF atau siapapun. 

Karena mbah2 saya itu wali, jadi kalau wali itu kepingine dikenal Alloh. Tahu2 diturunkan derajatnya disuruh kenal rektor. Kenal badan wakaf, jadi ini ada pemakhlukan. Jadi artinya gini, saya disini itu shohibul bait, jadi tadi Mas Majdi itu kliru, kalau nanti saya yang ngisi, saya ini shohibul bait, nanti yang ngisi ini ( Mas Majdi, TGB). Maksudnya seperti itu maksudnya, Karena tuan rumahnya saya pak warsono ya...  (Mas Majdi) ini tamu. 


Tapi ternyata pemakhlukan itu penting, Di dalam ilmu tafsir itu dikenal diantaranya Tanazzulatul Maulah. Alloh itu menurunkan martabatNya. Alloh sebagai Tuhan itu tentu gak perlu menghutang kita, gak pernah merasa dikasih, karena semua itu milik Alloh. Tapi Alloh itu untuk memotivasi, orang (beramal) itu ngendikane Alloh. 

من ذا ٱلذی یقرض ٱلله قرضا حسنا 

فیضـٰعفهۥ لهۥ أضعافا كثیرة وٱلله یقبض ویبصط وإلیه ترجعون

(Surat Al Baqoroh 245)

Siapa yang mau menghutangi  Saya? Alloh itu tentu gak perlu hutang kita, karena semua milik kita itu milik? Alloh. Tapi supaya orang itu termotivasi amal, supaya superior, merasa heroik, saya mau menghutangi Alloh, saya mau (menolong) Alloh. 


Padahal Alloh itu An Nashir,  

wa ni'mal maulaa wa ni'man naashir. 

Tapi Alloh mengistilahkan DzatNya 

Intanshurulloha... Jika kalian menolong Alloh. Wa hal yahtaju ilan naasi? Alloh tidak butuh pertolongan kita, tapi itu tanazzulat. Alloh yang Tuhan saja (menurunkan) derajatnya untuk berkomunikasi dengan manusia. Artinya kalau saya maqomnya sudah fana kenal Alloh, saya juga ikhlas turun derajat kenal rektor. Jadi insyaalloh itu tidak masalah. Ben sampeyan pernah dengar ilmu hakikat memang gitu. Jadi saya ini sering cerita ke pak fajar, pak juneid, saya ini sudah daftar jadi resi, saya sudah gak pernah keluar2, di rumah ngaji. Tapi kalau ngaji, ngaji terus saya. Saya tidak pernah tidak ngaji, satu hari minimal empat kali. NGaji fekih yang sering itu fekih, karena mbah2 saya itu memang ahli ushul fiqh. Dulu professor zaini melibatkan saya, saya cerita ke mas majdi itu gara2 beliau itu professornya sastra. Adab, karena jurusanya itu adab, beliau itu pakarnya kalau menghaluskan bahasa. Tapi masalahnya di Al Quran banyak fiqih juga. Lalu beliau cari ahli fiqih. Singkat cerita, entah gimana ceritanya Alloh yang mempertemukan, ketemu saya. 

Nah kenapa kita butuh fiqih, tidak sekedar kesusastraan? atau ilmu adab? Karena ada tafsir, fiqh dalam Al Quran yang mau gak mau harus difiqihkan. Misalnya begini...

.

.

وأن تجمعوا بین ٱلأختین 

إلا ما قد سلف إن ٱلله كان غفورا رحیما

Surat An Nisa 23

Atau adiknya dengan Mbaknya. Jika kalian berfikir bahwa Al Quran itu (hanya) Quran, maka apa boleh misalnya menikahi SRI dengan Buleknya, SRI dengan Budenya? Padahal tidak boleh juga, tapi faktanya Al Quran hanya ngendikan 

وأن تجمعوا بین ٱلأختین 

Sebab itu zaman Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam zaman sugeng, itu nambahi wa laa baina mar-ati wa 'ammatiha. wa laa baina mar-ati wa kholatihaa. Juga tidak boleh menikahi SRI dan budenya, atau SRI dan Buleknya. Dan kebetulan Nabi itu tidak menambahkan wa laa baina mar-ati wa jaddatihaa. Karena itu gak dilarang sudah lucu saja gitu. Masak kamu nikahi perempuan umur 17, telur minat Mbahnya umur 70? Loh itu kalau sampai butuh dilarang, anda butuh berobat. Tapi kan kalau bulek kadang2 masih menarik. Orang2 kayak gini misalnya nikah umur 17, buleknya cantik umur 30, minat gak?? Jadi artinya butuh dilarang, untuk tidak minat itu butuh dilarang. 

Tapi kalau mbah?? ngono kok ditakokno?? Ini pakarnya..... 

Ini tetangga saya, orang bojonegoro, dulu pendereknya Professor zaini juga. Artinya kalau tidak ada ushul fiqh, itu min babi ithlaqil ba'di, ilaa irodati kul. Meskipun ushul fiqh itu juga menginduk ilmu balaghoh, menginduk ilmu ini itu. Jadi Alloh menyebut bainal ukhtain, artinya diganti bainal mahromain. 

Jadi ukhtain itu 'ibarotun ithlaqul ba'di, ukhtain mewakili kata mahromain. Wanita yang punya mahrom, tidak boleh dinikah secara bersamaan, untuk orang2 yang berpoligami. Ini penting... semua tafsir juga gitu, lafadz2 yang ada mahdzufnya itu kita jaga, baik itu secara keilmuan maupun secara fiqh. 


Keilmuan misalnya gini. Orang yang dilaknati Alloh, 

قل هل أنبئكم بشر من ذ ٰ⁠لك مثوبة عند ٱلله من لعنه ٱلله وغضب علیه 

وجعل منهم ٱلقردة وٱلخنازیر وعبد ٱلطـٰغوت أولـٰىٕك شر مكانا وأضل عن سواء ٱلسبیل

Surat Al Maidah 60

Lalu ada penelitian misalnya gak pernah ada makhluk yang dulu jadi kera. Tapi melihat ayat itu, seakan2 pernah ada periode atau kejadian dimana manusia itu diubah menjadi kera.

وجعل منهم ٱلقردة 

mau gak mau kita butuh perangkat ilmu lain yang namanya balaghoh. Itu orang jawa, kalau dilangkahi kakine itu hanya bilang kayak kera, orang gak sopan itu kayak kera. Tapi kalau dilangkahi kepalanya, gak sopan itu ooo... dasar ketek, dasar kera..  Artinya dalam ilmu tasybih, kalau 

Comments