Skip to main content

Kajian Alfiyah 4 | Metode Al Bidayah | Kh. Abdul Haris Jember | Bait 3-5

 

Pembahasan Alfiyah keempat, bait 4. Oleh KH. Abdul Haris Jember, Metode Al Bidayah. Semoga bermanfaat temen2.


قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ ابْنُ مَالِكِ      أَحْمَدُ رَبِّي اللهَ خَيْرَ مَالِكِ

مُصَلِّياً عَلَى النَّبيِّ الْمُصْطفَى      وآلِهِ المُسْتكْمِلِينَ الشَّرَفَا

وَأَسْتعِينُ اللهَ فِي ألْفِيَّهْ      مَقَاصِدُ النَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ

تُقَرِّبُ الأقْصى بِلَفْظٍ مُوجَزِ      وَتَبْسُطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ

وَتَقْتَضي رِضاً بِغَيرِ سُخْطِ        فَائِقَةً ألْفِيَّةَ ابْنِ مُعْطِي



Kemarin kita sudah membahas tentang bait yang ketiga. 
wa asta'inulloha fi alfiyah, 
maqoshidun nahwi bihaa mahwiyah

bait alfiyah 3

وَأَسْتعِينُ اللهَ فِي ألْفِيَّهْ      مَقَاصِدُ النَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ
wa asta'iinu (dan memohon pertolongan, siapa? saya) siapa? - KODE SUBJEK
ista'ana adalah merupakan fi'il muta'addi. Mohon pertolongan kepada siapa? 
Alloha akan Alloh. akan - KODE OBJEK
Alloh dijadikan sebagai manshubun 'alat ta'dzim
Fii Alfiyah (dalam rangka mengarang kitab alfiyah)

Maqooshidun nahwi (yang bermula maksud2 dari ilmu nahwu)
kata2 yang perlu diperhatikan. 
Yang bermula... bermula- KODE MUBTADA
kang utawi piro2 maksude piro2 - KODE JAMAK
nahwi (ilmu nahwu)
bihaa (ai fiihaa) ing ndalem alfiyah
KHOBAR saking maqoshidun nahwi, 
iku.. mahwiyatun den kumpulake (yang dikumpulkan) iku - KODE KHOBAR


Maqoshidun nahwi, kenapa kok dijadikan sebagai MUBTADA-? sehingga dibaca rofa'? Konsepnya sederhana seperti yang sering saya jelaskan. KARENA maqoshidun nahwi adalah merupakan isim ma'rifat. POKOKNYA.. kalau seandainya kita menemukan isim ma'rifat dimanapun tempatnya. 

Pokoknya itu diawal kalimat, diawal kalimat memungkinkan untuk kita terjemahkan 
  • Ibtida-iyah, 
  • Isti'nafiyah
  • Maushuliyah
  • I'tirodhiyah

Maqoshidun nahwi (kang utawi) yang bermula... beberapa maksud ilmu nahwu.  bihaa (ai fiihaa). SAYA katakan kemarin2, salah satu materi sulit di dalam ilmu nahwu, adalah tentang 
معانى حروف الجر
ma'aanii hurufil jarri. 

Ini sulit, sulit bukan berarti tidak bisa ditundukkan. Bihaa disini sepertinya bi, tapi bermakna fiihaa. Inilah yang disebut sebagai, ba'nya itu memiliki makna dzorfiyah. Bi makkata, bukan dengan mekkah, tapi di mekkah. Kalau bi itu masuk pada keterangan waktu atau keterangan tempat, maka bi nya itu masuk kepada bi dzorfiyah. Adalah mahwiyatun itu yang dikumpulkan. 



bait alfiyah 4

تُقَرِّبُ الأقْصى بِلَفْظٍ مُوجَزِ      وَتَبْسُطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ

tuqorribu (mendekatkan, apa? alfiyah)
Al Aqsho (akan sesuatu yang paling jauh)
Perhatikan disini, isim tafdhil, mengikuti wazan, af'alu. Bentuk bukan tafdhilnya adalah al qoshi yang jauh. Al Aqsho... 
القاصى 
الاقصى

af'alu mudzakkar, al aqsho - Mudzakkar
Al Qushwa muannatsnya

Tuqorribu (yang mampu mendekatkan, apa? alfiyah) 
mendekatkan al aqsho (akan sesuatu yang jauh)
pendekatanya itu 
bi lafdzin (dengan lafadz)
muujazi (yang diringkas)

wa tabsuthu dan membentangkan / melapangkan / meluaskan apa? alfiyah, disini ada hiya dhomir mustatir jawaazan. Al Badzla akan pemberian, Bi wa'din dengan janji Munjazi yang bisa dipenuhi, yang bisa dihadirkan. Berasal dari anjazaa... 


bait alfiyah 5

وَتَقْتَضي رِضاً بِغَيرِ سُخْطِ        فَائِقَةً ألْفِيَّةَ ابْنِ مُعْطِي

wa taqtadhii dan menuntut apa? alfiyah. ai Tathlubu. 

Disini ada hiya, dhomir mustatir jawaazan. Taqtadhi itu adalah fi'il muta'addi, mana maf'ul bihnya? ridhon, akan keridhoan. Bi ghoiri sukhti, dengan tanpa adanya kemurkaan. 
Faaiqotan dalam keadaan mengungguli, apa? alfiyah (disini ada hiya). Ini sedang beramal sebagaimana fi'ilnya. Mengungguli? 
Alfiyatabni mu'thi 
Akan alfiyahnya, Ibnu Mu'thi. 


Jadi ini wawasan dulu, jadi kita ketika menulis. Perhatikan... Kalau kita sudah mencurahkan perhatian kita, fokus kita, kemampuan kita kita curahkan. KITA HARUS percaya diri. Mengapresiasi karya, itu biasa. Mengapresiasi karya kita sendiri, itu biasa, bukan sombong. DAN itu ditampakkan oleh Imam Ibnu Malik. Imam Ibnu Malik mengklaim bahwa maksud2 materi2 di dalam ilmu nahwu itu terkandung di dalam alfiya. PADAHAL, kalau seandainya diteliti, atas nama karya manusia, pasti tidak bisa sempurna. ITU KITA yakini...

idza tammal amru 
bada-a naqshuhu

اذا تم الامر بدأ نقصه


إذا تم أمر بدا نقصه 

ترقب زوالا إذا قيل تم

Apabila masalah itu sudah kita anggap sempurna, maka.. bada-a naqshuhu, maka kekuaranganya akan kelihatan. Kalau seandainya panjenengan melihat misalnya bait2 nadzom. Yang kalau seandainya diteliti misalnya, itu berjumlah 1002. Oleh Imam ibnu Malik diklaim sebagai maqooshindun nahwi bihaa mahwiyatun, TIDAK ba'dhu maqoshidin nahwi tulisanya, TAPI maqooshidun nahwi, berarti apa? seakan2 ada gambaran kalau melihat ini. SECARA keseluruhan, apa yang kita butuhkan dari menganlisis teks dari aspek, dari sisi ilmu nahwu, itu sudah cukup dengan menggunakan pendekatan alfiyah. APAKAH seperti itu kenyataanya? 



Contoh bahasan yang tidak ada di dalam alfiyah ibnu malik 

Di dalam syarah2 sudah banyak dijelaskan, di dalam kitab khudhori misalnya. Kalau sampeyan mencari tentang nadzom2 alfiyah tentang iltiqous sakinaini, 

misalnya ini contohnya
asalnya yakuunu
kemudian lam masuk, sehingga menjadi jazm, sehingga menjadi 
LAM YAKUN
ada dua sukun di dalam satu tempat, inilah yang kemudian disebut dengan iltiqo-us sakinaini. Ketika ada realitas bahwa dalam satu kata itu ada dua sukun (yang berurutan) maka itu disebut dengan iltiqous sakinaini. ketika ada iltiqous sakinaini, maka huruf illatnya harus dibuang. KAIDAH seperti ini, diklaim oleh pensyarah2 alfiyah itu tidak kita temukan di dalam bait2 alfiyah. Padahal disini diklaim, maqoshidun nahwi bihaa mahwiyatun. Maksud2 ilmu nahwu? itu semuanya... seakan2 seperti itu, karena disini... tidak mengatakan, ba'dhu maqoshidin nahwi. Tidak mengatakan misalnya Jullu maqoshidin nahwi, tidak mengatakan mayoritas kaidah ilmu nahwu. itu mahwiyatun itu terkumpul, atau itu dikumpulkan. Kenyataanya kalau seandainya ditawarkan dalam konsep iltiqous sakinaini, tidak kita temukan. 

TENTANG QOSAM misalnya, itu juga tidak kita temukan, itu juga yang sering dikomentarkan. JADI kalau seandainya panjenengan sedang menulis, fokus, panjenengan itu sudah luar biasa, kepada materi yang sedang kita gandrungi, dan kita coba untuk lebih manfaat, kita harus PEDE, kita harus percaya diri, dan itu tidak sombong. IYa... jangan meremehkan orang lain tapi. Buku saya ini misalnya, itu saya klaim, mampu jadi jembatan, dan itu gak masalah. Mampu menjadi jembatan, untuk temen2 yang mau belajar kitab. Sebelum masuk kepada kitab2 yang tidak berharokat, bagaimanapun butuh jembatan. Tapi saya istilahkan jembatan disini ini, gak masalah begitu itu. Kita dicontohkan sampai dikatakan tuqorribul aqsho bi lafdzin muujazi. 

Alfiyah itu diklaim mampu mendekatkan sesuatu yang paling jauh, bi lafdzin muujazi, dengan lafadz yang ringkas2 yang ringan2. Dan.. wa tabsuthul badzla bi wa'din munjazi. Dan melapangkan, mbeber... mempersembahkan pemberian, bi wa'din dengan janji, munjazi yang bisa dipenuhi. Klaim dari seorang penulis, itu biasa. POKOKNYA kalau menulis, itu yang serius, jangan sampai plagiat, jangan sampai mencontoh tulisan orang lain dan seterusnya. BAHWA karya manusia itu pada akhirnya ada kelemahan, itu sebuah keniscayaan. JADI pelajaran yang memungkinkan (untuk kita ambil...) Ada klaim, semacam itu dari penulis itu biasa, bukan sombong. ketika kita sudah mencurahkan pikiran kita, untuk kemudian jujur secara ilmiah. Dan itulah perolehan kita. Maka kita tawarkan kepada masyarakat. Ketika kita informasikan kepada masyarakat, apakah kemudian itu dianggap sombong? enggak. Sampai dikatakan pada komentarnya mbah misbah musthofa, yang mengomentari pakai tulisan pegon, tulisan arab pegon itu. 

لفَلَيْسَ يَجْنِي ثِمَارَ الْفَوْزِ يَانِعَةً
مِنْ جَنَّةِ الْعِلْمِ إِلَّا صَادِقُ الْهِمَمِ
لَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الْمَسَاعِي مَا يَبِينُ بِهِ
سَبْقُ الرِّجَالِ تَسَاوَى النَّاسُ فِي الْقِيَمِ


لو لم يصف الطبيب دواءه
kalau seandainya dokter itu tidak mendeskripsikan obatnya, 


ما أنتفع به
maka obat itu tidak mungkin pernah dikenal oleh masyarakat. Sehingga obat itu tidak bisa diambil manfaatnya. Jadi dokter itu ketika menjelaskan bahwa ini adalah vaksin, yang ampuh.. itu bukan kesombongan. Jadi ketika panjenengan nulis, itu dijelaskan... meskipun tulisan kita itu harus maksimal. Dan jangan bohong, ini sebenarnya plagiat, tulisan orang lain kita jiplak, jangan... jangan begitu. Kasian kalau seperti itu. Jadi pelajaran dalam konteks alfiyah....



وَأَسْتعِينُ اللهَ فِي ألْفِيَّهْ      مَقَاصِدُ النَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ
wa asta'inulloha fii alfiyah
maqooshidun nahwi bihaa mahwiyah


dikatakan disini maqoshidun nahwi. Bukan ba'dhu maqoshidin nahwi. BUKAN jullu maqoshidin nahwi, yang dengan ini kemudian bisa disimpulkan, seakan2 apa yang kemudian kita butuhkan di dalam analisis teks, itu sudah tertulis di dalam alfiyah. TERNYATA apa? syarih.. saya tidak meneliti sendiri, silahkan dicek misalnya di Al Khudhori dan yang lain, Alfiyahnya Syathibi juga menceritakan tentang itu misalnya. Itu ada.. yang selalu disebutkan itu ada dua. Yang terlepas, yang kalau seandainya kita lihat di dalam ibnu malik, alfiyah ibnu malik, itu tidak kita temukan. KONSEP apa itu? konsep iltiqo-us sakinaini, konsep apa itu? konsep qosam. Sampeyan kalau menulis, jangan menunggu sempurna terlebih dahulu, karena tidak mungkin sempurna. TEMEN2 yang ada di rumah, kalau punya ketrampilan, kalau mau menulis, jangan menunggu sempurna. ORANG yang sekelas Imam Ibnu Malik, yang itu adalah gurunya Imam Nawawi, bayangkan itu, yang punya kitab Majmu' syarah muhadzdzab, kemudian punya al adzkar an nawawiyah, punya itu semuanya, itu masih ada yang lepas, apalagi kita. Nah ini motivasi, ketika kita sudah menulis, maka kita bisa mengklaim. 



Filosofi Jembatan 

Saya bisa mengklaim, misalnya sampeyan misalkan tidak pernah sama sekali membaca kitab. Untuk langsung pada kitab yang tidak berharokat, kesulitan. Kita buatkan jembatan, ngerti filosofinya jembatan? Jembatan itu, kalau seandainya sudah dilewati, itu ditinggal. Gak mungkin sampeyan selalu di Jembatan, meskipun itu indah. Temen2 yang dari madura misalnya, karena Suramadu itu indah, terus ning jembatan terus. Endak demikian, jembatan itu kalau seandainya sudah dilewati, yasudah ditinggal. Pada akhirnya kita menjembatani untuk lebih mudah membaca kitab2 yang tidak berharokat. Belajar
  • Jurmiyah
  • Imrithy
  • Mutammimah
  • Alfiyan dan seterusnya. 

Butuh jembatan kita, oleh sebab itu penting bagi saya, Dua kitab ini yang edisi revisi untuk kemudian dicoba untuk dibaca. Saya berani mengatakan seperti ini, karena ittiba' dengan metode yang ditawarkan oleh Ibnu Malik, TERNYATA ibnu malik itu juga mengklaim. 
Alfiyah ini mampu mendekatkan sesuatu yang paling jauh. Bi lafdzin Muujazi, dengan kata2 yang ringkas, yang sederhana, sehingga bisa difahami. Di dalam pesantren, ada keyakinan, dan kadang2 ini kuat. Untuk bisa futuh, kadang2 dikaitkan dengan alfiyah. Temen2 yang kesulitan baca kitab itu, belajar alfiyah. Orang2 sekelas IBNU MALIK seperti ini, sudah lah, kalau seandainya karya itu dibaca sampai sekarang. Itu mesti kekasih Alloh itu. Kalau karya sampai sekarang bertahan, itu niatnya memang nasyrul 'ilmi, bukan yang lain itu. Itu pasti kekasih Alloh itu. Di pesantren itu banyak keyakinan ini, lek kepingin bisa baca kitab, harus alfiyah dulu. Dan itu banyak... jadi dikaitkan dengan futuh, terbukanya cakrawala berfikir kita, sehingga kita mampu menganalisis teks, itu dengan apa? dengan alfiyah. Jadi coba aja, untuk merajinkan diri dengan menghafalkan bait2 nadzom alfiyah. 

Aqsho itu af'alu (dari wazan af'alu) bukan sekedar jauh, tapi yang paling jauh. Ini sekedar motivasi, bahwa ketika sampeyan sudah mencurahkan fikiran panjenangan semuanya, Mencurahkan, sudah maksimal sudah, sudah tidak mampu lebih dari itu. Karena keterbatasan dan seterusnya, sampeyan bisa ngomong kepada masyarakat. (misalnya) ini baik ini, untuk para pemula, ini baik ini. Ketika kita ngomong baik, itu bukan berarti sombong. Orang sekelas ibnu malik itu sampai mengatakan..
  • Maqoshidun nahwi bihaa mahwiyah. 
  • Tuqorribul Aqsho bi lafdzin muujazi
  • Wa tabsuthul badzla bi wa'din munjazi

Itu boleh mengatakan seperti itu. 

لو لم يصف الطبيب دواءه
ما أنتفع به

Kalau seandainya dokter2 itu tidak mendeskripsikan apa yang telah dicapainya, apa yang teleh diresepkanya, maka orang tidak akan tahu itu. Jadi seperti itu, sampeyan harus menulis, kalau sudah menulis, ketika belum maksimal. Jangan menunggu sempurna, karena kesempurnaan itu hanya milik Alloh. Pasti akan ada kelemahan2. IMAM IBNU MALIK dikritik dalam konteks ini adalah.. kok ngomong maqoshidun nahwi? padahal bab tentang iltiqous sakinaini tidak disebutkan, bab tentang qosam tidak disebutkan disitu. 

Itu semacam itu, itu sebagai penguat bagi panjenengan semuanya. Tentang bagaimana ke depan itu. Karena sekarang sampeyan belajar harus terdokumentasikan. Harus ada catatan kalau sampeyan itu belajar. Apa itu? tulisan.

Sekarang kita lanjutkan. 

وَأَسْتعِينُ اللهَ فِي ألْفِيَّهْ      مَقَاصِدُ النَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ

Maqooshidun nahwi bihaa mahwiyatun
maqooshid merupakan bentuk jamak dari maqshidun. Ini dijadikan sebagai mubtada-. Kalau tidak diajari oleh kitab2 analisis macem2 itu, itu tidak ada masalah. Maksud2 dari ilmu nahwu. Padahal kita mengenal ada fan lain, ada shorof. Apakah tidak ditawarkan ilmu shorof di dalam alfiyah? kenapa disini tidak ditampilkan maqoshidun nahwi wash shorfi, Itu fungsi membaca. Ketika kita melihat nadzom2 ini sama sekali tidak berfikir. Padahal bab tentang at tashrif itu ada. Bab tentang ibdal itu ada, dan itu wilayahnya bukan wilayah nahwu. KARENA kalau kita ngomong dalam konteks nahwu, pada umumnya itu berbicara pada harokat huruf yang terakhir. HUKUMnya itu seperti apa? NAHWU dalam konteks umum, itu biasanya yang diterangkan marfu'atul asma-, manshubatul asma-, majrurotul asma-. majzumatul af'al, itu nahwu. TAPI tentang bab ibdal, tentang bab i'lal, tentang bab tashrif macem2 itu TIDAK. 

Kalau seandainya kita coba tentang penelitian misalnya, bab2 apa saja yang kemudian ditawarkan di dalam alfiyah, TERNYATA disamping menjelaskan tentang nahwu, tentang i'rob macem2. Itu juga berkaitan juga, tentang masalah shorof. Oleh karena demikian ulama menjelaskan masalah nahwu ini yang sifatnya 'am. Nahwu itu secara umum, itu juga meliputi nahwu itu sendiri, juga meliputi shorof. Itu fungsinya ngaji, seakan2 gak ada masalah, maqoshidun nahwi itu gak ada masalah. Padahal yang ditawarkan Imam Ibnu Malik itu tidak hanya sekedar, tidak hanya sekedar nahwu. Shorof yang kita fahami itu membahas tentang shighot. 

Huruf yang pertama dan sebelum akhir itu wilayahnya shorof. 
  • BAGAIMANA mengharokati huruf yang pertama sampai yang sebelum akhir, itu wilayahnya shorof. 
  • Sedangkan yang terakhir itu wilayahnya nahwu. 
Maqoshidun nahwi bihaa mahwiyah, apa keseluruhan bab tentang nahwu dan shorof itu sudah ditawarkan? oh ternyata
Bab tentang iltiqo-us sakinaini tidak ada
Bab tentang qosam tidak ada

Itu yang ditawarkan oleh kitab khudhori misalnya, syarahnya ibnu 'aqil itu. 

Loh kok nahwu? padahal disitu dijelaskan juga tentang tashrif, tentang i'lal, tentang ibdal dan seterusnya. Yang kita yakin itu semua bagian dari shorof. Oleh karena itu, nahwu dari sisi ini lebih umum dari sekedar apa yang kita fahami, dimana nahwu itu berbicara tentang i'rob secara sederhana begitu. 

وَأَسْتعِينُ اللهَ فِي ألْفِيَّهْ      مَقَاصِدُ النَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ
Maqooshidun nahwi bihaa mahwiyatun


Maqoshid yang kita terjemahkan dengan YANG (kode Na'at)
Gabungan mubtada- khobar itu namanya jumlah ismiyah. Jumlah ismiyah disini ternyata diterjemahkan YANG. Ketika diterjemahkan yang, berarti ini adalah kode untuk na'at. (na'tul jumlah). 



Jumlah yang memiliki kedudukan i'rob
Dalam konsep inilah kita menemukan konsep tentang jumlah. 
  • lahaa mahalun minal i'rob
  • laa mahalaa lahaa minal i'rob
لها محل من الاعراب
لا محل لها من الاعراب

 مَقَاصِدُ النَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ
kok diterjemahkan yang? ustadz? Iya.. jadi na'at. Yang jadi na'at adalah gabungan mubtada- khobar secara keseluruhan, bukan sekedar maqoshid. Karena demikian, saya harus gambarkan secara sederhana misalnya, tentang jumlah yang memiliki kedudukan i'rob, dan tidak memiliki kedudukan i'rob. Saya contohkan...


Jumlah berkedudukan rofa'

محمد لم يكتب الدرس

muhammadun jadi mubtada-
yang jadi khobarnya mana? 
lam yaktub ad darsa 

yang jadi khobar bukan lam yaktub saja, tapi lam yaktub plus huwa yang jadi fa'il disini. Plus ad darsa sebagai maf'ulun bihi disini. Berarti yang  jadi khobar itu jumlah. Berarti yang jadi khobar ini jumlah, bukan lam yaktub saja. Kok ada khobar dibaca sukun? iya... gak ada memang.

lam yaktub, 
Ini dibaca sukun karena kebetulan adalah fi'il mudhore' mu'rob, tidak bertemu dengan nun taukid dan nun niswah, dan dimasuki lam sebagai 'amil jazm. Saya jelaskan, yang menjadi khobar itu adalah gabungan lam yaktub sebagai fi'il, huwa sebagai fa'ilnya, ad darsa sebagai maf'ul bih. Ini namanya jumlah, yang memiliki kedudukan i'rob. Ini adalah jumlah yang memiliki kedudukan i'rob. Jadi apa ini? jadi khobar. Standardnya apa ustadz? jumlah itu memiliki kedudukan i'rob, dan jumlah itu tidak memiliki kedudukan i'rob? 

Pokoknya, kok jumlah itu terdapat dalam sesuatu yang menjadi
  • marfu'atul asma'
  • manshubatul asma'
  • majrurotul asma'

itu namanya jumlah yang memiliki kedudukan i'rob. Jumlah itu berhukum i'rob. Bisa jadi rofa', bisa jadi nashob, bisa jadi jar. bahkan bisa jadi jazm. Ada jumlah kok berkedudukan rofa'?
nashob?
jar?
jazm?

oh ini berarti lahaa mahalun minal i'rob. Ada jumlah menjadi khobar, 
  • ada nama khobar. 
  • Ada...
Berarti khobar yang terbuat dari jumlah itu, berhukum rofa', karena menjadi khobar. 


Jumlah yang berkedudukan nashob

Misalnya

جاء الرجل يركب السيارة

jumlah fi'liyah, jatuh setelah ar rojulu yang merupakan isim ma'rifat. Dikatakan, dalam sebuah kaidah,  Setiap jumlah, yang jatuh setelah isim ma'rifat, maka itu disebut sebagai halul jumlah. Sekarang kita cek, dalam marfu'atul asma' ada gak? hal? gak ada. Dalam manshubatul asma' ada gak? hal? ada. Berarti, jumlah yang menjadi hal ini, dianggap berhukum nashob. Karena ada dalam manshubatul asma- berarti lahaa mahalun minal i'rob. 



Jumlah yang berkedudukan jar

Misalnya lagi..
من حيث امركم الله
amaro ini adalah fi'il
kum ini adalah maf'ulun bihi
Alloh itu adalah fa'il

Amaro itu adalah jumlah, dalam konteks ini adalah jumlah fi'liyah. Jatuh setelah haitsu. Haitsu merupakan lafadz yang wajib di mudhofkan. 

wa alzamu idhofatan ilal jumal
haitsu wa idz wa in yunawwan yuhtamal

Berarti jumlah yang jatuh setelah haitsu ini menjadi mudhofun ilaihi. Kita lihat sekarang, dalam marfu'atul asma, mudhofun ilaihi ada gak? gak ada
dalam manshubatul asma? ada gak? gak ada
dalam majrurotul asma? ternyata ada. 

Karena demikian amarokumulloh yang jatuh setelah haitsu disebut lahaa mahalun minal i'rob. 



Jumlah yang tidak memiliki kedudukan i'rob
Ada gak? jumlah yang tidak memiliki kedudukan i'rob ustadz? ada. 

جاء الذي يقرأ القرآن

ja-a telah datang
siapa? - KODE fa'il
yang telah membaca, siapa? -KODE Fa'il alladzi

yaqro-ul qurana jadi apa? shilatul maushul. Kenapa kok jadi shilatul maushul, karena jatuh setelah isim maushul alladzi. Ada gak? shilatul maushul dalam marfu'atul asma', manshubatul asma', majrurotul asma? tidak ada. KARENA demikian, ketika ada jumlah, apakah itu fi'liyah apakah itu ismiyah, kalau seandainya dia menjadi shilatul maushul, maka dia termasuk dalam kategori, jumlah yang tidak memiliki kategori i'rob rofa', nashob, maupun jar. 


Maqoshidun Nahwi
.

 مَقَاصِدُ النَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ
Itu adalah jumlah, jatuhnya setelah isim nakiroh. Saya tegaskan, setiap ada jumlah jatuh setelah isim nakiroh. Setiap jumlah, yang jatuh setelah isim nakiroh, maka itu disebut sebagai na'tul jumlah. Inilah alasan, kenapa kok kemudian maqoshidun nahwi, cara penerjemahanya ada kata2 yang. 

wa asta'inu
Dan mohon pertolongan siapa? saya.
Alloha (akan Gusti Alloh)
fi alfiyatin 
dalam rangka mengarang alfiyah

Maqoshidun nahwi, yang... 
kang utawi, piro2 maksude nahwu.
bihaa (di dalam)
mahwiyatun (itu dikumpulkan).


Kenapa maqoshidun nahwi kalau menerjemahkan pakai yang/kang -karena sebagai na'tul jumlah. 



Mahwiyatun
.

 مَقَاصِدُ النَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ
Yang kedua, tentang mahwiyatun. Kata2 mahwiyatun, kalau seandainya ini diasalkan, ini beraasal dari hawaa. (Isim maf'ul dari hawaa). Yang TERKENAL (adalah bentuk mazid) yaitu Ihtawi -yahtawi (yang berarti mengandung/mengumpulkan). Ini kalau seandainya dijadikan isim maf'ul akan berbunyi mahwuyun

محووي

محوية
حوى
محويي

Tapi kenapa kok mahwiyatun? Inilah kemudian ada di bab i'lal dikatakan, Idza ijtama'atil wawu wal ya-u. Apabila wawu dan ya berkumpul jadi satu kalimat. Wa subiqot ihdahumaa bis sukun, Apabila salah satu yang pertama itu, apakah wawunya atau ya- nya, itu disukun. 

إذا اجتمعت الواو والياء في كلمة ، وسبقت إحداهما بالسكون  ـ وكان سكونها أصليا ـ 

أبدلت الواو ياء ، وأدغمت الياء في الياء 

وذلك نحو «سيّد ، وميّت» ، والأصل سيود ، وميوت ، 
فاجتمعت الواو والياء وسبقت إحداهما بالسكون ، 
فقلبت الواو ياء  وأدغمت الياء في الياء ،

فصار سيّد وميّت


Kalau kita menemukan wawu berkumpul dalam satu kalimat. Ubdilatil wawu yaa-an

ميوت
سيود

Maka wawu harud diganti ya-, kemudian wa udghimat al ya-ul ula fits tsaniyah. Kemudian disesuaikan gandenganya ya itu adalah kasroh, bukan wawu. Akan kesulitan kalau seandainya sebelum ya itu adalah dhommah. Akhirnya dari mahwuyun, jadi mahwiyatun.  Jadi dari kata mahwiyatun, kita bisa masuk pada kaidah i'lal. 
Idza ijtama'atil wawu wal yaa-u
wa subiqot ihdahuma fis sukun
ubdilatil wawu ya-an
wa udghimatil ya-ul ulaa fits tsaniyati.

Kemudian dikasrohlah huruf yang sebelum ya- itu, lil munasabah. 

Fi'il Maadhi
حوَى / حوَى على

Fi'il Mudhore'
يَحوِي 

fi'il amr
احْوِ 

Mashdar
حَوايةً 

Isim Fa'il
فهو حاوٍ 

ISIM MAF'UL
والمفعول محوِيّ

للمتعدِّي

--

حوَى الشَّخصُ: سحر واحتال

حوَى الشَّيءَ/ حوَى على الشَّيءِ:
 استولى عليه وملكَه وأحرزه

حوَى الشَّيءَ/ حوَى على الشَّيءِ:ضمّه واشتمل عليه، جمعه، 
احتواه / وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى(حديث)

حَوَى الحيَّةَ: رقَاها، فَاستسلمت له


Mardhiyyatun
.
asalnya Mardhuuyun
Ada wawu dan ya berkumpul jadi satu. Yang pertama itu adalah disukun, maka wawunya itu harus diganti ya-. Dan kemudian di idghomkan. KAN ANEH.. seperti yang saya katakan. Mengikuti wazan maf'ulun, tetapi bacaanya adalah mahwiyyun. Bukan mahwuyun, mengikuti wazan maf'ulun. Harusnya maf'ulun, mahwuuyun. 
(contoh lain)
Mengikuti wazan maf'ulun tapi bacaanya adalah mardhiyyun. Harusnya mardhuyyun. 

 








Comments